Tadi malam aku diberitahu oleh istri bahwa ada surat dari Kelompok Ibadah Bimbingan Haji (KBIH) disertai lampiran surat dari Departemen Agama. Intinya paling lambat lusa kami sudah harus melunasi Ongkos Naik Haji (ONH). Aku dan istri memang sudah lama berhasrat untuk menunaikan Rukun Islam yang kelima itu. Namun, karena keterbatasan keuangan kami harus menambung dari tahun ke tahun. Ternyata pada tahun ini kami baru berhasil menabung biaya untuk keberangkatan satu orang saja. Setelah berunding lama dengan istri diputuskan aku dulu yang berangkat.
Berarti besok aku segera harus melunaskan biaya ongkos naik haji tersebut. Rencananya hari ini aku bersiap-siap mengurus beberapa dokumen dan besok langsung ke Bank untuk menyelesaikan pembayaran. Terbayang istriku yang belum bisa berangkat, padahal aku sangat ingin pergi bersamanya, merupakan suatu kebahagiaan menjadi tamu Allah apabila bisa pergi dengan pasangan terkasih. Tetapi, tampaknya Allah telah mengatur rejeki kami untuk saat ini hanya satu dulu yang bisa berangkat. Sebetulnya kami telah hampir berhasil mengumpulkan uang untuk keberangkatan berdua, namun kebutuhan biaya sekolah anak sulungku segera harus diselesaikan tahun ini juga sehingga sebagian tabungan kami digunakan untuk membiayai pendidikan putraku tersebut.
Ditengah persiapanku, tiba-tiba istriku tergopoh-gopoh menghampiri .... ”Mas .... Mas .. Pak Rahmat tetangga kita kambuh lagi sakitnya dan sekarang seperti tidak sadar .... tolong dilihat Mas ......” Tanpa pikir panjang aku segera bergegas kerumah tetanggaku Pak Rahmat, seorang pensiunan guru yang baik budi. Memang setahun belakangan ini kondisi Pak Rahmat tidak menentu, keluar masuk rumah sakit. Beberapa hari yang lalu saat aku menjenguk ke rumah sakit aku mendengar Pak Rahmat harus segera dioperasi. Namun, kemarin sore aku lihat Pak Rahmat pulang lagi kerumah padahal kondisinya belum membaik. Apakah operasinya tidak jadi? Atau kenapa? Aku pun tak tahu persis.
Segera aku menuju kesebelah kerumah Pak Rahmat. Aku saksikan bu Rahmat menangis tersedu-sedu. ”Ada apa bu?” aku masuk dalam rumah dan menghampiri .... ”Bapak kambuh lagi sakitnya dan tiba-tiba pingsan” jawab bu Rahmat. ”Sebaiknya kita bawa kerumah sakit bu” aku mencoba mengsusulkan. ”Jangan ....jangan dibawah kerumah sakit.... kemarin juga Bapak minta pulang walaupun masih sakit dan dokter juga sebenarnya belum mengijinkan” sahut bu Rahmat.
”Tapi kondisi Bapak tampaknya kritis bu” aku mencoba meyakinkan.
”Bapak kemarin keberatan kalau harus di rumah sakit, kami sudah menunggak terlalu banyak, sekarang ibu juga nggak punya dana sama sekali.”
Aku terdiam ......... sejurus kemudian aku segera berujar ”bu menurut saya Bapak harus tetap dibawa kerumah sakit, saya yang akan berbicara dengan dokternya bu.” Tak ada jawaban dari bu Rahmat dan ia menangis terus. Aku segera bergegas kerumah mengeluarkan mobil, dibantu beberapa tetangga kami segera menaikkan Pak Rahmat ke Mobilku. Aku segera memacu mobil ke rumah sakit dan langsung menuju ruang gawat darurat.
Segera Pak Rahmat diturunkan, aku langsung mengurus administrasi. Setelah melalui berbagai proses aku diharuskan berbicara dengan dokter. Aku langsung menuju ruang dokter. Setelah memperkenalkan diri sejenak dan ditanya apa hubungan aku dan Pak Rahmat, dokter segera menimpali ”Pak tentang Pak Rahmat ini sebenarnya masih menunggak dan seharusnya beliau kemarin dioperasi. Hanya saja keluarga keberatan dengan alasan tidak memiliki biaya. Peraturan di rumah sakit menetapkan bahwa biaya operasi harus dibayar dimuka, jadi mohon pengertiannya Pak, operasi harus dilakukan saat ini juga untuk menyelamatkan nyawa beliau dan sebelum operasi dilakukan harus diselesaikan dulu masalah administrasi keuangannya.”
Aku terdiam, dalam batinku ini adalah persoalan nyawa manusia. Terbayang akan wajah Pak Rahmat, seseorang lelaki sederhana, mantan guru yang hidupnya pas-pasan. Pak Rahmat juga adalah orang yang taat ibadah dan dikenal baik hati dilingkungan kami. Sekarang ia dan keluarganya tidak memiliki uang untuk membiayai operasi dan nyawanya sedang diujung tanduk.
Aku langsung berdiri dan berucap ke dokter ”Baik Dokter lakukan saja operasinya, saya akan menyelesaikan administrasi keuangannya.” ”Bapak bisa ke bagian administrasi keuangan untuk menyelesaikannya.”
Aku segera menuju bagian Administrasi Keuangan Rumah Sakit. Dengan keteguhan hati dan sikap pasrah kepada Allah aku memberanikan diri untuk menanggung biaya operasi Pak Rahmat yang sedang kritis. Terbayang olehku, satu-satunya sisa dana yang kumiliki adalah biaya naik haji yang sebetulnya besok harus aku lunaskan. Tetapi, ini adalah persoalan nyawa manusia, aku tidak mungkin naik haji dengan membiarkan tetanggaku sekarat. Tidak ada alternatif lain, aku akan menggunakan tabungan hajiku untuk membiayai operasi Pak Rahmat, mungkin aku tidak bisa naik haji tahun ini, tetapi setidaknya aku telah berusaha untuk menyelamatkan nyawa manusia.
Aku segera menuju Bank mengambil uang tabungan hajiku. Petugas Bank tampak terheran-heran dengan sikapku, setelah kujelaskan ia tampak masih sedikit bingung. Aku kembali menuju rumah sakit dan segera menyelesaikan pembayaran. Setelah itu Pak Rahmat langsung menuju ruang operasi. Di ruang tunggu kulihat bu Rahmat dan Istriku. Bu Rahmat menghampiriku dan dengan kebingungan menanyakan siapa yang menanggung ini semua. Aku jelaskan ke Bu Rahmat, bahwa kondisi Pak Rahmat kritis dan harus mendapat pertolongan segera, kami para tetangga akan membantu semampunya. Bu Rahmat menangis terisak-isak. Kemudian kami menenangkan bu Rahmat. Tiba-tiba istriku menarikku dan mengajak keluar ruangan.
”Mas, gimana ceritanya ....”
”Ya, Pak Rahmat sudah kritis dan harus dioperasi hari ini juga ....”
”Tapi katanya keluarga Pak Rahmat kesulitan biaya?” Istriku tampak termangu.
”Iya, tampaknya Allah akan membantu Pak Rahmat melalui kita”
”Maksudnya gimana Mas?”
”Mas pikir kita masih memiliki kesempatan lain untuk naik haji, tetapi nyawa Pak Rahmat harus ditolong hari ini juga, jadi tabungan haji kita Mas gunakan untuk biaya operasi Pak Rahmat, semoga kamu ikhlas.”
Istriku tampak terdiam dan tiba-tiba menangis. Tetapi segera menenangkan diri dan kemudian tersenyum. ”Insya Allah aku ikhlas Mas, mungkin Allah memiliki rencana lain buat kita.”
Aku tersenyum bahagia, istriku mendukung sikapku. Aku memang sangat bangga dengan dirinya. Istriku adalah seorang yang taat beribadah menurut ukuranku dan ia pun seorang yang pemurah. Bagiku, istriku adalah karunia Allah yang paling indah. Aku segera memeluknya dan berbisik ”semoga Pak Rahmat segera sembuh dan Allah meridhoi tindakan kita.”
Setelah menunggu beberapa jam, operasi Pak Rahmat berjalan dengan sukses. Saat ini Pak Rahmat sedang memasuki masa pemulihan. Setelah shalat Ashar di rumah sakit aku segera menuju ruang tunggu untuk mengajak istriku pulang. Tiba-tiba suster memanggilku dan memberitahukan dokter yang memgoperasi Pak Rahmat ingin segera bertemu diriku.
Aku segera menuju ruang Dokter Spesialis Bedah yang terkenal itu. Setelah mempersilahkan aku duduk, dengan senyum yang ramah dokter spesial bedah tersebut berujar ”apakah benar Bapak tetangganya Pak Rahmat?”
”Benar Dokter saya tetangganya Pak Rahmat.”
”Sebetulnya Pak Rahmat harus dioperasi kemarin, namun Pak Rahmat dan keluarganya keberatan dan minta segera pulang kerumah.”
”Ya, mungkin karena biaya Dok.” aku menyerocos saja.
”Ya, ya mungkin juga, untung nyawanya masih tertolong walau operasi terlambat satu hari” Dokter spesialis bedah tersebut menimpali.
”Tetapi ngomong-ngomong bagaimana ceritanya kok tiba-iba keluarganya bersedia membawa Pak Rahmat kembali kerumah sakit?” Dokter spesialis bedah tersebut memandang bingung kepadaku.
”Ya, Dok, tadi pagi Pak Rahmat kritis tak sadarkan diri, langsung saya dan beberapa tetangga membawa ke rumah sakit.”
”Ya ... ya saya mengerti, tetapi bagaimana sampai akhirnya bersedia dioperasi.”
”Kami tetangganya memutuskan untuk bersedia dioperasi.”
”Tapi saya lihat tanda-tangan Bapak tadi dan Bapak yang membayarkan biayanya, benar Pak?”
”Ya, Dokter saya yang membayarkannya.”
”Sungguh mulia hati Bapak membantu tetangga.”
”Saya berusaha semampu saya Dok, tetapi memang saya harus menggunakan tabungan haji saya yang sebetulnya harus dilunasi besok untuk keberangkatan haji tahun ini.” Entah kekuatan dari mana yang mendorongku untuk menyampaikan sumber uang operasi Pak Rahmat tersebut.
Dokter spesialis bedah tersebut tampat terdiam.
”Oh jadi Bapak menggunakan tabungan haji untuk membantu biaya operasi Pak Rahmat, luar biasa.”
”Benar Dok, rencananya saya berdua dengan istri akan naik haji tahun ini, namun karena uangnya belum mencukupi jadi saya dulu yang berangkat tahun ini. Namun, mungkin ini cara Allah agar kami tidak berangkat sendiri-sendiri sehingga saya pun tampaknya belum bisa naik haji tahun ini, mudah-mudahan kami bisa menabung lagi Dok dan semoga Allah membantu kami untuk dapat naik haji berdua pada masa mendatang.”
Tampat Dokter Spesialis Bedah itu terdiam dan terlihat wajahnya seperti tertegun panjang. Aku pun berdiam diri. Suasana hening ini berlangsung agak lama.
Tiba-tiba suara dokter memecah kebekuan ”kapan paling lambat ongkos naik haji harus dilunaskan Pak?”
”Besok Dok kataku.”
”Baik Pak, atas ijin Allah saya akan membayarkan ongkos naik haji Bapak dan Ibu berdua, suami istri untuk naik haji tahun ini.”
”Apa Dok ??? Apa saya tidak salah dengar??? Bagaimana kami harus membayarnya??”
Dokter bedah tersebut tersenyum lembut.
”Tidak ... Bapak tidak salah dengar, saya akan menanggung ongkos naik haji Bapak berdua naik haji tahun ini dan itu pemberian saya, Bapak tidak perlu membayarnya kembali, saya berikan dengan ikhlas, karena Bapak telah membantu tetangga dengan ikhlas, saya pun dengan ikhlas membantu Bapak untuk dapat menunaikan ibadah haji berdua dengan istri tahun ini.”
Ya, Allah ............ aku menangis sesenggukan di depan dokter tersebut. Ia membiarkan diriku menangis. Dan samar-samar kudengar dokter tersebut berkata ”Baik Pak, besok sama-sama kita ke Bank untuk melunasi ongkos naik haji Bapak berdua suami istri.”
Tiada kata yang mampu kuucapkan selain ingatan akan ke-Agungan Allah, ALLAH MAHA PENGASIH