Rabu, 09 Juli 2008

PSIKOLOGI KORUPSI

Psikologi korupsi adalah salah satu bidang yang cukup menarik dikaji, namun belum mendapat perhatian luas dikalangan pemerhati psikologi maupun psikolog. Penulis terdorong mengkaji ini atas usulan seorang sahabat (Kang Chandra Satyawirawan, terima kasih Kang). Beberapa waktu yang lalu, penulis teringat pernah bertemu dengan salah satu pakar psikologi senior, Prof. Dr. Djamaluddin Ancok. Beliau pernah ditanya oleh suatu lembaga tertentu (bidang penegakan hukum atau pemberantasan korupsi?) mengenai bagaimana caranya mencari dan memilih pejabat yang bersih. Karena berbagai upaya selama ini selalu gagal bahkan sumpah jabatan pun yang menyebut nama Tuhan tidak mampu mencegah perbuatan koruptif mereka.

Prof. Dr. Djamaluddin Ancok menjawab, kita harus menelusuri rekam jejak yang bersangkutan. Mungkin perlu melakukan semacam anamnesa. Harus mengkaji bagaimana pola asuhnya, dalam lingkungan apa dia berkembang, bagaimana upayanya dalam mencapai hal-hal yang dia peroleh saat ini. Cara ini memang sangat ”time consuming,” melelahkan membutuhkan ”resources” yang banyak. Tetapi, menurut Prof. Ancok inilah cara yang sangat bisa diandalkan dibandingkan dengan berbagai tes lainnya.

Penulis, sebagai seorang psikolog juga mengakui kebenaran apa yang disampaikan Prof. Ancok. Dalam perspektif psikologi dari tiga "grand theory" psikologi (Psikoanalisa, Behavioristik dan Humanistik) tampaknya hanya dua pertama yang cukup pas membahas perilaku koruptif.

Psikoanalisa membahas mengenai masa lalu seseorang, bagaimana pola asuh yang ia terima, masalah identifikasi dan personifikasi, mengkaji mengenai aspek-aspek alam bawah sadar yang mengendalikan perilaku manusia. Ada tiga komponen penting yang perlu diketahui, yaitu Id, Ego dan Super Ego. Id menyangkut sesuatu yang sangat naluriah, menyangkut insting-insting primitif yang memerlukan pemenuhan segera (seperti agresi dan libido). Super Ego boleh dikatakan sebaliknya sebagai pengawal hati nurani, aspek moral dan sistem nilai. Sedangkan Ego berperan sebagai reality testing yang mengarahkan perilaku. Kemantapan Ego sangat penting untuk mencapai taraf kepribadian yang seimbang. Psikoanalisa juga membahas beberapa tahap kebutuhan yang mewarnai kebutuhan anak pada masa awal kehidupannya (balita), yaitu tahap oral, anal dan falis. Apabila terjadi gangguan pada tahap ini maka akan berpotensi memunculkan perilaku menyimpang. Perilaku koruptif secara hipotetif dapat dilacak pada tahapan tersebut.

Behavioristik menekankan pada pendekatan stimulus-respon dan pada perkembangannya ditambahkan faktor operant antara stimulus-respon. Dikenal pula faktor reinforcement sebagai penguat perilaku. Artinya apabila ada stimulus tertentu maka ini akan mendorong seseorang berespon. Respon akan menimbulkan konsekuensi bagi individu. Apabila konsekuensi tersebut memberikan keuntungan/kenikmatan bagi individu maka ia akan cenderung mengulangi respon yang sama dalam bereaksi terhadap stimulus yang sama. Ia bisa memberikan respon yang berbeda bila respon sebelumnya memberikan konsekuensi yang negatif pada dirinya. Perilaku korutif dapat pula ditelaah melalui pendekatan ini.

Gabungan pendekatan Psikoanalisa-Behavioristik dapat digunakan untuk mengkaji perilaku koruptif, meskipun sebagian ilmuwan atau psikolog tidak sepakat dengan cara menggabungkan kedua pendekatan tersebut karena menurut mereka asumsi dan logikanya berbeda (terutama pada therapist yang taat asas menggunakan pendekatan tertentu).

(Bersambung)

Tidak ada komentar: