Sabtu, 23 Mei 2009

NEOLIBERALISME DAN PRO RAKYAT

Neoliberalisme menjadi isu penting saat ini mengingat ada salah satu Calon Wakil Presiden yang dianggap oleh sejumlah kalangan menganut paham ini, meskipun yang bersangkutan sendiri membantah. Terlepas dari tuduhan dan bantahan itu sendiri, sesungguhnya apa yang dimaksud dengan istilah tersebut?

Neoliberalisme dalam berbagai pengertian dan tulisan sering diartikan sebagai sebuah paham ekonomi yang pro pasar dan mengesampingkan peran negara. Mekanisme pasar dibiarkan berlangsung secara alamiah dengan kapital sebagai soko gurunya. Pasar dibiarkan bekerja secara bebas tanpa intervensi apapun.

M. Dawam Rahardjo Ketua Dewan Pakar International NGO Forum on Indonesian Development menyebutkan dalam artikelnya yang bertajuk "Developmentalisme" bahwa Neoliberalisme memiliki pengertian yang kompleks. Ia menyebutkan bahwa Neoliberalisme mencerminkan kepentingan sepihak negara industri maju, khususnya Amerika Serikat, dalam mempertahankan hegemoni ekonominya. Dawan mengatakan bahwa konsep Developmentalisme sebagai kemistri ideologis antara kepentingan negara industri maju dan kepentingan elite politik dunia ketiga. Developmentalisme lebih tepat untuk menggambarkan realitas objektif haluan ekonomi negara dunia ketiga ketimbang neoliberalisme.

Menurut Dr. Tony Prasetyantono Dosen Fakultas Ekonomi UGM, mengatakan neoliberalisme awalnya muncul ketika negara Amerika Latin seperti Mexico dan Argentina terkena krisis pada tahun 1986. Hal itu terjadi lagi saat krisis ekonomi tahun 1994-1995 pada saat para ekonom Washington bersama IMF membuat rekomendasi yang kemudian muncul 10 pilar penanganan krisis. Dari 10 pilar itu lanjut Tony, diperas lagi menjadi 3 hal terpenting yakni kebijakan fiskal yang disiplin. Negara berkembang yang terkena krisis, defisit APBN tidak boleh lebih dari 2%. Kedua masalah privatisasi BUMN dan ketiga liberalisasi pasar atau market liberalisasi agar pasar bersih dari distorsi."Masalah BUMN ini kemudian yang dianggap menjual aset negara, padahal hal itu untuk nomboki. Dan kenyataannya banyak BUMN yang diganggu politisi untuk membiayai," kata Tony. Menurut Tony istilah yang dikenalkan oleh John Williamson atau dikenal dengan Washington Consensus itu kemudian menjadi sebuah jargon politik untuk melawan pro rakyat. "Sekarang ini neoliberal telah menjadi jargon politik," katanya.

Memang semua negara pada hakekatnya didirikan untuk mensejahterakan rakyatnya. Jalan untuk menuju kesejahteraan tersebut ditempuh dengan berbagai cara dengan berbagai paham pula. Munculah paham-paham seperti sosialisme, kapitalisme, komunisme, liberalisme dan kemudian muncul neososialisme dan neoliberalisme. Penulis tidak berpretensi untuk mengulas geneaologi dari paham-paham ini, tetapi ini setidaknya menunjukkan bahwa konsep untuk mensejahterakan rakyat bisa muncul dari berbagai macam paham maupun pendekatan.

Kembali ke soal neoliberalisme, yang sering secara ringkas digambarkan sebagai paham pro pasar. Pertanyaannya apakah paham pro pasar ini secara linier berseberangan ekstrim dengan kepentingan pro rakyat?

Kasus China, Rusia dan India menunjukkan bahwa tidak ada satu paham tunggal yang bisa diterapkan untuk mencapai kemakmuran rakyat. Bahkan Amerika Serikat sekalipun dengan kapitalisme dan liberalisme tetap menggunakan intervensi negara untuk menstabilkan ekonominya (seperti kasus dana talangan untuk mengatasi kredit macet).

Jadi sebuah paham atau ideologi, apapun namanya, sesungguhnya merupakan suatu cara atau suatu jalan yang tidak pernah seratus persen sempurna. Suatu paham adalah suatu cara untuk mencapai keseimbangan dan manakala terjadi ketidakseimbangan lagi diperlukan pendekatan lain yang barangkali berbeda dengan paham semula. Ini mirip dengan dengan siklus tesis-antitesis dan sintesis. Komunisme bisalah disebut sebagai reaksi atas kapitalisme. Sosialisme bisalah disebut sebagai reaksi atas liberalisme. Penggunaan istilah neo baik pada neososialisme maupun neoliberalisme seolah-olah menunjukkan penyempurnaan ideologi, namun dalam realitas hal tersebut sesungguhnya merupakan jalan tengah untuk bergerak dari titik ekstrim menuju titik lainnya tanpa meninggalkan fondasi ideologinya.

Mengacu pada hal tersebut, neoliberalisme sesungguhnya tidak se-ekstrim liberalisme, tetapi lebih pada penyesuaian liberalisme terhadap realitas sosial yang terjadi, namun tetap perlu diingat bahwa hal tersebut tidak berarti menanggalkan filosofi dasarnya yang berpihak pada pasar bebas. Namun, apabila dalam realitas sosial, penerapan pasar bebas belum memungkinkan maka peran negara dan lembaga tertentu dalam tingkat minimal diperlukan untuk mengendalikan pasar.

Jika neoliberalisme sebagai suatu paham liberal yang mencoba mentoleransi peran institusi dalam batas minimal apakah ini berarti ada ruang untuk pro rakyat? Disinilah letak kontroversinya. Disatu sisi peran minimal institusi itu dianggap sebagai cara untuk memastikan bahwa pasar bebas dapat berlangsung tanpa menimbulkan gejolak yang justru bisa menjadi bumerang bagi konsep liberalisme. Disisi lain peran institusi yang minimal tersebut dianggap sebagai upaya untuk melindungi kepentingan hajat hidup orang banyak sekaligus untuk memberdayakan kemampuan semua pihak untuk siap berkompetisi secara bebas.

Perkembangan diberbagai negara saat ini menunjukkan tidak adanya penerapan ideologi ekonomi secara murni dan konsekuen. Meskipun warna dasar ideologi tetap menjadi roh pembangunan ekonomi masing-masing negara, namun penyesuaian paham tetap terus berlangsung dalam berbagai kadar sesuai dengan realitas sosial yang terjadi dalam negara tersebut.

Bahkan suatu saat akan terjadi perdamaian dalam berbagai ideologi khususnya dalam bidang ekonomi mengingat semua paham yang ada memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing. Bukankah setiap paham itu ciptaan manusia? Tentu ada kekurangannya. Hanya ciptaan Yang Maha Kuasa yang sempurna.

Tidak ada komentar: