Jumat, 23 April 2010

PRINSIP-PRINSIP KEMAJUAN

Mengapa sebuah bangsa bisa jauh lebih maju dibandingkan dengan bangsa lainnya? Demikian pula dengan masyarakat, keluarga maupun individu mengapa ada yang bisa lebih maju atau pun berhasil dibandingkan dengan yang lainnya? Pertanyaan ini sering mengusik benak kita, mengapa ada yang lebih sukses dibandingkan dengan yang lainnya?

Dari hasil observasi, penelaahan dan pendapat dari berbagai tokoh besar yang berhasil sukses, setidaknya menurut penilaian sebagian orang, maka ditemukan prinsip-prinsip kemajuan sebagai berikut :

1. Adanya visi jangka panjang terhadap apa yang ingin dicapai.
2. Adanya misi yang mendukung pencapaian visi tersebut.
3. Investasi terhadap sumber daya manusia yang besar berupa pendidikan dan pengembangan kompetensi.
4. Kemampuan untuk bertindak efisien dan efektif.
5. Jeli dalam melihat prioritas apa yang harus dilakukan dengan mempertimbangkan tingkat kepentingan (importancy) dan kesegeraan (urgency).
6. Membuat target, perencanaan, program yang realistis sekaligus menantang.
7. Senantiasa melakukan evaluasi terhadap program yang dilakukan dan melakukan perbaikan/peningkatan yang berkelanjutan (continous improvement).
8. Adanya "leadership" untuk memastikan ketujuh hal tersebut berjalan dengan baik.

Kedelapan hal diatas umumnya dilakukan oleh mereka yang dianggap maju dan berhasil, apakah itu sebuah bangsa, negara, masyarakat, keluarga maupun individu. Disamping kedelapan prinsip kemajuan diatas, dalam konteks negara dikenal pula dengan Human Development Index (HDI). Biasanya kemajuan sebuah negara dapat pula dilihat dari pencapaian Human Development Index (HDI).

Menurut Wikipedia HDI adalah pengukuran perbandingan dari harapan hidup, melek huruf, pendidikan dan standar hidup untuk semua negara seluruh dunia. IPM digunakan untuk mengklasifikasikan apakah sebuah negara adalah negara maju, negara berkembang atau negara terbelakang dan juga untuk mengukur pengaruh dari kebijaksanaan ekonomi terhadap kualitas hidup.

Indeks ini pada 1990 dikembangkan oleh pemenang nobel india Amartya Sen dan Mahbub ul Haq seorang ekonom pakistan dibantu oleh Gustav Ranis dari Yale University dan Lord Meghnad Desai dari London School of Economics dan sejak itu dipakai oleh Program pembangunan PBB pada laporan IPM tahunannya. Digambarkan sebagai "pengukuran vulgar" oleh Amartya Sen karena batasannya, indeks ini lebih fokus pada hal-hal yang lebih sensitif dan berguna daripada hanya sekedar pendapatan perkapita yang selama ini digunakan. Indeks ini juga berguna sebagai jembatan bagi peneliti yang serius untuk mengetahui hal-hal yang lebih terinci dalam membuat laporan pembangunan manusianya.

IPM mengukur pencapaian rata-rata sebuah negara dalam 3 dimensi dasar pembangunan manusia:

• hidup yang sehat dan panjang umur yang diukur dengan harapan hidup saat kelahiran
• Pengetahuan yang diukur dengan angka tingkat baca tulis pada orang dewasa (bobotnya dua per tiga) dan kombinasi pendidikan dasar , menengah , atas gross enrollment ratio (bobot satu per tiga).
• standard kehidupan yang layak diukur dengan logaritma natural dari produk domestik bruto per kapita dalam paritasi daya beli.

Dengan menerapkan prinsip-prinsip kemajuan tersebut, termasuk memperhatikan human development index diharapkan menjadi modal untuk meraih keberhasilan hidup, selebihnya keberuntungan dan nasib baik pun turut mempengaruhi kesuksesan hidup. Keberuntungan dan nasib baik adalah domain Yang Maha Kuasa, untuk itu kehidupan spiritual dan berdoa perlu pula dilakukan untuk mendukung semua usaha yang dilakukan.

Rabu, 21 April 2010

A- VERSUS B- LEVEL LEADERS

A- Level Leaders

A- level leaders continually focus on leveraging the firm’s competitive advantage by increasing value to customers and creating wealth for investors. Employees, especially those in strategic roles, are clearly aware of the firm’s strategy for winning in the marketplace. Work is constantly revised to find ways to add more strategic value to customers and to eleminate work (and bureaucracy) that no longer adds value. A- level leaders identify roles that add strategic value and demand they be filled by the best talent available in the labor market and will not settle for less than the best. Performance expectations are clear and consistently raised, employee performance is continually inspected againts these expectations and specific feedback is provided. Reward are disproportionate, reflecting the strategic contribution/performance of the employee. Considerable time is devoted to developing the strategic workforce to coaching, rotations and external training programs. Leaders are evaluated on their leadership capability based on a 90- degree instrument (i.e., from director reports) that assesses how strategically they manage their workforce.

B- Level Leaders

B- level leaders maintain the status quo rather than change. They focus the workforce internally, primarily on today’s work. Work is based on job description (how it was done in the past), rather than future value added to customers. Once created, few positions and little work are eliminated. The objectives of selecting employees is to fill the position, often based on political considerations, not rigorously seeking the best candidate (either inside or outside the firm). Performance expectations are often unclear (or based on job descriptions), and little feedback is provided during the performance period. There is little variance in performance ratings and many employees are highly rated. Rewards are about the same for everyone, irrespective of actual performance. Most “merit” variance can be explained by the employee’s base pay, rather than performance. Development is driven more by convenience, rather than by design, with many high potential candidates identified, regardlessof their strategic role in the firm. Manager’s competencies are assessed, in part, using a 360-degree instrument (often purchased from a consulting firm), where the manager often selects who provides the data. The 360-degree instruments are developmental-only tools, with the results provided only to the manager profiled.

(Source : The Differentiated Workforce by Brian E. Becker; Mark A. Huselid; Richard W. Beatty).

Minggu, 18 April 2010

ADAM MASIH DI SURGA

Seorang wanita berceramah dihadapan kaum pria & wanita. Setelah memuji-muji peranan dan jasa kaum wanita terhadap pria, ia berkata : "Coba Bapak-Bapak pikirkan , bagaimanakah kiranya nasib pria kalau tidak ada kaum wanita?"

Dengan tenang seorang pria menjawab : "Tentunya, Adam masih berada di surga."

HR TRANSFORMATION

Transformation atau transformasi adalah sebuah isu yang senantiasa up-to-date untuk diulas. Transformasi pada hakikatnya sangat terkait dengan perubahan. Perubahan adalah sesuatu yang pasti ada selama kehidupan ini masih berjalan. Banyak hal yang mengalami transformasi seperti budaya, masyarakat, organisasi, bangsa, negara, komunitas dan sebagainya. Dalam berbagai aspek transformasi, manusia menjadi titik sentralnya. Manusia sebagai motivator, penggerak, pengelola, subyek dan bahkan sebagai tujuan utama transformasi itu sendiri.

Namun, disamping berbagai aspek transformasi yang ada, maka dikenal pula HR Transformation, transformasi SDM, transformasi manusia. Jika pada aspek lainnya, manusia menjadi bagian dari transformasi yang lebih besar, maka HR Transformation menyangkut perubahan internal dalam aspek SDM itu sendiri. Jika dalam organisasi, maka HR Transformation adalah transformasi yang terjadi dalam lingkup HR itu sendiri termasuk Departemen HR.

Dave Ulrich, seorang pakar SDM terkemuka bersama sejumlah rekannya mencoba merumuskan HR Transformation dengan pendekatan “building human resources from the outside.” Pendekatan ini menekankan bagaimana melakukan transformasi SDM dengan melihat konteks SDM dan lingkungan eksternalnya, kemudian melakukan perubahan dan penyesuaian terhadap kondisi internalnya.

Model untuk transformasi HR menurut Dave Ulrich adalah dengan mengajukan empat pertanyaan, yaitu :

1. Why
2. What
3. How
4. Who

Keempat pertanyaan tersebut menjadi dasar dalam merumuskan transformasi HR. Pertanyaan WHY berkaitan dengan BUSINESS CONTEXT. Pertanyaan WHAT berkaitan dengan OUTCOMES yang ingin dicapai dengan melakukan transformasi. Pertanyaan HOW berkaitan dengan bagaimana melakukan HR REDESIGN. Sedangkan pertanyaan WHO berkaitan dengan inti peran HR itu sendiri, yaitu HR ACCOUNTABILITY.

Terkait dengan empat pertanyaan diatas, Model Transformasi HR dilakukan melalui empat tahap, sebagai berikut :

Tahap-1 : Mempolakan konteks bisnis, ini menjadi alasan utama mengapa transformasi harus dilakukan. HR harus memiliki alasan yang jelas tentang mengapa transformasi harus dilakukan berdasarkan konteks bisnis yang ada. Hal ini menuntut pemahaman yang seksama tentang situasi bisnis dan bagaimana kita harus merancang suatu perubahan untuk menyesuaikan terhadap perkembangan yang terjadi.

Tahap-2 : Merumuskan outcome yang ingin dicapai. Hasil atau target apa saja yang harus diraih agar transformasi ini memiliki makna yang signifikan. Pada intinya tahap ini harus ditegaskan bahwa HR sebagai modal intangible untuk mendukung organisasi tetap eksis.

Tahap-3 : Melakukan perancangan ulang HR. Hal ini berkaitan dengan melakukan perubahan strategi pengelolaan HR, menyesuaikan kembali program-program HR dan yang tidak kalah pentingnya adalah melakukan penyesuaian orang-orang yang ada dalam organisasi. Hal ini menyangkut perubahan HR dalam hal departement, people dan practises.

Tahap-4 : Melibatkan Line Manager dan pihak terkait lainnya untuk secara sinergis mendukung transformasi HR. Pada tahap ini sangat penting untuk melakukan ”transferring ownership” dari line management untuk mendukung strategi HR dalam melakukan transformasi dan meraih tujuan perubahan yang diharapkan.

Kesuksesan transformasi HR sangat ditentukan oleh bagaimana seluruh stakeholder HR mampu memberikan peran yang signifikan. Setidaknya ada enam stakeholder yang terlibat disini, yaitu :

1. Employees
2. Leaders
3. Customers
4. Regulators
5. Analysts/Investors
6. Community

Employees, harus senantiasa meningkatkan kompetensi untuk sekarang maupun untuk tuntutan pekerjaan dimasa depan. Harus memiliki keterikatan yang kuat dengan organisasi dan memiliki komitmen mendukung transformasi. Berorientasi pada produktivitas yang tinggi dan senantiasa terlibat aktif dalam proses perubahan.

Leaders, harus fokus pada pengelolaan talent dan memberikan dukungan untuk pemanfaatan talent secara optimal. Mampu mengidentifikasi kebutuhan organisasi dan menemukan kapabilitas yang tepat untuk memenuhi kebutuhan organisasi. Mampu menjabarkan strategi secara tepat dan membuat strategi tersebut dapat berjalan dengan baik. Hal penting pula adalah mampu menunjukkan kompetensi sebagai seorang leader.

Customers, diharapkan dapat memberikan umpan balik yang konstrukstif untuk mendukung susksesnya tranformasi HR. Keberhasilan transformasi HR ditandai pula dengan meningkatnya loyalitas dan kepuasan pelanggan.

Regulators, diharapkan memberikan dukungan dan meyakini tentang perlunya transformasi HR. Memberikan opini yang positif terhadap tuntutan transformasi yang ada. Melakukan masukan yang positif terhadap keselarasan transformasi dengan berbagai peraturan yang ada.

Analysts/Investors : Percaya bahwa transformasi diperlukan untuk meningkatkan kinerja. Mendukung strategi yang dilakukan bermanfaat untuk membuat organisasi lebih baik. Meyakini adanya keuntungan yang diperoleh dimasa yang akan datang jika transformasi dilakukan. Mempercayai kualitas leadership dapat membuat keputusan yang tepat dalam hal strategi, SDM, pelanggan dan operasi.

Community : Mengaku pentingnya transformasi dilakukan. Memberikan dukungan yang sepadan dengan harapan yang ingin dicapai. Memberikan masukan yang konstruktif tentang transformasi yang ada. Memberikan opni yang positih bahwa transformasi akan memberikan manfaat yang positif bagi semua pihak.

Keenam stakeholders tersebut memberikan peran yang sangat menentukan kesuksesan transformasi HR. Namun, kesuksesan transformasi HR sangat ditentukan pula oleh bagaimana manfaat positif dapat diasakan oleh para stakeholders tersebut. Bukanhkan transformasi HR bukan semata-mata untuk HR? Namun, harus memberikan hasil positif nyata bagi stakeholders dan lingkungannya. Inilah kunci keberhasilan Transformasi HR.

Jumat, 02 April 2010

THE PSYCHOLOGY OF SUCCESS

Sukses adalah satu kata yang sangat diminati oleh banyak orang. Semua orang pada dasarnya ingin sukses. Sukses sering diartikan sebagai tercapainya tujuan seseorang dan diakui oleh lingkungannya terhadap keberhasilannya tersebut. Namun, idealnya adalah tercapainya sebagian besar tujuan hidup seseorang. Hampir sangat jarang orang menggapai seluruh tujuan hidupnya.

Idealnya sukses meliputi keberhasilan dalam kehidupan keluarga, sosial dan karir. Basis untuk mencapai hal tersebut seseorang harus memiliki kesehatan yang baik, kemampuan atau kompetensi yang mendukung dan relasi sosial yang memungkinkan ia mencapai cita-citanya. Untuk meraih apa yang dicita-citakan seseorang harus memiliki modal personal dan modal sosial yang cukup, termasuk memiliki akses terhadap jalan menuju keberhasilannya.

Seorang psikolog dari Inggris Judith Leary Joyce mencoba merumuskan bagaimana seseorang bisa mencapai kesuksesan. Ia menjelaskan hal tersebut dalam buku yang berjudul The Psychology of Succes. Judith adalah seorang Gestal psychotherapist dan Managing Director sebuah lembaga pelatihan di London.

Menurut Judith berhasil bukanlah memperoleh apa yang kita impikan tentang pekerjaan atau sesuatu yang dianggap ideal. Keberhasilan adalah manakala kita mampu mengatasi tantangan, bukan hanya sekali, namun berbagai tantangan dari waktu ke waktu. Hal ini sangat terkait bagaimana kita mampu mengoptimalkan talenta yang kita miliki dan memanfaatkan setiap momentum yang ada untuk melakukan hal terbaik yang dapat kita lakukan.

Secara sederhana Judith menantang kita dengan tiga pertanyaan :

1. Apakah anda siap untuk meraih hal-hal yang melebihi impian anda?
2. Apakah anda mampu menemukan bakat/talenta anda yang sesungguhnya?
3. Apakah anda bersedia untuk mendorong diri anda untuk mencapai hal-hal melampaui apa yang dapat anda pikirkan?

Jawaban terhadap ketiga pertanyaan tersebut sangat menentukan bagaimana kita mendefinisikan sukses dan bagaimana kita mampuu meraih kesuksesan itu sendiri.

Ada lima fondasi untuk membangun kesuksesan, sebagai berikut :

1. Kenali diri sendiri
2. Kendalikan diri
3. Arahkan diri untuk mencapai keseimbangan hidup
4. Temukan bakat inti
5. Temukan dukungan untuk memenuhi kebutuhan anda

Setelah fondasi tersebut dimiliki, maka diperlukan sejumlah perilaku yang harus dimiliki pula agar seseorang mampu meraih kesuksesan. Ada tujuh perilaku yang mampu mengarahkan seseorang untuk meraih kesuksesan, yaitu :

1. Kesediaan untuk mengambil tanggung jawab
2. Kemampuan membangun relasi
3. Terbuka terhadap perubahan
4. Senantiasa mencari peluang
5. Memiliki semangat untuk maju
6. Senantiasa mawas diri dan melakukan evaluasi terhadap apa yang sudah dilakukan
7. Tetap fokus pada tujuan yang ingin dicapai

Kesuksesan pada dasarnya dibangun bertahap. Kesuksesan bukan seperti orang yang memenangkan lotere, tetapi ia adalah usaha yang sungguh-sungguh, direncanakan dan dilakukan melalui proses yang matang.

Bayangkan sebuah tujuan yang ingin dicapai laksana sebuah jalan panjang untuk mencapai suatu tempat tertentu. Anda bisa jalan secara bertahap atau melangkah secara cepat, bahkan berlari, namun semua jalan tersebut harus anda tapaki. Terus maju secara bertahap, jika anda tetap fokus maka suatu saat anda akan mencapai tujuan tersebut. Mungkin dalam berjalan anda akan menemukan rintangan, anda bisa berputar menghindari rintangan, atau mendaki mengatasi rintangan atau berbelok sedikit, namun setelah itu kembali lagi ke arah jalan yang benar dengan tetap fokus pada tujuan yang ingin anda capai.

Seperti kata Judith, kesuksesan adalah kemampuan untuk mengatasi sekian rintangan dari waktu ke waktu namun tetap berada pada arah jalan yang benar. Bergeser sedikit dimungkinkan, namun jangan sampai anda kehilangan arah. Tetap konsisten dengan tujuan yang ingin diraih. Dengan keteguhan dan semangat untuk tetap maju, anda akan mencapai apa yang anda cita-citakan.

TIME MANAGEMENT

Waktu adalah suatu sumber daya yang luar biasa. Dengan waktu kita bisa mengisi ruang kehidupan dan dengan waktu kita bisa mengukur suatu kemajuan. Waktu sendiri sesungguhnya bersifat netral. Namun mengisi waktu bisa bermakna lain. Seorang dikatakan produktif dan tidak produktif, gagal atau berhasil, maju, statis atau mundur sangat tergantung pada pemanfaatan waktu.

Sedemikian pentingnya waktu sehingga munculah peribahasa dalam bahasa Inggris "time is money." Orang Arab mengatakan waktu ibarat mata pedang yang kalau tidak hati-hati memanfaatkannya dapat memenggal kepala kita. Orang Cina pun menyebutkan waktu sebagai sumber keberuntungan dan kesialan.

Mantan CEO TELKOM yang fenomenal Almarhum Cacuk Sudaryanto menyebutkan keterbatasan waktu adalah musuhnya yang paling besar. Sehingga waktu harus dikelola dengan sangat baik agar mampu memberikan manfaat yang besar bagi kita.

Bagaimana memanfaatkan waktu secara baik? atau bagaimana megelola waktu (time management) secara baik? Ada yang menyebutkan perlunya membuat skala prioritas dengan menggunakan sisi pandang urgency dan importancy. Melihat dari kesegeraan dan kepentingan dari suatu kegiatan.

Urutannya prioritas pelaksanaannya sebagai berikut :

1. Penting dan segera
2. Segera tapi tidak penting
3. Penting tapi tidak segera
4. Tidak penting dan tidak segera (ini bisa diabaikan)

Apabila kita memiliki kegiatan yang sebegitu banyak sementara waktu sangat terbatas maka kita harus mengidentifikan seluruh kegiatan tersebut dari tingkat kesegeraan (urgency) dan kepentingannya (importancy). Setelah ditemukan maka kita dapat memberikan urutan prioritas terhadap kegiatan tersebut, mana yang didahulukan mana yang dikemudiankan.

Tidak jarang begitu banyak kegiatan yang harus segera dilakukan dan juga penting. Untuk itu anda perlu memberi bobot dari kegiatan tersebut. Melalu pembobotan ini anda dapat melakukan ranking dari seluruh kegiatan tersebut, mana yang amat sangat segera dan mana yang amat sangat penting.

Beberapa pertimbangan dalam melihat kepentingan :

1. Kepentingan jangka panjang seperti orientasi spiritualitas, investasi, kesehatan, hubungan keluarga, karir, peningkatan kompetensi.
2. Menyangkut hal yang lebih besar seperti menyangkut kepentingan masyarakat luas dan menyangkut hal-hal yang lebih hakiki.
3. Penting dalam pengertian normatif dan standar. Artinya dalam ukuran umum hal tersebut memang diyakini penting. Misalnya anda harus melanjutkan pendidikan dimana dalam pengertian umum itu memang penting, anda harus mencari nafkah atau anda harus menikah/berkeluarga yang memang secara norma umum itu penting.

Beberapa pertimbangan dalam melihat kesegeraan :

1. Tingkat kekritisan/kegawatan. Kesegeraan sangat terkait dengan waktu. Jadi hal pertama yang harus dipertimbangkan adalah tingkat kekritisannya, yaitu apabila tidak dilakukan akan mengganggu hidup anda secara signifikan. Hal ini misalnya berkaitan dengan kesehatan, apabila tidak ditangani segera akan menimbulkan dampak serius. Berikutnya berkaitan dengan keamanan. Tingkat kekritisan ini sangat terkait dengan kelangsungan hidup kita.
2. Momentum. Artinya pelaksanaan kegiataan sangat tergantung hanya pada waktu tertentu. Misalnya undangan pernikahan hanya berlangsung pada satu waktu tertentu sebaiknya kita hadiri dibandingkan dengan keharusan kita untuk membeli sebuah buku yang mungkin bisa ditunda dihari berikutnya.
3. Terkumpulnya sumber daya secara optimal. Artinya pada satu waktu tertentu sangat mungkin terkumpul semua sumber daya secara optimal maka sebaiknya pada saat itu harus dilakukan hal yang mestinya dilakukan. Misalnya dalam organisasi pada suatu saat seluruh manajemen puncak berkumpul maka pada saat itu juga merupakan saat yang tepat untuk menyampaikan suatu gagasan, maka sampaikanlah, jangan tunda.

Banyak pendekatan lain yang bisa dilakukan untuk membantu kita mengelola waktu secara efektif. Pendekatan diatas relatif sederhana dan mudah mendefinisikannya sehingga dapat dijadikan pedoman untuk menyusun prioritas kegiatan.