Pagi di hari Minggu akhir Desember yang indah itu seperti biasanya kami sekeluarga bersiap-siap ke pantai. Menikmati pantai sambil mencari sarapan kegemaran keluargaku. Yang aku maksud keluarga sebenarnya hanya keluarga kecil saja, iya kami bertiga, aku Mila, suamiku Rizal dan jagoan kecilku Dami yang masih berusia 5 tahun. Kemarin sempat aku membelikan cincin bergambar merpati kepada Dami.
Sejak malam Dami sudah bersiap-siap dengan perlengkapannya untuk ke pantai. “Bunda besok perginya pagi-pagi ya,” “Ya sayang, tapi boboknya yang cepat ya Nak, jangan nonton TV terus.” Dami sibuk mengisi penuh tas-nya, sementara Rizal suamiku tampak sedang asyik menulis sesuatu. Inilah keluarga kecil bahagiaku. Aku dikaruniakan orang-orang terbaik dalam hidup. Rizal, suamiku, walaupun seorang pendiam, namun kasih sayangnya terhadap keluarga luar biasa. Rizal, hampir tidak pernah marah. Aku mulai membandingkan dengan beberapa sahabatku yang memiliki suami temperamental bahkan kadang-kadang melakukan kekerasan fisik terhadap istrinya. Wah … Rizal sangat jauh dari itu semua. Jika marah ia akan semakin diam, paling-paling mukanya saja memerah dan ia segera menyendiri dan segera mengambil rokok kesayangannya. Pernah juga aku melihat ia marah besar …… tapi subhanallah ia segera mengambil wudhuk langsung shalat dan berlama-lama diatas sajadah. Biasanya aku yang mulai mendekatinya lagi dan memang aku akui kejadian yang tidak menyenangkan sering sekali dimulai dari diriku sendiri. Kupikir-pikir aku memang seorang wanita egois tetapi Allah menganugerahkan diriku suami berhati pualam. Yah …. Rizal adalah malaikat berwujud manusia yang diberikan kepadaku. Aku mensyukuri itu semua.
Setelah pernikahan kami tujuh tahun yang lalu, pada tahun kedua pernikahan hadir seorang jagoan mungil dirumah kami, Muhammad Dami. Dami adalah tumpahan kasih sayang kami. Ia adalah hiburan ku saat mengahadapi berbagai permasalahan yang ada. Dami mewarisi hampir seluruh hal yang dimiliki Rizal, wajahnya, sifatnya, caranya berjalan benar-benar duplikat Rizal. Kadang-kadang aku suka bercanda dengan Rizal “semoga Dami kalau sudah besar nanti tidak dapat istri egois seperti Bunda-nya ya Bang.” Rizal biasanya tersenyum dan berkata lembut “kenapa Mila?, kamu adalah wanita yang sangat baik, aku beruntung menjadi suamimu, ibadahmu bagus, wajahmu sangat cantik, ingatkan engkau dulu diperebutkan banyak pria, dan aku adalah laki-laki yang sangat beruntung mendapat dirimu.” Diriku langsung berbunga-bunga, terbang melayang entah ke langit berapa dan aku langsung terjatuh …………… ya langsung menjatuhkan diri ke dada bidang milik Bang Rizal. Setelah itu ia biasanya mengusap-usap rambutku dan segera menggengam jari tanganku ………….. Ya Allah Engkau benar-benar telah menghadirkan malaikat disisiku.
Dami tumbuh sebagai anak yang sehat dan cerdas, cerdas seperti ayahnya. Dalam usianya yang masih terbilang sangat belia, ia memperlihatkan sikap sabar seperti ayahnya. Terus terang aku tidak begitu repot mengurus Dami. Kadang-kadang pada saat aku kecapaian ia memperlihatkan sikap penuh pengertiannya. Kebiasaanku pada saat kelelahan segera berbaring dan Dami datang menghampiri dan segera memijit-mijit keningku dengan tangan mungilnya. Aku mulai terkantuk-kantuk, Dami mulai-mulai mengusap-usap badanku …….. ah mirip sekali dengan Bang Rizal, suamiku selalu mengusap-usap badanku menjelang tidur. Nama Dami sendiri bukan pemberian kami berdua, tetapi diberikan oleh sahabat kami, sahabatku dan juga sekaligus sahabat Bang Rizal. Semasa SMA kami berdua memiliki sahabat yang sangat dekat, Mahdi, seseorang lelaki pemberani, cerdas dan seorang aktivis yang memiliki segudang kegiatan. Selain itu Mahdi juga seseorang lelaki yang sangat gagah yang dikagumi oleh sejumlah wanita. Mahdi terlibat kegiatan diberbagai organisasi, kemampuan kepemimpinannya mengagumkan, ia seorang orator, apabila ia berbicara semua orang akan terpesona akan ucapannya. Rizal pun mengaguminya. Jika Rizal pendiam maka Mahdi adalah seorang yang meledak-ledak, bicara penuh semangat. Saat kami berkumpul bertiga, aku dan Rizal biasanya diam dan Mahdi yang berbicara terus menerus, tapi kami memang sangat menyukai saat ia berbicara, penuh semangat dan menginspirasi. Bukan hanya saat kami bertiga, bahkan saat semua teman-teman berkumpul tetap Mahdi sebagai bintangnya, ia akan bicara berapi-api, semua mata tertuju padanya dan tak ada seorang pun yang dapat memotong pembicaraannya.
Sesungguhnya Rizal dan Mahdi masih sepupu, mereka bersahabat sedari kecil. Meskipun banyak sifat kontras diantara keduanya, tapi mereka berdua saling melengkapi. Apabila Mahdi senang berbicara, Rizal senang mendengarkannya. Apabila Mahdi sibuk berorganisasi, Rizal banyak menghabiskan waktu dengan membaca buku dan setelah itu biasanya memberikan beberapa masukan kepada Mahdi. Apabila Mahdi banyak muncul ditengah kerumunan massa, menghabiskan waktu di café-café maka Rizal banyak menghabiskan waktu dengan beribadah dan masjid adalah tempat favorit yang dikunjunginya. Bagaimana kedua orang ini bisa bersahabat? Mahdi pernah mengatakan “Rizal selain sepupuku, kami juga dibesarkan secara bersama-sama, masa kecil kami bersama-sama, ia adalah orang yang paling jujur yang pernah aku temukan, membantu tanpa pamrih, seorang pembela teman sejati dan harap engkau tahu Mila, ia adalah Penasihat Keimananku.” “ Apa penasehat keimanan?” sergahku …. “benar … benar sekali Mila ……….” Mahdi menjawab disaat aku masih merasa kebingungan.
Aku sendiri sebetulnya saat itu juga mengagumi Mahdi. Wanita mana yang tidak mengagumi seorang pria cerdas, pintar berbicara, aktif dan memimpin berbagai organisasi, dari keluarga terpandang pula. Yah aku memang mengaguminya, tetapi Mahdi begitu sibuk, kami hanya ketemu dalam kesempatan-kesempatan besar yang melibatkan banyak orang, paling-paling dalam kesempatan terbatas kami berkumpul bertiga, aku, Rizal dan Mahdi.
Akan halnya Rizal, iapun mengidolakan Mahdi. Rizal pernah berkata ”Mahdi itu adalah kebanggaan keluarga kami, ia calon pemimpin, kemampuan memimpinnya telah terlihat sejak kecil dan terbukti sekarang Mahdi mampu mengorganisasikan berbagai hal, ia juga menjadi ketua dan pengurus beberapa organisasi, ia adalah harapan keluarga kami, sekaligus harapan masyarakat.
Saat melahirkan putraku, Rizal secara khusus meminta kepada Mahdi untuk menghadiahkan suatu nama, Mahdi memberikan nama Dami untuk anak kami. Aku pun tak tahu apa artinya. Menurut Rizal pada suatu kesempatan Mahdi pernah berkata ”aku tidak punya waktu mendekati seorang wanita apalagi untuk pacaran, tetapi jika nanti aku memiliki seorang anak maka akan aku beri nama Dami, yang berarti insan yang menyintai perdamaian.” Nah, Mahdi terus membujang dan ternyata nama Dami itu diberikan kepada putra kami.
Tentang Mahdi, saat ini kami tak tahu dimana rimbanya. Mahdi terlibat organisasi yang melakukan perlawanan terhadap Pemerintah Pusat. Mahdi menjadi incaran aparat, diuber-uber dan kemudian hilang entah kemana. Tidak ada satu berita pun yang kami dapatkan tentang Mahdi. Ucapan terakhir yang ia sampaikan adalah ”semoga nama Dami senantiasa mengingatkan kalian terhadap diriku.”
”Bunda ...... bunda jadi nggak perginya ......Bunda nih Dami pakai cincin yang Bunda beli kemarin, gambar merpatinya bagus ya Bunda” aku terkaget dengan teriakan Dami. ”oh iya cincinnya dipakai ya sayang, Dami sebentar Bunda tanya ayah dulu.” ”Bang ..... gimana .... mau pergi jam berapa?” Tidak ada jawaban aku segera ke depan, biasanya Bang Rizal sudah siap didepan. Saat aku kedepan kuperhatikan Bang Rizal sedang membuka kap mobil dan kelihatan sedang memperbaiki sesuatu. ”Mobil butut ini berulah lagi Mila, sebentar abang mau periksa dulu.”
Aku segera menghampiri Dami, ”sabar ya Nak, Ayah mau memperbaiki mobil dulu, sekalian Bunda beres-beres dibelakang.” ”Mobilnya mogok lagi ya Bunda ......” ..” ya sayang,” ”Bunda, bilangin ayah dong beli mobil baru ......” Aku tersenyum kecut, beli mobil baru? Uang dari mana? Rumah saja masih ngontrak. Tetapi segera aku menjawab ”ya Dami, banyak-banyak berdoa ya Nak, semoga Allah memudahkan rejeki ayah sehingga kita bisa beli mobil baru.” ”Horee, nanti Dami akan berdoa banyak-banyak semoga kita punya mobil baru ......” Aku tertawa mendengar ucapan Dami.
Seketika selesai Dami berbicara, tiba-tiba aku merasa goncangan yang sangat kuat, aku melihat lemari bergoyang hebat dan beberapa benda berjatuhan, terjadi bunyi gemeretak didalam rumahku, kepalaku mulai merasa pening ........ tiba-tiba Bang Rizal berlari masuk ”gempa ..... gempa ....... mana Dami ...... Dami!!!!” Aku berlari kedepan aku sekilas mendengar teriakan Dami ........ ”Bunda ..... Bunda .....” Aku mencari Dami sambil berteriak-teriak ................. tiba-tiba Bang Rizal merengkuh tanganku ”keluar Mila ..... ayo keluar Mila rumah ini mau runtuh” ....... ”Dami mana Bang ........... cari Dami , ...... Dami .... Dami” suara kami berdua bergemuruh berteriak mencari Dami. Rumah mulai oleng, beberapa benda diatas mulai jatuh, aku segera ditarik suamiku keluar rumah. Gempa masih berlanjut beberapa saat, aku dan suami sudah diluar rumah, aku dan Bang Rizal terus berteriak-teriak memanggil Dami. Rumahku kelihatan rubuh setengahnya.
Beberapa saat kemudian gempa dahsyat tersebut berhenti. Aku dan Bang Rizal terus berteriak memanggil Dami. Diluar rumah berkumpul banyak orang. Agaknya saat gempat orang berhamburan keluar rumah. Tiba-tiba seorang tetangga datang menghampiri kami dan mengatakan tadi saat suamiku masuk kedalam rumah Dami ada di luar dan berlari ke jalan. Syukurlah Dami tidak ada didalam rumah pikirku, kalau tidak bisa saja runtuhan atap akan menimpanya, tetapi dimana Dami sekarang? Aku dan Bang Rizal mulai kejalan untuk mencari Dami.
Hampir setengah jam kami berputar-putar didepan rumah mencari Dami. Tiba-tiba diujung jalan aku melihat Dami berlari-lari kecil kearah kami sambil berteriak ”Bunda .... Bunda ..........” Aku segera ingin menyongsongnya ....
Namun, hampir bersamaan dengan terikan Dami memanggil Bundanya, sekonyong-konyong aku pun mendengar teriakan banyak orang yang berlarian berteriak-teriak ...” air ...... air ..... air laut naik ......... lari ..... lari.” Sekilas aku melihat wajah Dami dengan tangan yang siap dijulurkan kediriku ....... ia hanya beberapa kaki didepanku ..... namun sebuah gambaran besar hitam berada dibelakang Dami, sebuah gunungan air hitam menjulur tinggi muncul menyerbu, aku menengadah keatas gumpalan gunungan air tersebut dan terlihat seperti kepala naga yang menjulur, hitam dan mengerikan tampak siap menerkam siapa pun didepannya.
Belum sempat aku berpikir panjang rombongan sejumlah orang berlarian menerjang kearah diriku sambil berteriak ”air .... air ... air laut naik” dan bersamaan dengan itu gelombang air pekat hitam menghantam diriku ........ aku merasakan ujung jariku masih sempat menyentuh jari mungil dan aku rasakan sebentuk cincin terenggut oleh jariku terlepas dari jari mungil tersebut. Air hitam pekat itu mulai menggulung diriku .........menghantam seluruh tubuhku ... menghempaskan diriku tanpa arah,..... tiba-tiba aku merasa melayang-layang terbang jauh keangkasa, ... terbang jauh meninggi ........ aku merasa melayang diatas awan. Tidak berapa jauh dariku aku melihat Dami juga terbang melayang-layang sambil melambai-lambaikan tangan kearahku dan sayup-sayup terdengar suara Dami ”Bunda pegang cincinnya ya Bunda ..... pegang terus ya Bunda ..........” Aku terus terbang melayang. Aku juga melihat Dami terus terbang melayang namun semakin menjauh bahkan Dami terbangnya semakin tinggi. Dami terus mengangkasa, aku memanggilnya tetapi suaraku tersapu oleh angin ......... Dami tampak semakin tinggi .... aku tak sanggup menjangkaunya lagi ...... hanya sayup-sayup terdengar suara Dami ”pegang cincinnya Bunda ......”
Tiba-tiba aku merasa diriku seperti meluncur deras menuju bumi ...... aku merasa hampa ..... sangat kosong .......... Gambaran putih silih berganti dengan warna warni menggelayut diriku ........ Aku merasa terdampar disebuah taman yang luas. Aku merasa harumnya bunga-bunga. Kulihat banyak kupu-kupu dan burung kecil kecil berterbangan, semua makhluk Tuhan itu membawa cincin ..... ya mirip sekali dengan cincin Dami ..... semua membawa cincin bergambar merpati. Tidak berapa lama kemudian sekelompok burung merpati sungguhan melintas diatas kepalaku. Mereka terbang indah sekali, merpati tersebut terbang dengan formasi yang serasi. Sejurus kemudian aku merasa sangat mengantuk .... kurasakan tangganku menggengam lingkaran kecil bergambar burung ....... aku merasa sangat mengantuk .............. Aku merasa tertidur sangat lama.
Aku masih menggengam cincin bergambar merpati ..... sambil menerawang dengan tatapan kosong. Dalam keheningan dan kesendirianku ...... tiba-tiba terdengar suara lembut ..... suara Bang Rizal memecah lamunanku. ”Sudahlah Mila, Allah mengirimkan tsunami pasti ada hikmahnya. Bukankah semua korban bencana yang beriman akan tergolong orang-orang yang syahid? Apalagi Dami masih kanak-kanak, Insya Allah ia sudah berada disurga Allah yang damai. Kejadian dua tahun yang lalu itu adalah cobaan bagi orang-orang beriman, memang berat buat kita, tetapi itulah rencana Allah yang harus kita terima dengan ikhlas.” Bang Rizal berkata-kata sambil mengusap rambutku.
Waktu telah berlalu dua tahun sejak kami kehilangan Dami dalam musibah tsunami yang maha dahsyat tersebut. Aku tahu itu musibah dari Yang Maha Kuasa dan banyak orang mengalami nasib seperti diriku. Namun, bayangan Dami yang berlari kearahku saat air hitam itu menyerbu tak semudah itu untuk aku lupakan. Memang sangat menyakitkan, saat aku mampu meraih tanggannya kemudian secepat kilat Dami terlepas oleh hantaman air yang begitu keras, hanya cincin ditangannya yang tergenggam olehku ..... yah cincin bergambar merpati masih utuh terpegang tanganku sampai kini. Kalimat terakhir yang diucapkan Dami masih terngiang-ngiang ditelingaku ...............”pegang cincinnya Bunda ......” Aku kembali menangis saat memandang cincin bergambar merpati tersebut. Rizal menghiburku. Ia memang tampak kuat, meskipun aku tahu ia sangat terpukul atas kejadian tersebut. Ia adalah malaikat yang selalu memberi kekuatan terhadap diriku, tanpa Bang Rizal rasanya aku hampir-hampir gila menghadapi peristiwa tersebut.
”Mila, aku ingin menyampaikan suatu berita gembira untukmu.” Aku masih terdiam saat Bang Rizal bicara. ”Maukah engkau mendengar kabar gembira tersebut?” Bang Rizal berkata lembut. Aku mengangguk. ”Tapi hapus dulu air matamu.” Tiba-tiba Bang Rizal memeluk diriku dan secara perlahan menghapus sisa air mata diwajahku.
Setelah menenangkan diri aku tak sabar bertanya ”berita gembira apa Bang?”
”Mahdi akan segera kembali,”
”Apa? ... Mahdi kembali?”
”Iya, setelah penandatangan perjanjian perdamaian tahun lalu di Helsinki, memungkinkan orang-orang seperti Mahdi kembali lagi tanpa takut harus ditangkap.”
”Dari mana abang tahu?”
”Ia menghubungiku,....... nanti malam abang akan cerita ...... sekarang abang buru-buru harus pergi.” Bang Rizal hari ini harus segera mengurus dokumen keberangkataannya ke Amerika. Rencananya minggu depang Bang Rizal akan berangkat ke Amerika untuk melanjutkan pendidikan S3. Sementara aku akan tinggal dulu dan akan menyusul apabila Bang Rizal telah mempersiapkan tempat tinggal kami disana.
Setelah mendengar perkataanya, aku terdiam, sebelum pergi Bang Rizal mengucapkan salam dan aku membalasnya, Bang Rizal segera keluar. Aku mulai mengingat-ingat tentang Mahdi, seorang aktivis yang kemudian hilang tak tahu rimbanya, kemudian kuingat saat ia memberi nama Dami kepada putra kami. Aku masih memegang cincin Dami, mengusapnya perlahan dan segera kuletakkan dikotak khusus. Cincin bergambar merpati itu menjadi hiburanku, Dami pergi tanpa meninggalkan tempat untuk diziarahi dan sekarang Mahdi pulang tanpa pernah melihat sosok anak yang pernah diberi nama olehnya.
Cincin bergambar merpati lambang kedamaian itu masih terus kusimpan dan tanah tempat hidupku pun saat ini telah dinaungi cahaya kedamaian. Setahun setelah bencana dahsyat tsunami yang mengorbankan nyawa manusia dan harta benda sedemikian banyak itu telah membuka mata berbagai pihak untuk mengutamakan kedamaian. Semoga kepergian Dami dan beratus ribu korban lainnya mampu menjadi pelita kedamaian bagi negeri ini.
Aku mulai menyibukkan diri untuk membereskan rumah pemberian suatu lembaga yang membantu proses rehabilitasi dan rekonstruksi paska musibah tsunami. Rumah ini memang sangat sederhana, tetapi cukup untuk berlindung dari hujan dan panas. Toch aku pun hanya tinggal berdua dengan suamiku Bang Rizal, kami memang tidak memerlukan rumah yang besar.
Tanpa terasa hari telah menjelang malam dan Bang Rizal belum pulang. Aku segera menyiapkan makanan, biasanya begitu sampai rumah malam hari Bang Rizal sering merasa lapar. Tak berapa lama kemudian Bang Rizal pulang. Wajahnya terlihat tersenyum saat mengucapkan salam dan ia segera menuju kamar mandi. Selesai mandi aku menemaninya makan. Biasanya Bang Rizal tidak banyak bicara, tapi malam ini ia banyak menyerocos. Ia cerita berbagai macam aktivitasnya hari ini.
Sebetulnya aku belum mengantuk, tetapi saat Bang Rizal mengajakku kekamar tidur aku menurut saja. ”Mila masih ingat cerita Abang tadi pagi?” Bang Rizal berucap saat kedua tubuh kami sudah berbaring ditempat tidur. Aku diam saja.
”Mahdi akan segera pulang, ternyata selama ini ia berada di Eropa, setelah perdamaian dan adanya kepastian ia tidak ditangkap ia memutuskan untuk kembali.” Aku masih diam saat Bang Rizal berbicara.
”Mila bukankah engkau istri yang baik yang selalu patuh pada suami?” Aku mengangguk dan sedikit merasa aneh dengan ucapan Bang Rizal. Tangan Bang Rizal mulai merengkuh dan memeluk diriku. Ini adalah saat yang sangat istimewa bagiku menempatkan diri dalam pelukan lelaki yang kucintai, aku merasa sangat damai saat meletakkan kepalaku didada bidang-nya, ini adalah momen yang sangat aku sukai
”Apakah engkau akan mengikuti apa yang kukatakan Mila?” Aku masih mengangguk perlahan, dengan penuh tanda tanya kebingungan kenapa Bang Rizal berkata begitu. Bang Rizal terlalu baik untuk diriku, aku sangat berbahagia bersamanya. Semua yang ia katakan adalah kebaikan, jadi tentu akan menurut kepadanya. ”Jadi betul-betul engkau akan menurut padaku?” ”Iya Bang, Mila akan selalu akan menurut kepada abang.” Bang Rizal tersenyum ......... ”Terima kasih Mila, aku ingin bercerita sesuatu yang kujanjikan tadi padi.
”Mila masih ingatkah engkau saat Mahdi menghilang?” Aku menggeleng.
”Sebenarnya pada suatu malam sebelum kepergiannya, aku bertemu Mahdi kami bercerita panjang lebar. Hanya kami berdua ....... ya hanya berdua tanpa yang lain. Mahdi mengatakan ia sudah tidak mungkin lagi berada dikota dan daerah ini. Kalau tidak segera pergi tinggal menunggu waktu saja untuk ditangkap. Ia mengatakan harus segera pergi. Ketika kutanya hendak pergi kemana, ia tidak mengatakan. Kemana ia pergi memang tidak terlalu penting. Tetapi aku ingin bercerita tentang hal-hal saat kita di SMA dan jauh hari sebelum kita menikah. Tahukah engkau Mila ............... sesungguhnya Mahdi sangat menyintai dirimu.”
”Apaaa???” aku terpekik. Lelaki aktivis gagah yang jenius itu menyintai diriku. Aku setengah tak percaya. Bukankah dulu ia kelihatan acuh tak acuh, selalu berbicara politik dan berbagai hal yang tidak sepenuhnya aku mengerti. Walaupun dulu aku pernah mengaguminya sebagaimana wanita lain, aku tidak pernah berpikir bahwa ia sampai jatuh cinta pada diriku. Apalagi setelah aku mendapatkan Rizal, lelaki sederhana yang biasa-biasa saja namun memiliki arti khusus bagi diriku. Apalagi setelah menjalani hidup bersamanya, menjadi istrinya, suatu anugerah yang luar biasa buat diriku. Setelah sekian lama hidup berumah tangga aku merasa tidak ada lelaki lain yang sebaik Rizal, ia adalah malaikatku.
”Ya benar Mahdi sangat menyintai dirimu. Aku tahu itu sejak SMA, bahkan sebelum aku berpacaran denganmu ia sudah mengatakannya. Namun, engkau tahu sendiri hidupnya penuh resiko dengan berbagai aktivitas politik yang membuat dirinya tidak mungkin untuk menetap disuatu tempat dan sewaktu-waktu harus segera menghilang.” Biasanya pada saat seperti ini aku mulai mengantuk dan mulai tertidur dipelukan Bang Rizal, namun aneh mataku masih melek dan Bang Rizal terus berbicara menyerocos.
”Mahdi memang lelaki luar biasa.” Seperti biasa Bang Rizal sering memuji-muji Mahdi.
”Engkau tahu Mila ia adalah kebanggaan keluarga kami, kami akan memberikan apa pun untuk dirinya agar ia berhasil. Nah jauh sebelum kita memutuskan menikah, Mahdi pernah mengatakan bahwa ia sangat menyintai dirimu, namun ia pun menyadari bahwa jika ia berusaha menikah denganmu hal itu akan menyulitkan hidupmu dan ia tidak ingin itu terjadi. Pahamkah engkau Mila, engkau adalah wanita satu-satunya yang sangat ia cintai namun karena kondisi politik saat itu tidak memungkinkan ia melamarmu. Ia tidak ingin engkau jatuh ketangan laki-laki lain. Satu-satunya orang yang ia percayai adalah aku, sahabatnya sekaligus sepupunya. Ia menitipkan engkau kepada diriku. ”
”Apaaa??? ..... apa Bang Rizal??? Jadi abang menikahi diriku karena dititip oleh Mahdi???.” Aku berteriak setengah tak percaya, aku histeris, lelaki pendiam baik hati yang menjadi suamiku dan kuanggap bagaikan malaikat ini ternyata melamar diriku karena diminta oleh sahabatnya. Rizal terdiam ................. aku menggoncangkan badannya .... Bang Rizal memandangku dengan lembut. Ia membiarkan aku menangis dan memukul-mukul badannya.
”Mila bukankah engkau berjanji akan mendengar perkataanku?” Bang Rizal memulai pembicaraan sambil mengusap-usap badanku. ”Tolong engkau dengar perkataanku sampai selesai. Ya, Mahdi memang benar-benar menyintaimu, siapa pun yang akan menjadi istrinya pasti akan sangat berbahagia. Namun, sesuai dengan pengakuannya memang saat itu belum memungkinkan baginya untuk berkeluarga. Ia hanya mau membina rumah tangga apabila situasi sudah kondusif dan perdamaian telah tercapai ditanah ini. Dan tahukah engkau Mila ...... satu-satunya wanita yang ada di kepalanya adalah engkau Mila. Aku harus menceritakan hal ini kepadamu sekaligus menyampaikan permohonan maaf dariku, bahwa ada perjanjian antara aku dan Mahdi. Hal itu aku lakukan secara ikhlas untuk kebaikan semuanya. Ada hal yang selama ini belum pernah aku ungkapkan padamu. Pada malam sebelum keberangkatan Mahdi, kami berbicara panjang lebar. Sempat aku singgung kapan ia akan menikah. Ia mengatakan belum akan menikah sampai dengan perdamaian tercapai. Ia pun mengatakan hanya pernah jatuh hati pada seorang wanita dan hanya menyintai satu wanita ...... ya engkaulah wanita itu Mila. Tetapi, ia pun secara sadar memahami posisinya dan mempersilahkan diriku untuk menikahimu karena menurutnya hanya akulah pria yang tepat untuk menjadi suamimu. Setelah melalui pembicaraan panjang aku menyanggupi untuk menikahimu dan sekaligus berjanji pada saat situasi telah memungkinkan aku akan dengan ikhlas akan menceraikanmu dan menyerahkanmu kepada Mahdi. Mila, ..... Mahdi besok lusa akan pulang dan sesuai rencana engkaupun tahu minggu depan aku akan segera ke Amerika melanjutkan pendidikan doktoral.”
”Jadi Mila aku mohon maaf sebesar-besarnya apabila hal ini diluar sepengetahuanmu namun ketahuilah ini untuk kebaikan kita bersama. Kemarin Mahdi menelpon dan aku mengingatkannya bahwa apabila situasi telah memungkinkan aku akan menyerahkanmu kepadanya. Itu adalah janjiku kepada Mahdi dan kau pun berjanji akan mematuhi diriku Mila. Ketahuilah Mila, sekali lagi ini untuk kebaikan dirimu dan sesungguhnya aku pun menyayangimu.”
Aku tak mampu berkata apa-apa, seluruh persendianku lemas, aku tak ingat apa-apa sampai dengan aku tertidur. Saat terbangun aku kaget melihat Rizal tidak ada disebelahku. Ternyata Bang Rizal tidur disofa depan diruang tamu. Hari ini kami lalui tanpa perbincangan apapun. Bang Rizal tampak mempersiapkan beberapa dokumen keberangkatannya. Pada siang hari ia minta ijin untuk menyelesaikan beberapa keperluan.
Pada saat malam Bang Rizal pulang, seperti biasa aku menyiapkan makan malamnya. Masih tanpa perbincangan apa pun. Menjelang tidur tiba-tiba ia menyapa ”maafkan abang ya Mila, mulai malam ini abang minta ijin tidak tidur bersama Mila lagi ...... abang tidur disofa ruang tamu aja dan besok kita pagi-pagi akan ke Bandara menjemput Mahdi. Persiapkan dirimu sebaik mungkin.” Aku tidak berkata satu patah pun. Dengan perlahan aku langkahkan kakiku dengan gontai menuju kamar tidur. Aku berbaring dengan perasaan hampa, tak ada kehangatan lagi disisiku. Rizal adalah lelaki berhati pualam yang sangat aku cintai, tetapi aku pun tahu ia seorang lelaki yang sangat memegang janji. Mengapa ia tidak mau tidur lagi bersamaku? Apakah ia telah menjatuhkan talaknya kepada diriku? Aku mulai meraih kotak cincin merpati kepunyaan anakku Dami, itulah pelarianku, malam itu aku menangis sejadi-jadi.
Keesokan hari Bang Rizal telah siap. Aku lihat Imran adikku dengan beberapa kerabat datang untuk bersama-sama menjemput Mahdi. Pagi itu aku melihat diriku bagaikan kerbau yang dicucuk hidungnya untuk memenuhi permintaan Bang Rizal berkemas dan ikut menjemput Mahdi ke Bandara. Bang Rizal berkata lembut ”engkau kelihatan sangat cantik Mila, dihadapan Mahdi engkau memang tetap harus kelihatan cantik, terima kasih engkau memaklumi apa yang kukatakan. Percayalah Mila ..... Mahdi akan menyayangimu melebihi diriku.” Hatiku perih .... sangat perih saat mendengar ucapan Bang Rizal, lelaki yang sangat aku sayangi selama ini, namun aku diminta mematuhinya untuk memenuhi janjinya pada Mahdi.
Aku berdua Bang Rizal satu mobil, Imran adikku bersama kerabatku dimobil yang lain. Kami segera menuju Bandara. Sepanjang perjalanan ke Bandara kami lalui dengan saling berdiam diri. Berbagai macam hal berkecamuk dalam pikiranku. Aku melamun menerawang, segera kuremas cincin merpati peninggalan anakku Dami ...... sebuah nama yang diberikan Mahdi agar kami selalu mengingatnya. Tidak .... tidak aku tidak ingin mengingat Mahdi aku ingin bersama Rizal. Aku tahan sekuat tenaga agar aku tidak menangis, namun kurasakan tetesan butiran hangat menyapu pipiku.
Setibanya di Bandara kami segera menunggu diruang penjemputan. Bang Rizal tampak asyik berbicara dengan adikku Imran dan kerabat yang lain. Aku hanya berdiam diri, tampak Imran seperti merasa aneh dengan kelakuanku. Aku terus menyendiri dan berdiam diri. Tanpa terasa pesawat yang ditunggu-tunggu telah mendarat. Bang Rizal menghampiri diriku dan berbisik ”maafkan abang Mila, engkau harus tampil sebaik mungkin dan Mahdi akan segera datang.” Aku tidak menjawab apa pun.
Setelah beberapa saat sejumlah penumpang tampak mulai keluar. Jantungku berdegup kencang, kurasakan diriku mulai goyah, aku berusaha bertahan sekuat mungkin. Sejurus kemudian aku melihat seseorang lelaki tegap dengan sorot mata tajam keluar dari ruangan kedatangan ..... dan tiba-tiba terdengar pekikan Bang Rizal ”Mahdi ...... Mahdi ...” Kedua lelaki itu segera berpelukan. Mereka berpelukan sangat lama, setelah itu mereka bersalaman diikuti oleh kerabat yang lain. Bang Rizal segera menggandeng Mahdi menggiringnya kearahku. Aku terkaget, aku merasa diriku seperti patung.
”Ini Mila...., Mahdi ....... ” Mahdi mengulurkan tangan, aku dengan sekuat tenaga menahan diri, tanganku terasa sangat berat untuk diangkat, tetapi tiba-tiba tangan Mahdi telah menyalami diriku. Aku terdiam. Mahdi pun tidak berkata apapun. Kulihat Mahdi tampak sedikit kikuk, namun sorot matanya terlihat tajam seperti menghunjam diriku. Sementara Bang Rizal kulihat tersenyum seperti tidak ada persoalan apa pun. Ingin rasanya aku berteriak dan memukul dada Bang Rizal, tetapi aku tak mampu berbuat apa pun aku hanya berdiam diri. Tiba-tiba terdengar suara Bang Rizal memecah kebekuan ”Mila, abang satu mobil aja dengan Mahdi, Mila ikut mobil Imran aja.” Aku diam saja, ya persis seperti kerbau yang dicucuk hidungnya.
Segera aku menuju mobil Imran. Aku bersama kerabat yang lain sementara Bang Rizal berdua dengan Mahdi berada dimobil yang lain. Mobil Bang Rizal dan Mahdi berada di depan. Aku, Imran dan yang lain menyusul dari belakang. Mobil berjalan perlahan meninggalkan bandara. Dalam kecepatan sedang kenderaan kami menuju arah kota.
Aku tetap berdiam diri didalam mobil, sementara kerabat yang lain asyik berbincang, masalah perdamaian, rehabilitasi, rekonstruksi, dan berbagai hal tampak mereka bicarakan. Aku tetap mematung. Kenderaan kami kemudian melaju kencang seperti tak sabar ingin segera sampai dirumah.
Aku melihat mobil Bang Rizal didepan mulai menyalip beberapa mobil, Imran dengan cekatan mengikuti dari belakang. Tiba-tiba aku lihat Bang Rizal menyalip satu mobil lagi, Imran tampak terkaget sambil berteriak ”wah itu ada truk tanki didepan.” Belum sempat penumpang lain memberikan reaksi terdengar suara tabrakan keras didepan. Imran dengan semaksimal kemampuannya berusaha membanting stir kesisi jalan agar tidak menabrak mobil Bang Rizal didepan dan tiba-tiba mobil kami terjerembab kedalam sawah dipinggir jalan, sementara aku melihat ledakan keras dan sekilas kulihat mobil Bang Rizal dan truk tanki yang menabraknya terbakar hebat.
Aku menjerit histeris, disusul jeritan penumpang yang lain. Mobil kami relatif selamat dan terperosok ketengah sawah. Aku berteriak dan menjerit sejadi-jadinya dan berusaha menuju ke mobil Bang Rizal, namun tangan Imran memegang dan menahanku ”jangan Kak, berbahaya masih ada ledakan.” aku meronta-ronta, terus meronta-ronta, kulihat beberapa orang menahan diriku. Aku merasa lemas, sangat lemas kemudian aku merasa tidak tahu apa-apa lagi.
Sekonyong-konyong aku mendengar suara angin dan tiba-tiba muncul cahaya putih dan biru bergantian. Aku melihat langit biru, sangat biru, jernih dan terang. Tak berapa lama kulihat sekumpulan merpati terbang bagaikan gulungan ombak putih, terbang berduyun-duyun. Tidak berapa lama kudengar sayup-sayup suara yang sangat akrab ditelingaku, ya benar suara Dami, anakku ............... ”Bunda ...... Bunda ” ia memanggil diriku sambil melambaikan tangannya, tampak Dami terbang bersama merpati. Dami tampak riang .... tampak seperti menari diatas awan dikelilingi sejumlah merpati. Kemudian aku terkaget saat menyaksikan dua sosok manusia dewasa terbang bergandengan tangan dibelakang Dami ................ ya dua sosok lelaki yang sangat aku kenal, Bang Rizal dan Mahdi. Mereka terbang bergandengan tangan mengikuti Dami diiringi ribuan merpati. Bang Rizal dan Mahdi tampak tersenyum menatap kearahku sementara Dami tampak riang gembira terbang didepan mereka. Aku ingin bangkit dan terbang bersama, tapi aku tak mampu, aku berteriak-teriak memanggil Dami, tetapi aku tetap tidak mampu untuk terbang.
Aku terus memanggil-manggil Dami ........ sayup-sayup kudengar suara Dami ”Bunda jangan terbang dulu, jangan terbang dulu Bunda, Bunda harus pegang cincin merpati, pegang cincinnya Bunda ......” Aku terus berteriak-teriak ............
Setahun kemudian, pada hari Minggu yang cerah di akhir bulan Desember, disebuah Rumah Sakit Jiwa ........... seorang wanita cantik berkulit bersih memegang sebentuk cincin bergambar merpati ........... disisinya teronggok sebuah koran lusuh terbitan tahun lalu dengan judul ”Seorang Mantan Tokoh Pergolakan Tewas Bersama Rekannya Setelah Tertabrak Truk Tanki.”
Puluhan tahun kemudian, dihalaman sebuah panti, duduk seorang wanita tua yang diwajahnya masih tergurat sisa-sisa kecantikan, memegang cincin mungil, menatap dengan hampa, dihadapannya terlihat melintas segerombolan merpati, terbang dengan indahnya, membentuk formasi yang serasi, melayang bebas menuju angkasa yang luas .................