Konflik elit politik dewasa ini telah merasuki wilayah pribadi. Hal ini dapat disaksikan dari tudingan-tudingan terhadap perilaku elit tertentu yang mempengaruhi tindakan-tindakannya dalam kehidupan bernegara. Sehingga psiko-politik merupakan kajian yang menarik untuk memahami dimensi kepribadian dari elit itu sendiri. Memang rekrutmen politisi biasanya melalui proses pematangan yang bersangkutan dalam kehidupan berorganisasi. Agak berbeda dengan perusahaan yang lazim menggunakan pendekatan psikologi dalam proses pemenuhan kebutuhan karyawannya. Organisasi politik dan sosial kemasyarakatan sangatlah jarang menggunakan pendekatan psikologi dalam menjaring para anggotanya. Pertimbangan yang sering dilakukan terutama berdasarkan visi dan kesamaan orientasi ideologi. Padahal dalam konsep psikologi hal tersebut adalah sebagian dari apa yang disebut gambaran psikologis individu. Gambaran psikologis individu merepresentasikan kondisi kepribadian yang meliputi sifat-sifat sosial, moral, mental dan fisik dari seseorang.
Tindak-tanduk politisi tidaklah terlepas dari dimensi kepribadiannya. Kepribadian itu sendiri berkembang sejak masa kecil, bahkan dipercaya dipengaruhi oleh kondisi-kondisi pra-natal (sebelum kelahiran), seperti kondisi ibu, alam sekitarnya dan kondisi sosial masyarakatnya. Hal ini memberikan jawaban mengapa individu-individu dari daerah tertentu menunjukkan perilaku khas yang berbeda dengan masyarakat dari daerah lain. Walaupun dalam perkembangannya sangat mungkin sifat-sifat asal ini dieliminasi dan memang secara kodrat manusia berubah dan senantiasa beradaptasi. Inilah yang menjelaskan bagaimana Sukarno sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai yang sering hadir dalam lakon-lakon wayang. Demikian pula bagaimana Suharto sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai “kejawaannya,” walaupun menurut versinya sendiri. Demikian pula tokoh-tokoh seperti Hatta, Habibi dan sebagainya memiliki corak perilaku yang khas yang membedakan ia dengan yang lainnya.
Kunci kesuksesan dari para tokoh-tokoh yang ada pada dasarnya adalah kemampuan adaptasi. Dan kemampuan adaptasi ini sangat dipengaruhi oleh corak kepribadiannya. Kejatuhan Sukarno maupun Suharto bersumber dari persoalan adaptasi ini. Pada dasarnya adaptasi adalah kemampuan untuk menjaga efektivitas perilaku dalam lingkungan yang berubah atau berbeda. Pada kasus Sukarno, realitas politik akhir tahun 1965 menuntutnya untuk mengakomodasi kemauan sebagian besar masyarakat untuk membubarkan PKI, tetapi hal tersebut tidak ia lakukan. Secara umum ia pun tidak mampu mempertahankan efektivitas perilaku politiknya sehingga keluarlah Supersemar yang ditafsirkan secara begitu luas oleh Suharto. Demikian pula Suharto tidak mampu memahami realitas politik yang menuntut perubahan sehingga ia pun tidak mampu menjaga efektivitas perilaku politiknya dan terpaksa menyatakan berhenti sebagai Presiden Republik Indonesia pada pertengahan tahun 1998. Sedangkan Habibi, tampaknya cukup tahu diri dengan mengundurkan diri dari pencalonan sebagai Presiden RI setelah pidato pertanggungjawabannya ditolak. Abdurachman Wahid dimakzulkan. Megawati kalah dalam Pemilihan Presiden. Bagaimana dengan SBY?
Tindak-tanduk politisi tidaklah terlepas dari dimensi kepribadiannya. Kepribadian itu sendiri berkembang sejak masa kecil, bahkan dipercaya dipengaruhi oleh kondisi-kondisi pra-natal (sebelum kelahiran), seperti kondisi ibu, alam sekitarnya dan kondisi sosial masyarakatnya. Hal ini memberikan jawaban mengapa individu-individu dari daerah tertentu menunjukkan perilaku khas yang berbeda dengan masyarakat dari daerah lain. Walaupun dalam perkembangannya sangat mungkin sifat-sifat asal ini dieliminasi dan memang secara kodrat manusia berubah dan senantiasa beradaptasi. Inilah yang menjelaskan bagaimana Sukarno sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai yang sering hadir dalam lakon-lakon wayang. Demikian pula bagaimana Suharto sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai “kejawaannya,” walaupun menurut versinya sendiri. Demikian pula tokoh-tokoh seperti Hatta, Habibi dan sebagainya memiliki corak perilaku yang khas yang membedakan ia dengan yang lainnya.
Kunci kesuksesan dari para tokoh-tokoh yang ada pada dasarnya adalah kemampuan adaptasi. Dan kemampuan adaptasi ini sangat dipengaruhi oleh corak kepribadiannya. Kejatuhan Sukarno maupun Suharto bersumber dari persoalan adaptasi ini. Pada dasarnya adaptasi adalah kemampuan untuk menjaga efektivitas perilaku dalam lingkungan yang berubah atau berbeda. Pada kasus Sukarno, realitas politik akhir tahun 1965 menuntutnya untuk mengakomodasi kemauan sebagian besar masyarakat untuk membubarkan PKI, tetapi hal tersebut tidak ia lakukan. Secara umum ia pun tidak mampu mempertahankan efektivitas perilaku politiknya sehingga keluarlah Supersemar yang ditafsirkan secara begitu luas oleh Suharto. Demikian pula Suharto tidak mampu memahami realitas politik yang menuntut perubahan sehingga ia pun tidak mampu menjaga efektivitas perilaku politiknya dan terpaksa menyatakan berhenti sebagai Presiden Republik Indonesia pada pertengahan tahun 1998. Sedangkan Habibi, tampaknya cukup tahu diri dengan mengundurkan diri dari pencalonan sebagai Presiden RI setelah pidato pertanggungjawabannya ditolak. Abdurachman Wahid dimakzulkan. Megawati kalah dalam Pemilihan Presiden. Bagaimana dengan SBY?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar