Sabtu, 27 Juni 2009

KREDO BAGI ORANG-ORANG YANG MENDERITA

Kredo ini ditulis oleh seorang mantan tentara dan penulis cuplik dari buku karangan Dr. Arthur Caliandro & Barry Lenson yang berjudul "SIMPLE STEPS."

Kredo secara lengkap sebagai berikut :

Saya memohon kekuatan kepada Tuhan agar saya dapat berhasil
Saya dibuat lemah agar saya dapat patuh dan rendah hati
Saya diberi kesehatan agar saya dapat melakukan hal-hal besar
Saya diberi kelemahan agar saya dapat melakukan hal-hal lebih baik
Saya memohon kekayaan agar saya dapat bahagia
Saya diberi kemiskinan agar saya boleh bersikap bijaksana
Saya memohon kekuatan agar saya memperoleh pujian dari manusia
Saya diberi kelemahan agar saya boleh merasakan kebutuhan akan Allah
Saya memohon semua hal agar saya menikmati kehidupan
Saya diberikan kehidupan agar saya boleh menikmati semua hal
Saya tidak memperoleh apapun yang saya mohon - kecuali segala sesuatu yang saya harapkan
Bagaimanapun juga, doa-doa saya yang tidak terucapkan dijawab
Diantara manusia sayalah yang paling diberkati

Mengapa penulis tertarik menuliskan hal ini ? Karena didalamnya ada optimisme dan percaya pada kekuatan Sang Maha Agung. Begitu banyak orang yang menghadapi berbagai persoalan kemudian menjadi putus asa. Namun, ada orang-orang yang memiliki masalah lebih berat dapat keluar dari jebakan keputus-asaan dan kemudian mengarungi hidup secara lebih optimis.

Dr. Arthur Caliandro mengatakan Serahkan Masalah Anda Kepada Kekuasaan Yang Lebih Tinggi. Anda harus percaya bahwa ada skenario dari Sang Maha Agung yang membimbing kehidupan anda dan anda tidak perlu berputus asa terhadap permasalahan anda.

Diperlukan 3 langkah agar anda dapat menyerahkan persoalan kepada Kekuasaan Tertinggi :

1. Akui bahwa anda mempunyai masalah dan anda tidak berdaya menghadapinya. Masalah tersebut telah membuat hidup anda porak-poranda.
2. Percayalah ada Kekuasaaan Yang Lebih Tinggi yang dapat mengembalikan anda kepada keutuhan.
3. Kembalikan kemauan dan kehidupan anda kepada Kekuasaan Yang lebih Tinggi. Yakinlah DIA akan membantu.

Kemudian berdoa dan berjuanglah, .... selanjutnya serahkan kehidupan anda kepada Sang Maha Agung ................................

Kamis, 25 Juni 2009

COMMUNIC ASIA SINGAPORE


Pada tanggal 15-18 Juni 2009 penulis berkesempatan untuk mengikuti kegiatan Communic Asia di Singapore. Kegiatan yang berisi exhibition dan conference berkenaan dengan perkembangan terakhir dibidang telekomunikasi dan informasi tersebut diikuti oleh berbagai perusahaan raksasa dunia yang bergerak dalam produk maupun jasa telekomunikasi dan informasi. Perusahaan-perusahan besar tersebut berasal dari manca negara Amerika, Eropa, Australia dan Asia. Dari Asia terlihat perusahaan dari Jepang, Korea, Malayasi, Singapore dan sebagainya, namun sayang menurut amatan penulis tidak terlihat perusahaan dari Indonesia.

Communic Asia dilakukan secara rutin bahkan agenda untuk tahun 2010 pun telah ditentukan. Dalam hal ini menarik untuk diamati kemampuan Singapore untuk mengorganisir berbagai event berskala internasional dalam berbagai bidang termasuk bidang olahraga seperti Formula-1. Dari berbagai event besar berskala internasional tersebut Singapore meraup keuntungan yang luar biasa, mendatangkan devisa bagi negara.

Singapore adalah sebuah negara pulau yang sangat kecil bila dibandingkan dengan Indonesia. Minim bahkan hampir tidak ada sumber daya alam. Air bersih pun didatangkan dari Malaysia. Demikian pula pasir diambil dari Indonesia. Semua bahan pangan didatangkan dari luar negara, namun ketersediaan pangan di Singapore sangat berlimpah, berbagai jenis buah membanjiri Singapore dengan kualitas prima.


Apa kunci kemajuan Singapore? menurut penulis setidaknya ada 3 :

1. Leadership
2. Brain & people
3. Profesionalism & work attitude

Leadership dimulai dari kepemimpinan Bapak Singapore yaitu Lee Kuan Yew. Selepas dari Malaysia pada tahun 1965, dibawah kepemimpinan Lee Singapore mulai menata diri dengan pertama-tama adalah menegakkan disiplin. Perilaku sederhana yang keliatan remeh temeh seperti meludah sembarangan, mengunyah permen karet, membuang sampah merokok, ditertibkan. Lee dengan segenap unsur pemerintahannya boleh dikatakan menerapkan tangan besi untuk menegakkan disiplin. Hal ini dimulai dengan contoh keteladanan (role model) dan kemudian menerapkan sistem reward dan punishment yang konsisten. Melalui disiplin dibentuk perilaku manusia. Perilaku manusia inilah menjadi modal Singapore membangun negerinya.

Kemudian faktor brain dan people menjadi penentu utama keberhasilan Singapore. Sektor pendidikan memiliki peran penting untuk membanguan kualitas sumber daya manusia-nya. Singapore sadar dengan ketiadaan sumber daya alamnya, manusia dan otaklah yang menjadi modal mereka.

Profesionalism dan work attitude menjadi faktor berikutnya yang cukup penting yang membuat Singapore maju seperti saat ini. Profesionalisme dan sikap kerja mereka menganggumkan. Inilah yang membuat diantaranya berbondong-bondongnya para WNI berobat ke Singapore. Mereka tidak semata-mata menyediakan teknologi, sarana dan prasana kesehatan atau pun rumah sakit yang canggih, tetapi terutama mereka membentuk sikap pelayanan yang prima sehingga setiap orang yang beribat disana merasa dilayani dengan sangat baik dan merasa "diorangkan."

Apakah kesemua tersebut tanpa ekses negatif? Tentu ada. Kompetisi yang ketat membuat tekanan hidup masyarakat Singapore semakin meningkat, sehingga terlihat pula kecenderungan peningkatan bunuh diri. Hidup yang sangat diatur dan dalam irama ketat terkadang dirasakan oleh mereka sebagai siksaan. Namun, ini dikalahkan oleh kesadaran mereka bahkan mereka hidup dinegara kecil yang minus sumber daya alam. Sehingga mereka sadar dengan kompetisi yang ketat akan mampu membuat mereka lebih "survive." Disiplin, peraturan yang ketat, kompetisi walaupun dirasakan tidak nyaman mereka sadari sebagai bagian untuk membuat mereka mampu bertahan dan memenangkan persaingan di kancah global.

Hanya orang yang merasakan adanya ancaman yang mampu mempersiapkan diri lebih baik. Only paranoid people can be survived.

BAD PERFORMER, LESS EFFECTIVE EMPLOYEE, DEADWOOD

Pernahkah anda mendengar ketiga hal diatas yang tertera dalam judul tulisan ini? Ini adalah bahasa manajemen untuk menjelaskan mereka yang dianggap tidak memberikan kontribusi dalam produktivitas organisasi. Mereka dianggap lebih sebagai beban dan menjadi sumber permasalahan organisasi.

Bad performer adalah para karyawan yang tidak mampu menunjukkan unjuk kerja sesuai dengan harapan, menampilkan kinerja yang buruk. Less effective employee adalah karyawan yang tidak mampu mencapai target-target yang telah ditetapkan dan gagal dalam memnuhi kewajiban tugasnya. Deadwood adalah istilah yang merujuk pada karyawan yang memiliki low performance dan sekaligus juga low potential.

Apa yang salah dengan itu semua? Jika merujuk pada siklus pengelolaan SDM, maka manajemen SDM menyangkut kegiatan sebagai berikut :

1. Membuat Master Plan SDM
2. Melakukan Rekrutasi dan Seleksi
3. Membuat Program Orientasi dan Induksi
4. Penempatan
5. Pemeliharaan
6. Pengembangan
7. Terminasi

Munculnya karyawan yang bermasalah sebagaimana disebut diatas dapat terjadi karena kesalahan mulai dari tahap pertama sampai dengan tahap keenam. Artinya, kesalahan dapat muncul mulai saat membuata Master Plan atau rekrutasi dan seleksi atau kegiata-kegiatan berikutnya. Namun, tampaknya rekrutasi dan pengembangan memiliki kontribusi yang besar terhadap muncul para karyawan yang bermasalah tersebut.

Karyawan yang bermasalah dapat bermula dari kurang tepat dan kurang telitinya proses rekrutasi yang dilakukan. Mengambil sumber yang salah dapat mengakibatkan hasil yang salah pula. Mencari karyawan secara salah dapat mengakibatkan diperolehnya karyawan yang kurang tepat. Ini bias menjadi awal munculnya para bad performer, less effective employee atau deadwood.

Namun, aspek yang terbesar yang dapat menjadi sumber munculnya karyawan bermasalah adalah pada tahap pengembangan. Hal ini bisa terjadi karena :

1. Tidak adanya program pengembangan
2. Program pengembangan tidak tepat
3. Program pengembangan tidak dilakukan secara periodik
4. Program pengembangan yang berbeda dengan kebutuhan organisasi
5. Program pengembangan yang tidak sesuai dengan kebutuhan karyawan

Untuk mencegah munculnya karyawan yang bermasalah maka program rekrutasi dan pengembangan harus benar-benar dilaksanakan secara terarah, sistematis dan mencermati kebutuhan organisasi baik jangka panjang maupun jangka pendek.

Jika rekrutasi dan pengembangan SDM telah dilakukan dengan baik dan tetap muncul karyawan bermasalah maka dapat dilakukan hal-hal sebagai berikut :

1. Konseling, coaching, feedback, mentoring atau kegiatan lain yang berkenaan dengan membangun komunikasi dua arah untuk memberikan motivasi dan pemahaman pada karyawan agar dapat memperbaiki kinerjanya.
2. Training dan Development
3. Rotasi dan atau relokasi.
4. Evaluasi system, struktur, prosedur, leadership style
5. Jika tetap tidak menunjukkan perbaikan kinerja dapat ditawarkan program pension dini (namun ini diupayakan sebagai alternative terakhir, dilakukan dengan memperhatikan regulasi dan hak-hak karyawan)

Sabtu, 13 Juni 2009

TOXIC EMPLOYEE, KARYAWAN BERACUN DISEKITAR ANDA

Racun tidak hanya ada dimakanan, tumbuhan atau mungkin obat-obatan. Racun juga dapat terjadi pada perilaku manusia. Anthony Dio Martin dalam bukunya yang berjudul TOXIC EMPLOYEE menyebutkan hal tersebut.

Menurutnya ada tujuh ciri-ciri karyawan beracun, yaitu :

1. Negaholic dan pesimis
2. Menyedot enerji tim
3. Menjadi masalah
4. Bukan solusi
5. Self centered
6. Emosional
7. Menggosip dan tidak bisa bersyukur

Disekeliling diri kita memang banyak orang-orang yang berperilaku demikian, mungkin rekan kerja, bawahan, atasan atau bahkan diri kita sendiri. Bagaimana menetralisasinya? Bahkan mengubah orang-orang tersebut menjadi berperilaku lebih positif? Ini memang merupakan suatu tantangan dalam organisasi kerja.

Dalam pengalaman penulis memang ditemukan orang-orang berperilaku demikian, namun bukanlah tanpa sebab. Selain faktor individu yang bersangkutan terdapat pula faktor lain seperti gaya kepemimpinan, iklim kerja, sistem dan prosedur yang sudah tidak fit, termasuk ketidaksesuaian minat dan bakat dalam bekerja.

Dikaitkan dengan pemetaan karyawan menurut Boston Consulting Group (sebagaimana yang pernah penulis ulas sebelumnya di blog ini) maka sangat mungkin Toxic Employee ini adalah mereka yang tergolong berada pada grid PROBLEM EMPLOYEE, yaitu mereka yang memiliki potensi yang baik namun berkinerja rendah.

Orang-orang yang memiliki potensi yang tinggi namun tidak mampu menampilkan kinerja yang sesuai dengan harapan bisa karena berbagai sebab, yaitu :

1. Ditempatkan pada bidang yang tidak sesuai minatnya
2. Kurang mampu beradaptasi
3. Memiliki ambisi yang tinggi yang menuntut kesegeraan dalam promosi
4. Berpikir jangka pendek dibandingkan jangka panjang
5. Memiliki tingkat kebutuhan yang berlevel rendah sesuai dengan hirarki kebutuhan Maslow

Orang-orang yang memiliki ciri sebagaimana disebutkan diatas sangat mungkin menjadi Toxic Employee, karyawan beracun yang dapat menganggu lingkungan kerja bahkan menghambat kemajuan organisasi atau perusahaan.

Untuk mengatasi hal tersebut yang paling penting dilakukan adalah pencegahan, namun apabila sudah terjadi diperlukan upaya untuk mengatasinya secara lebih terarah dan terstruktur.

Pencegahan dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut :

1. Mulai pada saat rekrutasi, carilah mereka yang memiliki nilai yang sama dengan nilai perusahaan, tidak sekedar memiliki nilai akademik yang tinggi seperti IPK.
2. Galilah kebutuhan utama mereka dan lihatlah apakah mereka bekerja dengan orientasi jangka panjang? Berkaitan dengan ini dapat pula dilihat track-recordnya.
3. Tempatkan pada bidang yang sesuai dengan minatnya, namun perhatikan pula tingkat toleransinya untuk menerima pekerjaan yang kurang sesuai dengan minatnya, karena pada kenyataannya kebutuhan organisasi tidak selalu dapat disesuaikan dengan minat karyawan.
4. Perhatikan kematangan emosinya (gunakan perangkat psikologi), karena mereka yang tidak matang akan sangat berpotensi menjadi Problem Employee.
5. Mintalah komitmen yang bersangkutan untuk mampu bekerjasama demi kepentingan dan kemajuan perusahaan.
6. Setelah bekerja lakukan langkah monitoring dan evaluasi secara berkala.
7. Berikan reward dan recognition secara tepat.

Apabila tindakan preventif telah dilakukan, namun masih muncul karyawan yang tergolong Problem Employee, maka lakukanlah langkah-langkah perbaikan sebagai berikut :

1. Lakukan konseling secara tepat.
2. Berikan peringatan secara bertahap dan berjenjang.
3. Berikan kesempatan untuk memperbaiki diri dan manajemen maupun manajer lini memberikan dukungannya.
4. Tempatkan yang bersangkutan pada pekerjaan dan lingkungan yang sesuai.
5. Libatkan yang bersangkutan pada tim kerja yang positif sehingga diharapkan dapat menularkan perilaku kerja yang lebih baik kepada dirinya.
6. Terbuka untuk memperbaiki gaya kepemimpinan, sistem maupun prosedur, karena sangat mungkin hal ini menjadi salah satu sumber masalah.
7. Tetapkan jangka waktu untuk memperbaiki diri dan libatkan yang bersangkutan untuk melakukan evaluasi bersama.
8. Apabila dalam jangka waktu tertentu yang telah disepakati tetap tidak ada perubahan dapat dilakukan tindakan yang lebih tegas mulai dengan mutasi, demosi, skorsing atau pemberhentian, tergantung dari situasi dan kondisi yang dihadapi.

Namun, dalam pengalaman penulis komunikasi dan gaya kepemimpinan sangat memegang peranan penting untuk mengatasi orang-orang yang tergolong Problem Employee atau bahkan mereka yang tergolong Toxic Employee. Jadi berkomunikasilah secara tepat dan sesuaikanlah gaya kepemimpinan anda.

Dalam hal ini penulis teringat sebuah kalimat bijak :

"Mengubah lingkungan memang sulit, yang paling mungkin adalah merubah diri anda sendiri dan demikian diharapkan lingkungan anda pun turut berubah."

Jumat, 12 Juni 2009

OUTSOURCING DAN INSOURCING

Kata Outsourcing saat ini marak kembali terdengar, setelah salah satu pasangan Calon Wakil Presiden menjanjikan apabila terpilih maka akan menghapuskan pola Outsourcing dalam dunia ketenagakerjaan. Outsourcing adalah pemberian sebagian pekerjaan yang tidak bersifat rutin dan bukan inti perkerjaan disebuah organisasi/perusahaan ke pihak lain atau pihak ketiga. Pola ini sangat ditentang oleh sebagian tenaga kerja karena tidak memberikan rasa aman dalam bekerja dan tidak jelasnya karir para pekerja. Namun, pola ini tampak semakin diminati oleh sebagian besar perusahaan mengingat sering tidak jelasnya prospek dunia usaha, pekerjaan yang bersifat temporer dan perubahan yang sangat cepat baik dari sisi demand, market maupun teknologi.

Disamping outsourcing dikenal pula istilah Insourcing. Secara terminologi ia memiliki arti yang berlawanan dengan Outsourcing. Insourcing adalah mengoptimalkan karyawan dalam perusahaan untuk dipekerjakan diluar perusahaan berdasarkan kompetensi dan minat karyawan itu sendiri dan difasilitasi oleh perusahaannya.

Insourcing bisa dalam bentuk bekerja diluar perusahaan secara fulltime, fifty-fifty atau temporary. Kompensasi yang diterima juga mengikuti pola tersebut, artinya mereka akan dibayar secara penuh oleh perusahaan yang menggunakannya, atau sharing dengan perusahaan asalnya atau perusahaan asal hanya menanggung selisih gaji.

Insourcing dapat terjadi karena hal-hal sebagai berikut :

1. Kompetensi karyawan yang tidak optimal dimanfaatkan didalam perusahaan.
2. Terjadinya perubahan yang mengakibatkan beberapa kompetensi tertentu tidak dibutuhkan lagi didalam perusahaan.
3. Sebagai persiapan karyawan untuk menempuh karir baru diluar perusahaan.

Manfaat Insourcing adalah :

1. Dapat memberikan kesempatan karyawan untuk menempuh karir baru.
2. Mengatasi kejenuhan didalam perusahaan.
3. Memberikan kesempatan karyawan untuk dikenal dipasar kerja.
4. Menyalurkan pemanfaatan kompetensi secara optimal.
5. Mencegah terjadinya konflik antara karyawan dan perusahaan berkaitan dengan ketidaksesuaian harapan dan kebutuhan diantara keduanya.

Minggu, 07 Juni 2009

PEMETAAN KARYAWAN DALAM PERSPEKTIF HUMAN CAPITAL

Sumber Daya Manusia atau SDM dalam sebuah organisasi adalah elemen penting dalam menentukan keberhasilan organisasi terebut untuk mencapai tujuan. Dalam sebuah perusahaan SDM yang lazim disebut dengan karyawan dianggap sebagai asset dan sebagai capital yang menentukan.

SDM sebagai kapital sering juga disebut dengan Human Capital. Human capital sesungguhnya merupakan terminologi ekonomi yang mencoba menganalisa kedudukan SDM dalam konteks Business. Pengertian human capital sering pula tidak dapat dipahami secara universal karena sangat terkaita bagaimana filosofi, kultur dan sistem yang berlaku didalam perusahaan tersebut. Salah satu definisi yang dapat dipakai adalah berkaitan dengan pengertian human capital secara ekonomi (George S. Odiorne), sebagai berikut :

"Human capital economics is a system of inputs, processes, outputs, and adjustments which individuals, firms, government agencies, institutions, and societies make toward the increase of potential and performance which the individual human or humans as groups may contribute to society, the economy, specific employers, or themselves."

Dalam pengertian tersebut diatas jelas konteks human capital sangat berkaitan dengan input, proses dan output. Sekilas memperhatikan ini, SDM coba dianalisa sebagaimana aset atau capital lain yang ada dalam perusahaan. Namun, sesungguhnya pengertian ini mendudukan bahwa human atau SDM secara minimal tidak lebih rendah dari aset atau capital yang lain. SDM bisa dikalkulasi, bisa dihitung perannya dan bukanlah sesuatu yang tidak bisa diabaikan kontribusi. SDM dalam peruhasaan memiliki dimensi yang bersifat tangible sekaligus intangible. Human capital merupakan sisi SDM yang bersifat tangible.

Pemetaan karyawan dalam perspektif human capital pada dasarnya memposisikan SDM berdasarkan suatu ukuran yang tangible, sehingga secara rasional dan logis kita dapat menempatkan SDM sesuai dengan dimensi pengukuran yang dibutuhkan. Namun, sebagai catatan memposisikan SDM secara tangible ini (human capital) tidak dapat mengabaikan aspek yang lebih substantif dari SDM yang berkaitan dengan dimensi intagible.

Kembali ke pendekatan human capital yang meneropong SDM berdasarkan input, proses dan output, bahwa pendekatan ini semata-mata untuk memudahkan pengukuran kontribusi SDM dan sekaligus untuk menekankan adanya aspek-aspek objektif dari sisi SDM yang dapat digunakan untuk mengetahui kontribusinya terhadap perusahaan atau organisasi disamping aset atau capital lainnya.

Input berkaitan dengan demographi dan populasi. Sedangkan proses berkaitan dengan pendidikan formal dan pelatihan terstruktur yang diikuti. Dalam proses kadang-kadang dipertimbangkan pula pengelaman yang berkaitan dengan informal learning. Output berkaitan dengan kualifikasi ketenagakerjaan seperti keahlian, profesionalisme, managerial. Ujung dari output ini adalah kinerja yang diberikan SDM atau karyawan terhadap perusahaan atau organisasinya. Kinerja inilah yang menjadi basis pemetaan karyawan.

Pemetaan karyawan dalam perspektif human capital bersumbu utama pada kinerja (performance). Kinerja langsung (direct performance) adalah kontribusi langsung yang diperoleh perusahaan dari karyawannya. Namun, ada pula kinerja tidak langsung (inderect performance) yang lazim disebut dengan potensi (potential). Persilangan antara kinerja dan potensi akan menghasilkan pemetaan karyawan.

George S. Odiorne, seorang Profesor dalam bidang Manajemen di Eckerd College, St. Petersburg, Florida, memetakan karyawan kedalam 4 area, sebagai berikut :

1. High Performance - High Potential disebut dengan karyawan STARS
2. High Performance - Low Potential disebut dengan karyawan WORKHORSE
3. Low Performance - High Potential disebut dengan karyawan PROBLEM EMPLOYERS
4. Low Performance - Low Potential disebut dengan karyawan DEADWOOD

Perusahaan yang berorientasi jangka pendek dan mendudukkan SDM setara dengan aset atau capital yang lain, cenderung hanya mempertahankan karyawan yang bertipe STAR dan WORKHORSE, sedangkan kedua tipe yang lain cenderung dieliminasi. Namun, perusahaan yang berorientasi jangka panjang dan melihat aspek yang lebih substantif dari SDM, mencoba melihat hasil pemetaan karyawan tersebut sebagai feedback bagi sistem manajemen SDM bahkan lebih luas sebagai feedback dalam pengelolaan perusahaan.

Dengan asumsi bahwa proses rekrutmen telah dilakukan dengan baik, maka hasil pemetaan karyawan akan memberikan masukan yang sangat bermanfaat untuk perbaikan sistem manajemen SDM dan sistem pengelolaan perusahaan.

Namun, tidak dapat dipungkiri pula ada suatu titik untuk menentukan apakah sistem manajemen SDM yang keliru atau memang karyawan tersebut tidak dapat diperbaiki atau dikembangkan lagi. Untuk menentukan hal ini diperlukan setidaknya pertimbangan sebagai berikut :

1. Apakah seluruh karyawan telah memperoleh kesempatan yang sama untuk berkembang?
2. Apakah karyawan yang tidak berprestasi sudah diberi kesempatan dan dorongan dari perusahaan untuk memperbaiki kinerjanya?
3. Apakah karyawan yang tidak berprestasi telah diberi kesempatan untuk bekerja sesuai dengan minat dan kemampuannya?
4. Apakah karyawan yang tidak berprestasi sudah diuji-cobakan minimal didua tempat bekerja yang berbeda?
5. Apakah karyawan yang tidak berprestasi telah berlangsung lebih dari 2 tahun? atau minimal dalam 2 tahun terakhir penilaian kinerjanya dibawah rata-rata.
6. Apakah karyawan yang tidak berprestasi memperoleh penilaian minimal dari 2 orang penilai?

Untuk menentukan hal tersebut setidaknya diperlukan suatu Komite yang independen dengan tingkat objektifitas penilaian yang dapat dijamin. Komite ini akan mempelajari seluruh data yang tersedia, membandingkan secara tepat bahkan mencoba membandingkan dengan kinerja perusahaan sejenis untuk memastikan bahwa under-performance terjadi bukan karena pengaruh faktor eksternal yang masif (diluar kendali pegawai), menghitung tingkat kelayakan dan prospek karyawan, serta menjamin posisi tetap netral dengan memberikan rekomendasi yang menguntungkan bagi kesemua pihak, menguntungkan karyawan maupun perusahaan.

Kamis, 04 Juni 2009

SOFTSKILL DAN COOP (COOPERATIVE EDUCATION PROGRAM)

Coop atau Cooperative Education Program telah pernah penulis bahas dua kali didalam blog ini yaitu pertama pada tanggal 29 Juni 2008 dan kedua pada tanggal 9 Mei 2009. Penulis tertarik untuk membahas masalah ini lagi karena adanya pertanyaan dari seorang pembaca blog ini dari Banyuwangi, pertanyaannya sebagai berikut :

"Maaf jika email saya mengganggu...saya mengetahui email bapak dari blog bapak yang terhubung dari Google pada saat saya mencari informasi tentang program Co-op..
kalau boleh saya minta informasi lebih lanjut tentang program co-op.. apa saja yang harus dilakukan dalam pelaksanaan program co-op ini...apakah pelatihan softskill mutlak dilakukan sebagai bekal bagi mahasiswa peserta co-op?
terima kasih atas waktunya
Pak
salam,
Yovita,
Banyuwangi"

Pertanyaan dari Sdr. Yovita sangat menarik terutama berkaitan dengan softskill dalam program Coop.

Sebagaimana telah dibahas sebelumnya Coop sesungguhnya adalah suatu bentuk dari Program Belajar-Bekerja terpadu, dengan pengertian dan karakteristik sebagai berikut :

• Program Belajar-Bekerja Terpadu : strategi pendidikan dan pengembangan SDM yang mengintegrasikan mahasiswa dengan berbagai latar belakang ilmu dari bangku kuliah dengan pengalaman kerja yang produktif ( “work-based learning” atau “work-integrated learning”).

• Melibatkan tiga peserta : mahasiswa, perguruan tinggi, dan dunia usaha.

• Konsep dasar : (1) awal karir seseorang bukan setelah lulus, melainkan sejak memasuki perguruan tinggi; dan (2) merupakan program praprofesional, yakni awal pilihan ke arah kemampuan untuk bekerja.

Sedangkan Softskill pada dasarnya adalah keterampilan yang sangat terkait dengan aspek personal qualities seseorang, seperti kematangan emosi, kemampuan pengendalian diri, kemampuan penyesuaian diri, kerjasama, sikap empati dan simpati. Softskill sesungguh merupakan domain kehidupan emosi dan sosiabilitas seseorang.

Disebutkan bahwa Coop adalah program Belajar-Bekerja terpadu. Dalam konteks Belajar dan Bekerja jelas tidak hanya melibatkan aspek knowledge dan skill saja tetapi juga meliputi aspek personal qualities. Artinya Coop adalah media pembelajaran langsung dalam situasi kerja sekaligus untuk semakin mengasah dan mematangkan aspek Softskill seorang Mahasiswa.

Jadi boleh pula disebut Coop adalah kesempatan bagi peserta untuk berlatih semakin mematangkan softskilnya. Jika saat kuliah mahasiswa menimba ilmu secara intens dengan penekanan pada aspek pengembangan wawasan dan mengasah keahlian, maka saat Coop adalah kesempatan untuk mengimplementasikan ilmu yang dimiliki. Dalam mengimplementasi ini sentuhan softskill menjadi penting.

Dari berbagai pengalaman menunjukkan bahwa kemampuan kecerdasan intelektual tidak cukup menjadi jaminan keberhasilan seseorang. Aspek emosi dan sosiabilitas cukup penting disamping unsur spiritualitas. Semua ini ada dalam dimensi Softskill.
Untuk lebih memperkaya pemahaman akan softskil akan dicuplik pengertian softskill dari berbagai sumber, sebagai berikut :

Wikipedia :
Soft skills is a sociological term for a person's "EQ" (Emotional Intelligence Quotient), which refers to the cluster of personality traits, social graces, communication, language, personal habits, friendliness, and optimism that mark us.[1] Soft skills complement hard skills (part of a person's IQ), which are the technical requirements of a job and many such similar jobs.
A person's soft skill EQ is an important part of individual contribution to the success of an
organization. Organizations, particularly those dealing with customers face-to-face, are generally more successful if they train their staff to use these skills. Screening or training for personal habits or traits such as dependability and conscientiouness can yield significant return on investment for an organization. [2] For this reason, soft skills are increasingly sought out by employers in addition to standard qualifications.
It has been suggested that in a number of professions soft skills are more important over the long term than technical skills. The legal profession is one example where the ability to deal with people effectively and politely can determine the professional success of a lawyer more than his or her mere technical skills.
[3]

Business Dictionary :
Communicating, conflict management, human relations, making presentations, negotiating, team building, and other such ability, defined in terms of expected outcomes and not as a specific method or technique such as statistical analysis.

Mimi.hu :
Soft skills are essentially people skills -- the non-technical, intangible, personality-specific skills that determine your strengths as a leader, listener, negotiator, and conflict mediator.
Dari beberapa definisi diatas terlihat softskil sangat berkaitan dengan dimensi personal, emosional dan interpersonal. Disebut sebagai keahlian yang berkaitan dengan human relations, people skills dan bersifat intangible.

Dalam Coop keseluruh aspek dalam softskill tersebut memperoleh kesempatan untuk dikembangkan, ditingkatkan dan dimantapkan. Hal itu karena dalam Coop setiap peserta memperoleh kesempatan seperti :

1. Bekerjasama
2. Mengkomunikasikan gagasan
3. Membina hubungan interpesonal
4. Memahami dan belajar bertinteraksi dengan rekan kerja dan atasan
5. Mengelola tekanan mental dalam bekerja
6. Mampu mengetahui dan mengutamakan kebutuhan kelompok dan kepentingan bersama
7. Memahami tingkat kepentingan dan kesegeraan dalam bekerja (sense of importancy and urgency)
8. Belajar mengelola sumberdaya
9. Belajar mengekspresikan emosi secara tepat
10. Belajar dan bertindak sesuai dengan etika dan norma yang berlaku dilingkungan kerja

Jadi dengan ulasan tersebut diatas jelas Coop merupakan suatu kawah candradimuka yang cukup penting bagi peserta untuk mengasah kemampuan softskill-nya untuk nantinya benar-benar siap memasuki lingkungan kerja.

Selasa, 02 Juni 2009

SEXUAL DEVIATION (PENYIMPANGAN SEKSUAL)

Sexual Deviation atau Penyimpangan Seksual merupakan fenomena umum yang sekarang semakin marak terjadi. Hubungan seksual yang biasanya dilakukan secara sah oleh suatu pasangan dan dilakukan dalam ruang private, sekarang mulai dilakukan secara bebas dan bahkan telah keluar dari batas-batas privasi seseorang serta dapat menjadi konsumsi publik.

Sexual (seksual) merupakan istilah yang merujuk pada aktivitas yang terkait dengan sensasi-sensai organis dari perangsangan organ-organ penerima dalam erogenous zones. Sedangkan deviation atau penyimpangan adalah suatu hal yang dilakukan berbeda dari standar referensi, norma atau nilai-nilai yang berlaku umum. Dalam konteks ini dikenal pula dengan apa yang disebut sebagai sexuality, yang merujuk pada aspek mental dari totalitas sifat-sifat seks primary dan secondary, kadang-kadang digunakan dalam arti semi patologis dari perkembangan impuls seks yang berlebihan. Jadi, penyimpangan seksual dapatlah diartikan sebagai suatu aktivitas yang berkaitan dengan hubungan seksual yang dilakukan secara berbeda atau menyimpang dari standar referensi, norma atau nilai yang berlaku umum.

Suatu aktivitas atau hubungan seksual yang sehat biasanya harus memenuhi syarat sebagai berikut :

1. Dilakukan dengan senang hati, tanpa keterpaksaan dari kedua-belah pihak atau pasangan.
2. Tidak memberikan dampak negatif terhadap kondisi fisik dan psikologis baik pada saat aktivitas tersebut berlangsung atau setelah aktivitas tersebut berlangsung.
3. Sesuai dengan standar, norma dan nilai-nilai yang dianut oleh kedua-belah pihak atau pasangan.

Namun, dalam berbagai hal sering terlihat salah satu, dua atau kesemua syarat tersebut tidak terlaksana dengan semestinya, sehingga hal ini menimbulkan apa yang disebut dengan penyimpangan seksual. Penyebabnya sangat beragam mulai dari faktor psikologis, fisik, sosial, budaya bahkan terkait dengan kepentingan ekonomi dan kekuasaan.

Sebagian besar permasalahan penyimpangan seksual terjadi karena faktor psikologis. Salah satu kajian penting dalam terhadap penyimpangan seksual dapat dipahami melalui pendekatan psikoanalisis yang sangat menekankan pengkajian terhadap kehidupan masa awal seseorang (balita). Seringkali penyimpangan seksual dimulai dengan terjadinya trauma yang berkaitan dengan seksual pada saat awal kehidupan seseorang. Sexual trauma merupakan suatu shok secara emosi yang dialami pada masa kanak-kanak awal dan dalam teori psikoanalitis lama dianggap sebagai suatu penyebab yang menentukan kehidupan seksual seseorang saat dewasa. Kadang-kadang trauma seksual ini dikaitkan dengan gangguan histeria, namun diantara para ahli masih berbeda pendapat terhadap hal tersebut.

Dalam konteks ini perlu dipahami pula apa yang disebut dengan sexual instinct dan sexual latency. Sexual inxtinct adalah seluruh hal yang terkait dengan impuls perangsangan termasuk yang berkaitan dengan seksual, namun sexual instinct ini sering ditentang oleh ego instinct, sehingga sering terjadi proses tarik menarik dalam diri seseorang antara dorongan penyaluran seksualnya dengan egonya atau akal sehat yang berkaitan dengan realitas.

Sexual latency adalah suatu periode perkembangan psikologis seseorang, kira-kira antara 5-6 tahun sampai dengan pubertas, dimana periode antara usia ini sampai dengan memasuki masa dewasa secara seksualitas terjadi jeda dari perkembangan seks. Jadi konkritnya selama periode 0 tahun sampai dengan 5-6 tahun terjadi proses pembentukan fondasi dan orientasi seksualitas seseorang, setelah itu akan memasuki masa laten sampai dengan tahap memasuki dewasa awal atau remaja. Saat memasuki masa remaja akan terjadi ledakan dorongan seksual dan pada pribadi normal ditandai dengan ketertarikan yang intens terhadap lawan jenis.

Perkembangan seksual seseorang sangat terkait erat dengan sex character, yaitu setiap ciri-ciri anatomis, fisiologis, psikologis yang membedakan jenis kelamin. Sexual charaxter ini diklasifikasikan dalam primary dan secondary. Primary berhubungan dengan fungsi-gungsi reproduksi dan secondary tidak berhubungan langsung dengan reproduksi.

Dalam perkembangannya, sangat mungkin pula terjadi proses pelambatan perkembangan seksual. Hal ini sering disebut dengan sexual infantilism, yaitu perlambatan dalam perkembangan sifat-sifat seksual, primary atau secondary, walaupun usia pubertas sudah dicapai, namun perkembangan aspek seksual belum mengikuti secara sesuai, bahkan sangat mungkin terjadi kemunduran dalam aspek perkembangan seksual seseorang.

Jika diurut penyimpangan sexual dapat dilacak mulai dari sexual instinct, sexual character, sexual feeling dan sexual behavior. Sexual instinct merupakan aspek yang tersembunyi yang tidak dapat dilihat secara terbuka. Sexual character sebagian dapat diamati. Hal tersebut semakin jelas pada tahap sexual feeling, yaitu mencakup perasaan-perasaan dan emosi-emosi yang dialami oleh anggota-anggota satu jenis kelamin terhadap jenis kelamin yang lain yang diakibatkan oleh perbedaan jenis kelamin. Sexual behavior merupakan gambaran utuh mengenai refleksi dari dorongan seksual seseorang. Penyimpangan akan sangat jelas terlihat pada bentuk-bentuk perilaku yang ditunjukkan.

Dalam kajian yang lebih modern yang sedikit berbeda dengan pendekatan psikoanalitis konvensional, faktor lingkungan dipercaya memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kemunculan suatu penyimpangan. Seperti kasus bestiality, yaitu melakukan hubungan seks dengan hewan, pelakunya sering sekali mereka yang sehari-hari berhubungan secara intensif dengan hewan, seperti diperternakan, klinik hewan atau yang suka memelihara hewan. Demikian pula fobia yang berhubungan dengan seksual, selain faktor pengalaman, peran lingkungan memberikan pengaruh yang kuat pula.

Kasus-kasus kekerasan yang terkait dengan seksual seperti sadism dan masokism sangat dipengaruhi oleh pengalaman masa kecil, dimana yang bersangkutan pernah menyaksikan perilaku tersebut secara intens atau bahkan menjadi korban dari perlakuan tersebut. Kemudian karena ada rangsangan seksual yang mengiringi saat peristiwa kekerasan tersebut terjadi maka terjadilah proses asosiasi yang kemudian diadopsi menjadi perilaku yang bersangkutan dan terus tumbuh dan berkembang saat dewasa. Konkritnya terjadi proses asosiatif antara kenikmatan dengan kekerasan. Sadism dan masokism dikaitkan pula oleh dorongan agresi dan kehendak untuk berkuasa. Apabila ia seorang yang memiliki kapasitas kekuasaan yang cukup (superior) maka kesenangan seksual dibarengi dengan perilaku menyakiti sehingga yang bersangkutan disebut sebagai seorang yang sadism. Apabila yang bersangkutan tidak memiliki kapasitas kekuasaan yang cukup (inferior) maka dorongan agreasi dan berkuasanya ditransfer kepada pasangannyan, kemudian kesenangan seksualnya akan dibarengi pula oleh kesediaan atau kebutuhan untuk disakiti, perilaku ini disebut dengan masokism. Dalam beberapa kasus individu dapat mengidap kedua gejala tersebut, artinya dapat sebagai pribadi yang sadis sekaligus masokis. Hal ini sangat mungkin terjadi karena pada fase perkembangan seksulitasnya ia mengadopsi kedua perilaku tersebut kedalam dirinya.

Berbagai bentuk penyimpangan seksual lainnya dapat diurai dinamikanya dengan melacak kehidupan seksual seseorang ditahap awal perkembangannya, melakukan analisis pola asuh dan melakukan analisis terhadap lingkungan kehidupannya. Kebutuhan terapi biasanya menyertakan tentang riwayat kehidupan seseorang, informasi tentang lingkungan dan analisis psikologis terhadap kepribadiannya.

Senin, 01 Juni 2009

WELCOME MANOHARA

Kemarin Minggu 31 Mei 2009 akhirnya Manohara kembali ke Indonesia setelah melalui pertemuan secara dramatis dengan ibunya di sebuah hotel di Singapura. Kisah Manohara cukup mengharu-biru pemberitaan media massa ditengah publikasi tentang Pemilu dan persiapan pemilihan Presiden. Welcome Manohara.

Kisah tentang Manohara telah banyak diketahui publik bahkan sampai terjadi komunikasi ditingkat pemerintahan, terutama melalui beberapa keterangan yang sempat disampaikan oleh Duta Besar Republik Indonesia di Malaysia, Dai Bachtiar. Berbagai upaya dilakukan untuk mempertemukan ibunda Manohara dengan Manohara, tetapi dengan berbagai alasan pula pihak Kesultanan Kelantan belum memenuhi permintaan tersebut. Alih-alih mempertemukan mereka, Kesultanan Kelantan berusaha mempengaruhi opini massa dengan menampilkan Manohara dalam berbagai kesempatan dan diliput media massa seolah-olah Manohara dalam keadaan baik-baik saja.

Terdapat dua persoalan penting terkait dengan Manohara. Yaitu pertama mengenai persepsi publik Malaysia terhadap Indonesia, kedua adalah persoalan psikologis dari Pangeran Kelantan Tengku Fachri yang tampaknya memiliki persoalan kepribadian tersendiri yang kemudian mempengaruhi perilakunya.

Persepsi publik Malaysia sendiri terhadap Indonesia tampak berada dalam dua ekstrim yang berbeda. Disatu sisi mereka merasa Indonesia jauh lebih besar dan senior namun disisi lain mereka memandang "sebelah mata" terhadap Indonesia. Persepsi terhadap Indonesia yang lebih besar dan dituakan lebih dipengaruhi oleh faktor sejarah. Sedangkan persepsi memandang sebelah terhadap Indonesia lebih karena persoalan ekonomi mereka yang saat ini lebih maju dan dengan keberadaan TKI di Malaysia. Inilah situasi "paradox of perception" Malaysia terhadap Indonesia.

Penulis sendiri dalam berbagai kesempatan pernah bertemu dengan warga Malaysia, baik dalam seminar-seminar, training atau kesempatan informal lainnya. Sebagian dari mereka tampak mengagumi Indonesia, mengakui kebesaran Indonesia. Namun, sebagian dari mereka juga mengeluhkan berbagai perilaku negatif yang ditunjukkan TKI di Malaysia. Sebagian orang Malaysia mengagumi tokoh-tokoh besar dari Indonesia, tetapi disisi lain mereka juga meremehkan keberadaan TKI disana.

Paradox of perception ini sedikitnya memberi pengaruh terhadap kasus Manohara, disamping pengaruh faktor psikologis diantara Pangeran Kelantan dengan Manohara. Pangeran Kelantan cenderung menganggap "rendah" Manohara namun ia memiliki kekaguman juga terhadap Manohara sehingga ia meperistri Manohara. Kondisi Paradox juga menghinggapi Kesultanan Kelantan dengan melakukan pembangunan opini di media massa dan mengutus pembantunya yang orang Indonesia untuk memberikan informasi. Artinya, Kesultanan Kelantan cukup memahami tingkat keseriusan masalah ini dan berusaha melakukan pembelaan.

Dalam kasus Manohara terlihat berbagai aspek saling terkait, yaitu psikologis, sosial-budaya, politik dan ekonomi. Disamping tentunya yang tidak dapat dikesampingkan adalah aspek hukum, baik terkait dengan status perkawinannya, dugaan kekerasan dalam rumah tangga dan jika tidak hati-hati dapat dipolitisasi kearah hubungan antara kedua negara mengingat hubungan Indonesia-Malaysia selalu dalam kondisi "naik-turun."