Senin, 09 Maret 2009

IQ MINIMAL CALON PRESIDEN

Rabu pekan lalu 25 Februari 2009 Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menandatangani nota kesepahaman dengan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) untuk membuat aturan pemeriksaan kesehatan calon presiden. Syarat kesehatan ini didasari Undang Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Menurut Ketua KPU Abdul Hafiz Anshary standarisasi pemeriksaan akan dirumuskan dalam sebulan ini.

Apa yang menarik? Salah satunya adalah wacana untuk menetapkan standar minimal IQ (Intelligence Quotient). Dalam Pemilu tahun 2004 ditetapkan IQ minimal seorang calon presiden adalah 100, sekarang akan dinaikkan minimal menjadi 120. Pertanyaan pertama yang mengusik penulis yang kebetulan juga psikolog adalah alat tes IQ apa yang digunakan? dan bagaimana standarisasi-nya? Karena setiap alat tes bisa jadi memiliki standar yang berbeda. Menurut hemat penulis selain dengan IDI ada baiknya KPU berkonsultasi dengan Himpunan Psikologi Indonesia (Himpsi) untuk pemeriksaan hal-hal yang berkaitan dengan kepribadian termasuk kecerdasan.

IQ pada awalnya memang dimaksudkan untuk mengukur tingkat kecerdasan. Pengukurannya dilakukan dengan membandingkan Mental Age (MA) dengan Chronological Age (CA). Dalam formulasinya dilakukan melalui cara MA dibagi CA dikali dengan 100 (IQ=(MA/CA)x100). Tes IQ sendiri pada dasarnya adalah suatu kegiatan terstruktur untuk mengetahui tingkat kecerdasan individu. Tes berisi sejumlah soal atau tugas untuk diselesaikan yang kemudian hasilnya distandarisasi sedemikian rupa dalam suatu kelompok yang besar yang merepresentasikan suatu populasi tertentu.

Awalnya tes IQ ini ditemukan oleh Alfred Binet - seorang ahli psikologi - pada tahun 1900 di Paris Perancis. Binet melakukan ini seagai responnya atas permintaan para Pejabat Kota Paris untuk merancang semacam ukuran yang dapat memperkirakan siswa mana yang akan sukses dan gagal dalam menempuh pendidikan dasar di Paris. Penemuannya kemudian menjadi terkenal dan disebut dengan tes IQ. Setelah di Paris Perancis Tes IQ ini menjadi populer dan kemudian masuk ke Amerika dan digunakan sampai Perang Dunia I. Tes IQ ini digunakan di Amerika untuk menguji sejumlah tentara dan kelihatan dirasakan manfaatnya. setelah itu pemakaian Tes IQ mulai meluas keseluruh dunia.

Kembali ke rencana KPU dan IDI yang akan menentukan batas minimal IQ Calon Presiden. Kita sungguh peduli akan keinginan tersebut dan ingin mengetahui alat apa yang digunakan dan bagaimana standarisasinya, mengingat kita akan memilih calon pemimpin negeri ini. Mengingat Tes IQ ditemukan oleh psikolog dan digunakan secara luas di kalangan psikologi ada baiknya KPU berkonsultasi dengan psikolog melalui Himpunan Psikologi Indonesia (Himpsi).

Selama ini Tes IQ umumnya berisi soal-soal atau tugas-tugas yang bersifat numerik, verbal, spatial. Dalam hal tertentu dilakukan Tes IQ yang sangat terbatas yaitu hanya mengukur kecerdasan dari aspek logika-matematis saja. Tes ini mengabaikan aspek kecerdasan lainnya. Daniel Goleman seorang ahli psikologi kemudian mencermatinya, karena sering sekali mereka yang memiliki IQ yang tinggi (secara logika-matematis) tidak menjamin keberhasilannya dalam kehidupan yang lebih luas. Daniel Goleman kemudian apa yang disebut dengan Emotional Quotient), yaitu aspek kecerdasan emosional yang sangat diperlukan dalam mengatasi berbagai permasalahan kehidupan.

Kemudian berkembang apa yang disebut dengan Multiple Intelligences oleh Howard Gardner. Berdasarkan kajiannya terhadap kesuksesan sejumlah tokoh ternama, Gardner menyebutkan ada tujuh kecerdasan, yaitu :

1. Kecerdasan Musik
2. Kecerdasan Gerakan Badan
3. Kecerdasan Logika-Matematika
4. Kecerdasan Linguistik
5. Kecerdasan Ruang
6. Kecerdasan Antar Pribadi
7. Kecerdasan Intra Pribadi

Setelah itu berkembangan lagi berbagai macam bentuk kecerdasan termasuk Kecerdasan Spiritual.

Pertanyaannya IQ yang bagaimana yang hendak diukur dari seorang Calon Presiden? Apakah hanya IQ Logika-Matematika saja? atau semua IQ? Apakah Kecerdasan gerakan Badan perlu diukur dari seorang Calon Presiden? dan yang tidak kalah pentingnya adalah alat tes mana yang akan digunakan?

Saya kira hal ini perlu diluruskan agar tidak menimbulkan permasalahan dikemudian hari. Untuk itu, sekali lagi menurut hemat penulis KPU perlu duduk bersama dengan para ahli psikologi (psikolog) yang tergabung dalam Himpunan Psikologi Indonesia (Himpsi) untuk merumuskan hal ini demi kemashlatan kita bersama.

Tidak ada komentar: