Pada saat model sosialisasi dikaitkan secara erat dengan gangguan perkembangan sosial dalam lingkungan keluarga, model disorganisasi sosial diarahkan pengkajiannya pada dampak dari penyimpangan sosial secara umum terhadap perilaku (dampak permasalah sosial terhadap penyimpangan perilaku). Model ini mengasumsikan bahwa perilaku abnormal cenderung berkembang dalam lingkungan budaya yang mengalami disintegrasi, urban deterioration, mobilitas sosial dan individu yang tinggi, permasalahan ekonomi dan sosial serta kondisi patologi sosial lainnya yang terkait.
CULTURAL DISINTEGRATION
Pembahasan difokuskan pada hubungan antara derajat integrasi dari lingkungan sosiokultural dan kesehatan mental serta kecenderungan bahwa disintegrasi maupun disorganisasi lingkungan akan menyebabkan munculnya gangguan mental. Asumsi ini merupakan dasar dari sejumlah pengkajian tentang kesehatan mental.
Studi mengenai disintegrasi kultural mengindikasikan bahwa urbanisasi atau perpindahan orang dari desa ke kota berhubungan dengan meningkatnya gangguan mental (cultural shock?). Hal ini telah diamati sepanjang abad yang lalu bahwa gangguan mental mucul lebih banyak diperkotaan daripada dipedesaan.
Ada beberapa penjelasan mengapa terjadi perbedaan kondisi dikota dan desa. Satu diantaranya adalah heterogenitas yang tinggi dikota seperti dari segi ras, status ekonomi, kebiasan dsb-nya. Kedua adalah kepedulian yang tinggi antar sesama didesa sehingga mereka yang mengalami gangguan mudah dideteksi dan tentunya akan segera ditangani. Tingkat stress atau tekanan hidup/tuntutan hidup didesa umumnya lebih rendah dibandingkan dengan dikota. Adanya rasa keterasingan dari kelompok yang terjadi diperkotaan juga dapat menjadi penyebab gangguan mental. Faktor lainnya seperti hilangnya stabilitas peran sosial, hilangnya otoritas pribadi, kehilangan identitas religius, hilangnya pekerjaan dan kehilangan kelompok. Berbagai hipotesa ini menunjukkan kemungkinan tingkat integrasi sosial yang menjadi faktor penting dan bukan tingkat urbanisasinya.
GANGGUAN MENTAL DI AREA URBAN
Berdasarkan pengamatan terlihat bahwa tidak hanya ada perbedaan tingkat gangguan mental di kota dengan didesa, perbedaan juga terjadi antar area yang ada didalam kota. Kasus terbanyak terjadi biasanya didaerah kumuh yang ada dipusat kota. Biasanya terjadi pada daerah yang secara ekonomi terkebelakang dan rendahnya kompetensi.
MOBILITAS DAN MIGRASI
Permasalahan yang berkaitan dengan mobilitas dan migrasi dapat pula menjadi penyebab gangguan kesehatan mental. Seperti hambatan bahasa, perubahan iklim, konflik relijius, perbedaan kebiasaan, prasangka rasial. Studi di Amerika juga menunjukkan gangguan mental lebih banyak menimpa pendatang dari luar kota (desa) dibanding pendudukan yang sudah menetap. Gangguan mental pada pendatang baru lebih banyak dibandingkan dengan pendatang lama.
Penelitian dia Papua Nugini menunjukkan bahwa gangguan psikologis yang diderita oleh para pendatang dari desa berkaitan dengan adanya perubahan gaya hidup tradisional keluarga dan munculnya masalah dikaitkan dengan kesulitan integrasi dalam beragam komunitas masyarakat. Secara spesifik pengenalan budaya Australia menyebabkan hilangnya tradisi perang antar kampung di Papua Nugini. Hal ini menyebabkan pergeseran konflik yang terjadi antar keluarga dan antar individu. Gangguan mental dipedesaan sering sekali diabaikan. Namun, ada kebutuhan untuk menyediakan layanan penanganan gangguan mental dikota yang banyak dihuni oleh pendatang (Zigas et al., 1972).
Gangguan psikologis berikutnya dapat dilihat didaerah Midi di Perancis. Penelitian menunjukkan bahwa persentase abnormalitas tertinggi terjadi pada anak yang dilahirkan didaerah lain. Hal ini menunjukkan bahwa lokasi geografis dan hilangnya keluarga inti dapat menyebabkan gangguan mental pada anak (Luccioni and Scotto, 1974).
Kasus gangguan mental lainnya terjadi pada pengungsi. Hilangnya akar kebudayaan maupun perbedaan kebiasaan dan putusnya hubungan dengan daerah asal menjadi penyebab gangguan mental pada pengungsi. Suatu studi pada pengungsi Pakistan menunjukkan bahwa setelah terjadi penyekatan antara Pakistan dengan India menunjukkan adanya peningkatan gangguan perilaku diantara mereka (Keller, 1975).
Setidaknya ada 2 interpretasi berkaitan dengan masalah migrasi yang menyebabkan gangguan psikologis. Pertama, migrasi menjadi pemicu muncul serangan gangguan kepribadian. Kedua, migrasi itu sendiri menandakan adanya kepribadian yang tidak stabil dan hal ini memudahkan terjadi gangguan mental. Tetapi pada dasarnya migrasi tersebut bukan merupakan faktor pencetus yang penting karena memang sebagian besar orang yang meninggalkan daerah asalnya memiliki berbagai alasan bukan hanya karena kepribadian yang tidak stabil juga bisa karena ingin meningkatkan taraf hidup. Hal ini tidak berlaku begitu saja bagi migrasi atau pengungsi karena alasan politis atau rasial, karena hal ini lebih disebabkan oleh upaya untuk menyelamatkan diri. Hal yang paling logis adalah perpindahan lokasi sedikit banyak akan menimbulkan tekanan atau stress dan apabila ini tidak dihadapi dengan baik potensial menyebabkan gangguan psikologis.
KRISIS EKONOMI DAN SOSIAL
Ada banyak bukti mengenai hubungan krisis ekonomi atau sosial dengan meningkatnya gangguan mental. Informasi ini dapat diperoleh dari meningkatnya mereka yang membutuhkan perawatan di RS Jiwa pada saat terjadinya krisis.
Perbedaan kelas sosial menjadi faktor penting. Kelas sosial tinggi memiliki daya tahan yang lebih baik dalam menghadapi krisis. Sedangkan mereka pada strata sosial rendah menjadi orang yang rentan terhadap krisis. Bagi pasien gangguan jiwa dari kelas menengah atas memiliki kemungkinan labih cepat pulih dan mampu menyesuaikan diri kembali dibandingkan dengan yang kelas bawah.
Suatu studi di Amerika menunjukkan perbedaan persentase penderita psikotik (penyakit jiwa berat) yaitu 1,9% dikalangan atas, 4,3% dikalangan menengah dan 10,2% untuk kalangan bawah.
Hal ini mungkin dapat terjadi karena kelas atas lebih mampu untuk menangani gangguan yang ia alami dan memiliki akses kepelbagai lembaga seperti rumah sakit, praktek psikolog. Hal lain mungkin pula karena dalam krisis ekonomi masyarakat bawah menjadi inferior dan cenderung mengabaikan keluhannya atau ketidakmampuan untuk memperoleh akses penanganan.
(disadur dari buku The Disorganized Personality; George W. Kisker)
CULTURAL DISINTEGRATION
Pembahasan difokuskan pada hubungan antara derajat integrasi dari lingkungan sosiokultural dan kesehatan mental serta kecenderungan bahwa disintegrasi maupun disorganisasi lingkungan akan menyebabkan munculnya gangguan mental. Asumsi ini merupakan dasar dari sejumlah pengkajian tentang kesehatan mental.
Studi mengenai disintegrasi kultural mengindikasikan bahwa urbanisasi atau perpindahan orang dari desa ke kota berhubungan dengan meningkatnya gangguan mental (cultural shock?). Hal ini telah diamati sepanjang abad yang lalu bahwa gangguan mental mucul lebih banyak diperkotaan daripada dipedesaan.
Ada beberapa penjelasan mengapa terjadi perbedaan kondisi dikota dan desa. Satu diantaranya adalah heterogenitas yang tinggi dikota seperti dari segi ras, status ekonomi, kebiasan dsb-nya. Kedua adalah kepedulian yang tinggi antar sesama didesa sehingga mereka yang mengalami gangguan mudah dideteksi dan tentunya akan segera ditangani. Tingkat stress atau tekanan hidup/tuntutan hidup didesa umumnya lebih rendah dibandingkan dengan dikota. Adanya rasa keterasingan dari kelompok yang terjadi diperkotaan juga dapat menjadi penyebab gangguan mental. Faktor lainnya seperti hilangnya stabilitas peran sosial, hilangnya otoritas pribadi, kehilangan identitas religius, hilangnya pekerjaan dan kehilangan kelompok. Berbagai hipotesa ini menunjukkan kemungkinan tingkat integrasi sosial yang menjadi faktor penting dan bukan tingkat urbanisasinya.
GANGGUAN MENTAL DI AREA URBAN
Berdasarkan pengamatan terlihat bahwa tidak hanya ada perbedaan tingkat gangguan mental di kota dengan didesa, perbedaan juga terjadi antar area yang ada didalam kota. Kasus terbanyak terjadi biasanya didaerah kumuh yang ada dipusat kota. Biasanya terjadi pada daerah yang secara ekonomi terkebelakang dan rendahnya kompetensi.
MOBILITAS DAN MIGRASI
Permasalahan yang berkaitan dengan mobilitas dan migrasi dapat pula menjadi penyebab gangguan kesehatan mental. Seperti hambatan bahasa, perubahan iklim, konflik relijius, perbedaan kebiasaan, prasangka rasial. Studi di Amerika juga menunjukkan gangguan mental lebih banyak menimpa pendatang dari luar kota (desa) dibanding pendudukan yang sudah menetap. Gangguan mental pada pendatang baru lebih banyak dibandingkan dengan pendatang lama.
Penelitian dia Papua Nugini menunjukkan bahwa gangguan psikologis yang diderita oleh para pendatang dari desa berkaitan dengan adanya perubahan gaya hidup tradisional keluarga dan munculnya masalah dikaitkan dengan kesulitan integrasi dalam beragam komunitas masyarakat. Secara spesifik pengenalan budaya Australia menyebabkan hilangnya tradisi perang antar kampung di Papua Nugini. Hal ini menyebabkan pergeseran konflik yang terjadi antar keluarga dan antar individu. Gangguan mental dipedesaan sering sekali diabaikan. Namun, ada kebutuhan untuk menyediakan layanan penanganan gangguan mental dikota yang banyak dihuni oleh pendatang (Zigas et al., 1972).
Gangguan psikologis berikutnya dapat dilihat didaerah Midi di Perancis. Penelitian menunjukkan bahwa persentase abnormalitas tertinggi terjadi pada anak yang dilahirkan didaerah lain. Hal ini menunjukkan bahwa lokasi geografis dan hilangnya keluarga inti dapat menyebabkan gangguan mental pada anak (Luccioni and Scotto, 1974).
Kasus gangguan mental lainnya terjadi pada pengungsi. Hilangnya akar kebudayaan maupun perbedaan kebiasaan dan putusnya hubungan dengan daerah asal menjadi penyebab gangguan mental pada pengungsi. Suatu studi pada pengungsi Pakistan menunjukkan bahwa setelah terjadi penyekatan antara Pakistan dengan India menunjukkan adanya peningkatan gangguan perilaku diantara mereka (Keller, 1975).
Setidaknya ada 2 interpretasi berkaitan dengan masalah migrasi yang menyebabkan gangguan psikologis. Pertama, migrasi menjadi pemicu muncul serangan gangguan kepribadian. Kedua, migrasi itu sendiri menandakan adanya kepribadian yang tidak stabil dan hal ini memudahkan terjadi gangguan mental. Tetapi pada dasarnya migrasi tersebut bukan merupakan faktor pencetus yang penting karena memang sebagian besar orang yang meninggalkan daerah asalnya memiliki berbagai alasan bukan hanya karena kepribadian yang tidak stabil juga bisa karena ingin meningkatkan taraf hidup. Hal ini tidak berlaku begitu saja bagi migrasi atau pengungsi karena alasan politis atau rasial, karena hal ini lebih disebabkan oleh upaya untuk menyelamatkan diri. Hal yang paling logis adalah perpindahan lokasi sedikit banyak akan menimbulkan tekanan atau stress dan apabila ini tidak dihadapi dengan baik potensial menyebabkan gangguan psikologis.
KRISIS EKONOMI DAN SOSIAL
Ada banyak bukti mengenai hubungan krisis ekonomi atau sosial dengan meningkatnya gangguan mental. Informasi ini dapat diperoleh dari meningkatnya mereka yang membutuhkan perawatan di RS Jiwa pada saat terjadinya krisis.
Perbedaan kelas sosial menjadi faktor penting. Kelas sosial tinggi memiliki daya tahan yang lebih baik dalam menghadapi krisis. Sedangkan mereka pada strata sosial rendah menjadi orang yang rentan terhadap krisis. Bagi pasien gangguan jiwa dari kelas menengah atas memiliki kemungkinan labih cepat pulih dan mampu menyesuaikan diri kembali dibandingkan dengan yang kelas bawah.
Suatu studi di Amerika menunjukkan perbedaan persentase penderita psikotik (penyakit jiwa berat) yaitu 1,9% dikalangan atas, 4,3% dikalangan menengah dan 10,2% untuk kalangan bawah.
Hal ini mungkin dapat terjadi karena kelas atas lebih mampu untuk menangani gangguan yang ia alami dan memiliki akses kepelbagai lembaga seperti rumah sakit, praktek psikolog. Hal lain mungkin pula karena dalam krisis ekonomi masyarakat bawah menjadi inferior dan cenderung mengabaikan keluhannya atau ketidakmampuan untuk memperoleh akses penanganan.
(disadur dari buku The Disorganized Personality; George W. Kisker)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar