Minggu, 13 Juni 2010

KASUS VIDEO MIRIP ARIEL, LUNA & CUT TARI : KELAINAN SEKSUAL-KAH?

Akhir-akhir ini kita cukup dihebohkan dengan beredarnya video porno yang dilakoni oleh orang yang mirip Ariel, Luna dan Cut Tari. Rekaman video tersebut beredar sedemikian luasnya sehingga hampir semua kalangan dapat mengaksesnya. Terlepas apakah pemeran video tersebut orang yang sesungguhnya atau hanya sekedar mirip dengan artis tersebut, perilaku yang ditunjukkan dalam aksi didalam rekaman tersebut cukup mengagetkan.

Beberapa pertanyaan yang menyeruak dibenak kita apakah perilaku tersebut normal? Mengapa orang ingin merekam adegan seks yang ia lakukan? Mengapa ia melakukan hubungan dengan lebih dari satu pasangan? Apakah ia menikmati hasil rekaman tersebut? Apakah ia memperkirakan hasil rekaman tersebut tersebar luas atau tidak? Apakah ia memiliki motif justru dengan tersebarnya rekaman tersebut akan dapat menaikkan pamornya? Dan masih terdapat sejumlah pertanyaan lain yang dapat diajukan terkait dengan kasus tersebut.

Setidaknya ada dua hal yang perlu dicermati dalam kasus tersebut, yaitu pola relasi seksual sang pemeran dan perilaku untuk merekam adegan seksual yang ia lakukan. Bagaimana kaitannya dengan perilaku seksual yang normal, apakah hal tersebut wajar atau normal.

Dalam konteks psikologi abnormalitas perilaku seksual dikenal sebagai "sexual deviation." Menurut J.P. Chaplin, Ph.D., sexual deviation adalah "any form of sexual behavior differing markedly from standards set up by a given society."

Dari pengertian tersebut memperlihatkan sesungguhnya perilaku tersebut dapat dianggap normal atau menyimpang sangat tergantung pada nilai-nilai standar yang berlaku dalam masyarakat. Perilaku yang berbeda dengan kebiasaan masyarakat dan tidak dapat diterima maka dapat dianggap menyimpang. Menyimak reaksi masyarakat terhadap perilaku seksual dan merekam adegan seksual sebagaimana yang ditunjukkan oleh pelaku yang mirip artis tersebut, maka jelas hal tersebut dianggap menyimpang. Pertanyaannya mengapa hal tersebut dapat terjadi?

Untuk menjelaskan mengapa penyimpangan perilaku termasuk perilaku seksual dalam kajian psikologi dapat menggunakan pendekatan psikoanalisis atau behavioristik. Dalam pendekatan psikoanalisis seks dianggap sebagai suatu energi psikis. Energi psikis ini merupakan salah satu sumber kehidupan manusia dan sebagai bagian untuk mempertahankan spesis manusia. Energi tidak dapat dihilangkan, hanya dapat dialihkan atau berubah rupa saja.

Dalam kajian psikoanalisis dikenal tiga komponen penting pembentuk kepribadian manusia, yaitu : Id - Ego - Super Ego. Id merupakan dorongan dasar yang bersifat primitif yang selalu membutuhkan pemenuhan segera, termasuk disini adalah dorongan seksual yang memerlukan pemenuhan segera. Ego merupakan suatu bagian kepribadian yang bertugas melakukan reality testing dan berupaya menyeimbangkan antara id dan super ego. Super ego adalah aspek moral yang menekankan pada nilai-nilai yang harus dipatuhi.
D
alam konteks psikoanalisis, penyimpangan perilaku, termasuk perilaku seksual dapat terjadi karena beberapa sebab, sebagai berikut :

1. Id atau super ego yang terlalu mendominasi.
2. Ego yang tidak dapat berperan secara tepat.
3. Adanya konflik antara id dan super ego yang tidak dapat ditengahi oleh ego.

Dalam konteks rekaman video mesum tersebut sangat mungkin salah satu faktor diatas menjadi sumber perilaku menyimpang dari si-aktor. Jika id yang mendominasi maka dorongan seksualnya menjadi tidak terkendali sehingga berperilaku seperti dalam rekaman tersebut. Namun, jika tidak ada unsur ingin mempublikasikan rekamannya maka itu adalah kendali super ego-nya, kemudian ego-nya yang diwakili oleh akal sehat mencegah ia untuk mempublikasikannya. Tetapi sebaliknya jika ada unsur kesengajaan untuk mempublikasikan maka dapat diduga selain faktor id yang dominan, super egonya tampak lemah dan egonya tidak memainkan peran yang signifikan.

Dalam kasus lain ditemukan pula keinginan untuk menyakiti pasangannya secara psikologis. Dengan cara mempublikasikan hasil rekaman maka ia ingin mempermalukan pasangannya. Unsur dendam dan trauma psikologis dalam relasi interpersonal diantara mereka menjadi sumber dari perilaku menyimpang tersebut. Melalui publikasi rekaman ia dapat memuaskan dirinya terlebih-lebih apabila ia dapat menyaksikan pasangannya menderita akibat dari beredarnya hasil rekaman tersebut.

Secara behavioristik maka perilaku yang menyimpang tersebut dapat terjadi akibat proses conditioning, yaitu pembiasan terus menerus yang dirasakan menyenangkan kemudian dilakukan secara berulang-ulang. Hal ini dapat dikaitkan dengan konsep reinforcement, yaitu penguatan perilaku melalui pemberian tindakan tertentu. Perilaku si aktor dengan pasangannya dapat memuaskan dirinya dan tanpa punishment, cenderung akan ia ulangi lagi. Demikian pula dengan perilaku merekam memberikan kepuasan tersendiri karena dapat diulang dan jika diiringi motif tertentu maka dapat dipublikasikan dengan tujuan untuk meraih keuntungan yang bersifat personal maupun komersial, seperti berharap akan meningkatkan pamor atau meraih pubilisitas.

Secara psikologis, pendekatan psikoanalisis lebih sering digunakan untuk menngambarkan dinamika dari penyimpangan perilaku seksual. Namun, dalam terapi selain menggunakan pendekatan psikoanalisa, teknik-teknik terapi yang menggunakan pendekatan behaviorism sering pula digunakan.

Dalam pemahaman psikologis, perilaku merekam adegan seksual tersebul dapat digolongkan pada perilaku penyimpangan seksual yang disebut dengan Voyeurism. Sedangkan apabila ada unsur kesengajaan ingin mempublikasikannya maka selain Voyeurism maka dapat dipertimbangkan pula ada unsur kelainan yang disebut dengan Ekshibionisme.

Voyeurism sesungguhnya berarti mengintip, yaitu memperoleh kesenangan seksual dengan cara mengintip. Perilaku mengintip secara teknologi bisa juga dilakukan dengan kamera, dalam konteks yang lebih luas menyaksikan hasil rekaman hubungan seksual merupakan turunan dari kesenangan mengintip. Umumnya perilaku ini lebih banyak menimpa kaum pria, yaitu kesenangan mengintip orang yang melakukan hubugan seksual termasuk mengintip pasangannya melakukan hubungan seksual dan dengan perkembangan teknologi dapat pula perilaku mengintip tersebut dipercanggih dengan cara menyaksikan rekaman hasil hubungan seksual. Mereka memperoleh kesenangan seksual setelah mengintip atau setelah mengintip mereka memperoleh dorongan dan kemampuan untuk melakukan hubungan seksual. Pada kasus tertentu orang mengalami ketergantungan yaitu baru bisa melakukan hubungan seksual apabila sebelumnya telah mengintip terlebih dahulu.

Perilaku voyeurism dalam kajian psikonalisis dapat terjadi karena adanya suatu fiksasi dalam perkembangan psikoseksual seorang yang terjadi saat masa kecilnya. Fiksasi ini bersumber dari suatu trauma karena menyaksikan orang terdekatnya seperti orang tua yang melakukan hubungan seksual. Dalam usia kanak-kanak ia menyaksikan hal tersebut maka akan mengguncang kepribadiannya terutama terkait dengan gangguan perkembangan kehidupan seksual yang sehat. Hal ini terekam dan tertanam dalam alam bawah sadarnya, namun akan terus membayangi dirinya termasuk mempengaruhi perilaku seksualnya. Untuk mengkompensasi hal tersebut penderita cenderung untuk mengulanginya kembali dengan cara melakukan perilaku mengintip termasuk tentunya dengan "mengintip" melalui hasil rekaman hubungan seksual.

Jika ada unsur kesengajaan untuk mempublikasikan hasil rekaman dapat diduga bahwa pelaku selain mengidap voyeurism maka ia pun mengalami kelainan yang disebut dengan ekshibisionism seksuil, yaitu seseorang yang memperoleh kenikmatan seksual dengan cara memperlihatkan alat kelaminnya kepada orang lain. Namun, biasanya ini hanya sekedar memperlihatkan alat kelamin bukan melakukan hubungan seksual. Ekshibisionisme ini dapat terjadi karena sikap rendah diri. Penderita biasanya memiliki kepribadian yang kurang mantap yang bersumber dari rasa rendah diri apabila berhadapan dengan lawan jenisnya. Ini pun berawal dari masa kanak-kanak dimana penderita pernah dilecehkan atau direndahkan dirinya berkaitan dengan aspek-aspek seksual. Sehingga saat dewasa ia ingin mengkompensasi hal tersebut dengan cara menunjukkan "keberanian" untuk menunjukkan organ seksualnya dan ia semakin mendapat kepuasan apabila lawan jenisnya terkaget jika melihat alat kelaminnya. Dalam berbagai kasus ditemukan bahwa penderita kebanyakan pria dan umumnya mereka memiliki ibu yang dominan. Ibu yang merupakan representasi seorang wanita dan lawan jenisnya berperilaku dominan sehingga saat dewasa ia kurang percaya diri menghadapi lawan jenis dalam situasi yang normal atau wajar, maka melalui perilaku ekhsibisionisme, ia menciptakan suatu setting sosial yang kurang wajar dan ia ingin "membuktikan" bahwa dirinya "berani" dengan menunjukkan alat kelaminnya. Pada saat lawan jenisnya kaget dan ketakutan maka ia memperoleh kepuasan seksual.

Apakah si aktor dalam video mesum mirip artis tersebut menderita voyeurism atau ekhsibisionism atau kedua-duanya sangat tergantung dari hasil pemeriksaan psikologisnya, termasuk tentunya kemungkinan untuk menegakkan diagnosis lain seperti kemungkinan psikopat, mengingat hal ini terkait dengan perilaku yang juga menyimpang secara sosial dan ada unsur anti sosial. Kemungkinan lain adalah adanya unsur narsisistik atau gangguan hiperseks dalam pribadi si aktor. Kesimpulan yang akurat tentang hal ini memerlukan pemeriksaan psikologi yang mendalam oleh seorang psikolog yang kompeten.

Tidak ada komentar: