Manusia sebagai makhluk sosial dalam kesehariannya tidak terlepas dari proses interaksi antar sesamanya. Apakah interaksi antara teman, antar saudara, anak-orang tua, antar rekan kerja dan sebagainya. Interaksi yang sangat erat sekaligus sangat kompleks adalah proses interaksi antara suami-istri (ISI).
Mengapa ISI disebut sangat erat sekaligus kompleks, ada beberapa alasan sebagai berikut:
1. ISI melibatkan dua orang yang berbeda latar belakang namun harus bersatu dalam suatu lembaga yang disebut lembaga perkawinan.
2. ISI memiliki hak dan kewajiban yang bisa saling tumpang tindih.
3. ISI menggunakan sumber daya yang sama sekaligus digunakan untuk kepentingan yang bisa sama atau bisa berbeda.
4. Adanya varibael hubungan yang berdimensi luas seperti sosial, budaya, ekonomi, personal, seksual dan sebagainya.
5. Komitmen dipengaruhi oleh multi-faktor seperti agama, budaya, adat istiadat sampai dengan personal interest.
Dicks (1967) menyebutkan ada tiga faktor yang sangat berpengaruh pada keserasian hubungan istri, yaitu :
1. Unconscious
2. Conscious
3. Social
Unconscious berdasarkan pada integritas atau kondisi berlawanan antara faktor-faktor internal dalam diri yang tidak disadari yang berkaitan dengan kebutuhan mereka. Hal ini ditentukan oleh kesesuaian antara kebutuhan pasangan yang mungkin mereka tekan ke alam bawah sadar masing-masing dan bagaimana mereka bisa bersikap positif terhadap hal-hal yang tidak mereka inginkan namun ditunjukan oleh pasangannya.
Conscious adalah kesesuaian/ketidaksesuaian dari berbagai perilaku nyata mereka yang disadari seperti kebiasaan berpikir dan bertindak, cara memecahkan masalah, sikap dan nilai yang membentuk perilaku mereka.
Social merupakan hal-hal yang berkaitan dengan norma sosio-kultural dan nilai-nilai yang diekspresikan melalui pergaulan mereka sehari-hari dan perilaku yang mereka tunjukkan dalam berhubungan secara sosial.
Menurut Dicks kesesuaian dan ketidaksesuaian antara pasangaan suami istri sangat tergantung pada ketiga faktor tersebut. Artinya, ketidakserasian satu atau lebih dari faktor-faktor tersebut akan mempengaruhi pola relasi suami-istri.
Perlu disadari bahwa sesungguhnya institusi perkawinan adalah institusi mandiri yang mestinya lepas dari intervensi pihak eksternal. Dalam konteks budaya Indonesia yang masih menganut paham keluarga besar, sering terjadi peran keluarga besar dominan dan menganggu kemandirian institusi perkawinan. Campur tangan keluarga besar atau pihak ketiga terkadang mengalami konflik dengan kepentingan keutuhan lembaga perkawinan itu sendiri. Hal ini memicu perselisihan pasangan suami-istri karena masing-masing pihak masih sangat terikat dengan keluarga besar masing-masing, yang tidak jarang kepentingan keluarga besar tersebut mereduksi kepentingan institusi perkawinan.
Pemahaman terhadap keutuhan lembaga perkawinan merupakan aspek penting untuk meredakan konflik antara pasangan suami-istri. Hendaknya setiap pasangan dapat mendudukan pasangannya masing-masing lebih penting, lebih didengar dan lebih diprioritaskan dibandingkan dengan tuntutan dari keluarga besar yang terkadang terjadi secara tidak proporsional.
Selama setiap pasangan masih memegang komitmen perkawinan, taat hukum dan memegang norma-norma kepantasan dalam hubungan suami istri, jelas sebuah lembaga perkawinan harus tetap dipertahankan secara utuh. Intervensi dari pihak luar, termasuk keluarga besar, harusnya selaras dengan kepentingan untuk mempertahankan suatu lembaga perkawinan.
Dalam mengatasi konflik perkawinan, berdasarkan pengalaman penulis memberikan saran-saran sebagai berikut :
1. Apakah rasa cinta, komitmen dan rasa saling membutuhkan masih ada? Jika masih ada maka lembaga perkawinan tersebut wajib untuk dipertahankan.
2. Utamakan pasangan masing-masing dibandingkan dengan pihak mana pun termasuk keluarga besar.
3. Tentukan dan sepakati prioritas dalam rumah tangga.
4. Penggunaan seluruh sumber daya dalam rumah tangga harus disepakati.
5. Sadari bahwa pasangan suami istri adalah dua orang yang berbeda namun memiliki komitmen untuk bersatu, untuk itu proses penyesuaian dari waktu ke waktu harus selalu dilakukan dan diperbaharui.
Mengapa ISI disebut sangat erat sekaligus kompleks, ada beberapa alasan sebagai berikut:
1. ISI melibatkan dua orang yang berbeda latar belakang namun harus bersatu dalam suatu lembaga yang disebut lembaga perkawinan.
2. ISI memiliki hak dan kewajiban yang bisa saling tumpang tindih.
3. ISI menggunakan sumber daya yang sama sekaligus digunakan untuk kepentingan yang bisa sama atau bisa berbeda.
4. Adanya varibael hubungan yang berdimensi luas seperti sosial, budaya, ekonomi, personal, seksual dan sebagainya.
5. Komitmen dipengaruhi oleh multi-faktor seperti agama, budaya, adat istiadat sampai dengan personal interest.
Dicks (1967) menyebutkan ada tiga faktor yang sangat berpengaruh pada keserasian hubungan istri, yaitu :
1. Unconscious
2. Conscious
3. Social
Unconscious berdasarkan pada integritas atau kondisi berlawanan antara faktor-faktor internal dalam diri yang tidak disadari yang berkaitan dengan kebutuhan mereka. Hal ini ditentukan oleh kesesuaian antara kebutuhan pasangan yang mungkin mereka tekan ke alam bawah sadar masing-masing dan bagaimana mereka bisa bersikap positif terhadap hal-hal yang tidak mereka inginkan namun ditunjukan oleh pasangannya.
Conscious adalah kesesuaian/ketidaksesuaian dari berbagai perilaku nyata mereka yang disadari seperti kebiasaan berpikir dan bertindak, cara memecahkan masalah, sikap dan nilai yang membentuk perilaku mereka.
Social merupakan hal-hal yang berkaitan dengan norma sosio-kultural dan nilai-nilai yang diekspresikan melalui pergaulan mereka sehari-hari dan perilaku yang mereka tunjukkan dalam berhubungan secara sosial.
Menurut Dicks kesesuaian dan ketidaksesuaian antara pasangaan suami istri sangat tergantung pada ketiga faktor tersebut. Artinya, ketidakserasian satu atau lebih dari faktor-faktor tersebut akan mempengaruhi pola relasi suami-istri.
Perlu disadari bahwa sesungguhnya institusi perkawinan adalah institusi mandiri yang mestinya lepas dari intervensi pihak eksternal. Dalam konteks budaya Indonesia yang masih menganut paham keluarga besar, sering terjadi peran keluarga besar dominan dan menganggu kemandirian institusi perkawinan. Campur tangan keluarga besar atau pihak ketiga terkadang mengalami konflik dengan kepentingan keutuhan lembaga perkawinan itu sendiri. Hal ini memicu perselisihan pasangan suami-istri karena masing-masing pihak masih sangat terikat dengan keluarga besar masing-masing, yang tidak jarang kepentingan keluarga besar tersebut mereduksi kepentingan institusi perkawinan.
Pemahaman terhadap keutuhan lembaga perkawinan merupakan aspek penting untuk meredakan konflik antara pasangan suami-istri. Hendaknya setiap pasangan dapat mendudukan pasangannya masing-masing lebih penting, lebih didengar dan lebih diprioritaskan dibandingkan dengan tuntutan dari keluarga besar yang terkadang terjadi secara tidak proporsional.
Selama setiap pasangan masih memegang komitmen perkawinan, taat hukum dan memegang norma-norma kepantasan dalam hubungan suami istri, jelas sebuah lembaga perkawinan harus tetap dipertahankan secara utuh. Intervensi dari pihak luar, termasuk keluarga besar, harusnya selaras dengan kepentingan untuk mempertahankan suatu lembaga perkawinan.
Dalam mengatasi konflik perkawinan, berdasarkan pengalaman penulis memberikan saran-saran sebagai berikut :
1. Apakah rasa cinta, komitmen dan rasa saling membutuhkan masih ada? Jika masih ada maka lembaga perkawinan tersebut wajib untuk dipertahankan.
2. Utamakan pasangan masing-masing dibandingkan dengan pihak mana pun termasuk keluarga besar.
3. Tentukan dan sepakati prioritas dalam rumah tangga.
4. Penggunaan seluruh sumber daya dalam rumah tangga harus disepakati.
5. Sadari bahwa pasangan suami istri adalah dua orang yang berbeda namun memiliki komitmen untuk bersatu, untuk itu proses penyesuaian dari waktu ke waktu harus selalu dilakukan dan diperbaharui.
1 komentar:
Hai, salam kenal, artikel anda ada di
sini
ayo gabung bersama kami dan promosikan artikel anda ke semua pembaca. Terimakasih ^_^
Posting Komentar