Malaysia baru-baru ini meluncurkan produk promosi wisatanya dengan menggunakan icon Tarian Bali yaitu Tari Pendet. Tindakan Malaysia ini kontan menimbulkan reaksi di tanah air. Ini bukan pertama kali Malaysia melakukan hal tersebut. Sebelumnya mereka pernah menggunakan lagu Rasa Sayange dari Maluku dan Reog Ponorogo dalam mempromosikan wisata mereka. Ada apa dibalik ini semua? Apakah sekedar faktor kebetulan atau sesuatu yang memang dilakukan “by design.” Pernah pula terlontar dari seorang pejabat Malaysia bahwa segala sesuatu produk budaya yang tumbuh di nusantara sangat mungkin digunakan oleh negara serumpun mengingat kedekatan budaya dan sejarahnya. Namun, dalam konteks kekinian tentunya tidak semudah itu sebuah negara menggunakan produk negara lainnya apalagi dalam kasus promosi wisata.
Sikap Malaysia tersebut sebenarnya tanpa disadari menunjukkan ketidakpercayaan diri mereka sendiri untuk menggunakan produknya dan sekaligus dapat mengangkat Budaya Indonesia dan memperteguh bahwa Indonesia memiliki kekayaan budaya yang luar biasa.
Hal lain yang perlu dicermati adalah kecenderungan posisi Indonesia dan Malaysia yang paradoks. Disatu sisi sering disebut kedua bangsa ini sebagai bangsa serumpun, namun disisi lain sering terjadi perselisihan dan konflik-konflik baik dibidang sosial, ekonomi maupun pertahanan.
Kadang-kadang penulis berpikir apabila Tari Pendet, Reog Ponorogo dan lagu Rasa Sayange digunakan di Amerika atau Eropa apakah reaksi kita akan sama dibandingkan jika Malaysia yang menggunakannya? Ini bisa jadi menunjukkan adanya suatu Sibling Competition yang serius antara kedua bangsa yang katanya serumpun ini.
Kadang-kadang penulis berpikir apabila Tari Pendet, Reog Ponorogo dan lagu Rasa Sayange digunakan di Amerika atau Eropa apakah reaksi kita akan sama dibandingkan jika Malaysia yang menggunakannya? Ini bisa jadi menunjukkan adanya suatu Sibling Competition yang serius antara kedua bangsa yang katanya serumpun ini.
Dalam blog ini, saat penulis mengulas kasus Manohara dan Pangeran Kelantan, penulis sebutkan pula kondisi paradoks tersebut, khususnya dalam hal pandangan orang Malaysia terhadap Indonesia. Dalam beberapa kesempatan seminar dan training di luar negeri yang penulis ikuti pernah bertemu dengan orang Malaysia. Secara umum mereka cukup mengapresiasi Indonesia. Bahkan mereka merasa Indonesia sebagai bangsa dan negara yang besar. Banyak tokoh ilmuwan dan agawan/ulama Indonesia yang dijadikan panutan di Malaysia. Namun, pandangan negatif tersebut muncul saat mereka menyikapi tenaga kerja Indonesia (TKI) di Malaysia. Sikap yang cenderung memandang rendah Indonesia yang mereka sebut Indon itu sangat dipengaruhi oleh keberadaan TKI disana.
Perlu pula diketahui banyak tokoh dan pejabat di Malaysia adalah keturunan Indonesia. Ini terjadi sejak puluhan bahkan mungkin ratusan tahun yang lalu. Bolehlah disebut Indonesia seperti saudara tua bagi Malaysia, Jika melongok beberapa kerajaan besar Indonesia dulu seperti Sriwijaya, Majapahit dan Aceh, kekuasaan mereka menjangkau Malaysia. Hanya akibat kedatangan Portugis, Ingggris dan Belanda lah yang mencerai-beraikan kerajaan-kerajaan di nusantara ini.
Perlu pula diketahui banyak tokoh dan pejabat di Malaysia adalah keturunan Indonesia. Ini terjadi sejak puluhan bahkan mungkin ratusan tahun yang lalu. Bolehlah disebut Indonesia seperti saudara tua bagi Malaysia, Jika melongok beberapa kerajaan besar Indonesia dulu seperti Sriwijaya, Majapahit dan Aceh, kekuasaan mereka menjangkau Malaysia. Hanya akibat kedatangan Portugis, Ingggris dan Belanda lah yang mencerai-beraikan kerajaan-kerajaan di nusantara ini.
Kembali kepada klaim budaya Malaysia terhadap beberapa produk Indonesia memang perlu diluruskan. Kita menghargai upaya Menteri Kebudayaan dan Parawisata Jero Wacik yang telah mengeluarkan nota protes terhadap Malaysia berkaitan kasus Tari Pendet tersebut. Namun, kedepan tampaknya Indonesia perlu melakukan peneguhan formal terhadap seluruh produk budaya yang ada dengan melakukan hak paten yang diakui secara internasional Selain itu komunikasi secara intensif dengan negara tetangga hendaknya tidak terbatas pada masalah politik, ekonomi dan pertahanan saja, komunikasi sosial dan budaya pun perlu digalakkan. Program seperti Titian Muhibah yang pernah ditayangkan oleh TVRI merupakan salah satu bentuk kegiatan yang perlu diintensifkan kembali. Kita pun sangat mengharapkan peran Kedutaan Besar Republik Indonesia di Malaysia yang harus mengantisipasi hal-hal tersebut sehinggal tidak menimbulkan kerikil dalam hubungan antara dua negara bertetangga ini. Hidup bertetangga memang rentan terhadap konflik, namun dengan pemahaman yang baik antara sesama disertai dengan sikap saling harga menghargai maka potensi konflik yang destruktif dapat dihindari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar