Motif kekuasaan adalah salah satu motif yang cukup penting untuk menunjang eksistensi manusia. Disamping motif untuk berprestasi dan motif afiliasi/sosial. Motif kekuasaan dalam kadar tertentu diperlukan untuk mendorong manusia tampil secara lebih baik. Namun, apabila hal tersebut tampil secara berlebihan maka akan berdampak negatif baik kepada diri individu yang bersangkutan maupun lingkungan.
Sering kita dengar bahwa kehancuran manusia bisa terjadi karena harta, tahta dan wanita/seksual. Jika diperhatikan lebih seksama dibalik ketiga hal tersebut ada suatu dorongan untuk berkuasa, baik terhadap harta, tahta maupun wanita. Namun, disadari pula tanpa ketiga hal tersebut hidup menjadi hambar, tidak ada dorongan apa-apa dan tidak ada sesuatu yang ingin diraih. Tanpa keinginan memiliki harta orang tidak akan bekerja keras untuk hidup secara lebih baik, tanpa keinginan untuk meraih tahta orang tidak terdorong untuk meraih prestasi yang lebih baik, demikian pula tanpa ada dorongan terhadap lawan jenis maka tidak akan ada hidup berpasang-pasangan dan tidak ada generasi penerus dimuka bumi ini yang akan dilahirkan.
Jadi sebetulnya motif atau dorongan maupun keinginan itu diperlukan untuk menjamin eksistensi kehidupan manusia lebih lanjut. Namun, apabila ia tampil secara eksesif, tidak proporsinal maka akan menjadi biang kehancuran dan malapetaka. Itulah yang ditunjukkan dalam pentas kehidupan manusia sejak jaman Nabi Adan hingga kini. Nafsu kekuasaanlah yang menjadi sumber dari berbagai ribuan peperangan di bumi ini, yang telah membinasakan sekian banyak manusia dan telah memberikan kehancuran sebagian bumi ini.
Menurut Arthur S. Reber dan Emily Reber menyebutkan motif sebagai :
1. A state of arousal that impels an organism to action.
2. A rationalization, justification or excuse that a person gives as the reason for his or her behavior.
3. Occasionally, a general gobal attitude.
Dalam pemahaman tersebut diatas terlihat bahwa motif merupakan dasar dari dorongan untuk berperilaku. Merupakan faktor seseorang untuk bergerak untuk bertindak, merupakan alasan mengapa seseorang berperilaku tertentu dan merupakan sikap umum yang mewarnai perilaku seseorang.
Sedangkan kekuasaan dalam terminologi Bahasa Inggris lazim disebut dengan Social Power, yang sering diartikan sebagai "the degree of control that a person or a group has over other persons or groups."
Jadi Motif Kekuasaan dapatlah diartikan sebagai dorongan seseorang atau sekelompok orang untuk mengendalikan orang atau kelompok lainnya. Kebutuhan untuk mengendalikan ini tentunya didasari oleh tujuan tertentu baik tujuan yang bersifat individual maupun tujuan yang lebih bersifat ideal.
Tujuan yang bersifat indvidual lebih egocentris, sekedar memenuhi ambisi seseorang dan lebih bersifat kepentingan praktis jangka pendek. Tujuan yang bersifat ideal diwarnai oleh adanya suatu nilai-nilai tertentu yang diyakini seseorang dan kemudian dianggap lebih kearah kepentingan orang banyak dan berdimensi jangka panjang.
Untuk membedakannya dapat kita lihat misalnya, mereka yang lebih diwarnai kepentingan individual, kekuasaannya cenderung otoriter dan kurang mampu mewariskan nilai-nilai yang menjadi anutan khalayak yang lebih luas. Yang ideal, walaupun tidak berkuasa lagi tetap dikenang dan memiliki nilai-nilai yang diwariskan serta dianut oleh generasi berikutnya.
Lebih mengerikan adalah cara-cara meraih atau mempertahankan kekuasaan dengan cara Machiavellianism. Cara ini direkomendasikan oleh seorang Ahli Hukum dan Politik dari Italia yang hidup pada abad 16 yaitu Nicolo Machiavelli. Menurutnya untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan haruslah dilakukan dengan segala cara termasuk dengan melakukan manipulasi, tipu daya, akal bulus, pembusukan dan harus dapat besikap oportunis. Hal ini ini diperlukan untuk menguatkan kekuasaan dan melakukan pengendalian secara ketat. Menurutnya kekuasaan tidak dapat diraih dan dipertahankan dengan sikap lemah lembut, toleran dan dengan penuh pertimbangan moral. Menguasai itu adalah mengendalikan, memaksa dan menghancurkan bagi yang menentang.
Banyak pemimpin dunia mempraktekkan princip Nicolo Machiavelli ini, meskipun sebagian mereka menyangkalnya. Mao Tse Tung seorang Pemimpin Besar dari China, selain beberapa prestasi yang pernah dicapainya termasuk mempersatukan China Daratan, Ia punmelakukan hal-hal yang berkaitan dengan prinsip Machiavellianism, seperti :
1. Membajak Tentara Merah dan merebut kekuasan lawan secara berdarah (1927-1928).
2. Menjegal Panglima Tertinggi Tentara Merah (1928-1930).
3. Melakukan pembersihan berdarah untuk memperkokoh kekuasan (1929-1931).
4. Penculikan Chiang Kai Shek (1935-1936).
5. Menjebak dengan maut anak buah sendiri (1940-1941).
6. Membangun basis kekuasaan dengan menyebar teror (1941-1945).
7. Meracuni lawan yang sulit ditaklukkan (1941-1945).
8. Melakukan penyusupan, pengkhianatan dan pembusukan (1945-1949).
9. Menerapkan kepemimpinan secara totaliter (1949-1953)
10. Selanjutkan mempertahankan kekuasaan dengan manipulasi, tipu daya dan pembusukan, termasuk diantaranya Mao bersama Stalin memicu Perang Korea untuk menunjukkan hegemoni kekuasaannya.
Masih banyak pemimpin lain yang menerapkan prinsip-prinsip Machiavellianism seperti Musollini, Hitler, Stalin, Idi Amin dan sebagainya, sebagian dari mereka masih dikenang oleh segelintir pengikut setianya, namun mayoritas banyak yang mengutuk aksi-aksi penindasan mereka.
Sebagian dari mereka berdalih itu dilakukan demi kejayaan dan kemakmuran negerinya. Tanyalah pada Polpot - Si Pembantai jutaan rakyat Kamboja - Ia pun mengatakan yang dilakukannya adalah demi kejayaan bangsanya. Ia merasa perlu memutar balik arah jarum jam ke arah 0 untuk menata dan membangun kembali negaranya dari 0. Mereka yang dianggap sebagai penghalang dan racun harus dihancurkan dan dimusnahkan, hingga lenyaplah jutaan nyawa rakyatnya.
Sebagian dari penganut Machavellianism ini jelas-jelas psikopat-politik yang mengalami gangguan kepribadian yang dibalut dengan ambisi kekuasaan, Mereka hakekatnya orang yang terganggu jiwanya, megaloman yang merasa dirinya mendapat amanat agung untuk menyelamatkan rakyatnya sesuai dengan versi mereka sendiri. Keinginan menyelamatkan rakyat ini merupakan metamorfosa dari kelainan kepribadian yang menganggap hanya dirinyalah yang mampu menyelamatkan bangsanya dan demi sebuah misi keselamatan tersebut ia perlu melakukan manipulasi, tipu-daya, pembusukan untuk menghancurkan lawan-lawan politik dan menebar teror yang berujung pada matinya jutaan manusia termasuk rakyatnya sendiri.
Disebalik itu, ada pula motif kekuasaan yang ideal yang memang diperuntukkan kepada rakyat. Banyak mereka yang berkualifikasi pemimpin namun tidak memiliki kekuasaan. Segelintir dari mereka seperti Bunda Theresa, Mahatma Gandhi, Dalai Lama. Motif kekuasaan yang sesungguh didorong oleh sikap melayani dan mengasihi. Mereka dikenang oleh orang banyak karena sikap-sikap luhurnya. Dalam konteks pemegang kekuasaan dapatlah kita bercermin pada Khalifah Umar, yang pada saat ditunjuk sebagai Khalifah menganggap itu sebagai musibah, namun ia tidak boleh menolak amanat umat dan amanat para pemimpin senior lainnya, Ia menerima jabatan khalifah bagaikan memegang bara api ditangan.
Umar bertanya kepada sahabatnya Salman ; "Saya ini Raja atau Khalifah?" Salman menjawab : "Jika anda memungut satu dirham, kurang atau lebih, lalu anda gunakan tidak pada tempatnya, anda adalah raja, bukan Khalifah." Begitu sederhananya definisi pemimpin namun begitu mendalamnya makna yang dikandung dibalik ungkapan tersebut. Umar bertanya lagi kemudian dijawab bahwa Khalifah hanya mengambil atas dasar yang benar dan menggunakannya hanya atas dasar yang benar pula. Sedangkan yang sewenang-wenang bertindak sekehendaknya, mengambil secara tidak sah dari seseorang dan menggunakannya secara tidak benar, mereka inilah yang menerapkan prinsip Machiavellianism.
Kepemimpinan Umar ditandai oleh :
1. Sikap hidup sederhana bahkan cenderung juhud, lebih mengutamakan kepentingan rakyatnya.
2. Mengutamakan musyawarah.
3. Membiasakan untuk memantau langsung kehidupan rakyatnya dan memberikan bantuan secara langsung.
4. Keras terhadap keluarga sendiri dan adil terhadap rakyatnya.
5. Menekankan persamaan didepan hukum dan sangat keras terhadap pelanggar hukum namun mengedepankan keadilan. Satu contoh kasus pencurian dan seharusnya pencuri dipotong tangannya, namun sebelum itu dilakukan Umar memerintahkan penyelidikan terhadap kehidupan si Pencuri, ternyata ia seorang fakir yang tidak memiliki satu barang apapun untuk dimakan, pencuri dilepaskan bahkan disantuni, sedangkan penguasa setempat dihukum karena lalai memperhatikan kesejahteraan rakyatnya.
Banyak contoh lain dari kepemimpinan Umar, namun yang jelas ia bukan si pencari kekuasaan, ia adalah sipenerima amanah. Ini sangat kontradiktif dengan Machiavellianism. Pemimpin sejati tidak pernah mencari apalagi mencuri kekuasaan, Pemimpin sejati adalah sipenerima amanah yang tidak mengabaikan kepercayaan dari orang banyak dan menyadari bahwa amanahnya itu harus dipertanggungjawabkan baik kepada rakyatnya maupun kepada Tuhannya.