Arus mudik lebaran 2009 berangsur-angsur mulai surut seiring dengan berakhirnya liburan Hari Raya Idul Fitri 1430 H. Mudik merupakan fenomena yang sosial yang luar biasa. Dimana sejumlah orang berbondong-bondong pulang ke kampung halaman, pulang ke udiknya. Kembali ke asal dimana secara budaya mereka tumbuh dan berkembang.
Mudik adalah pulang ke sanubari kultural, ke rahim sosial dimana orang merasa berarti dan bermakna dilingkungan udiknya. Semua daya upaya dikerahkan untuk mencapai udik setelah mengadu nasib di kota. Motif dan kebutuhan apakah yang melatar belakangi ini?
Mudik adalah pulang ke sanubari kultural, ke rahim sosial dimana orang merasa berarti dan bermakna dilingkungan udiknya. Semua daya upaya dikerahkan untuk mencapai udik setelah mengadu nasib di kota. Motif dan kebutuhan apakah yang melatar belakangi ini?
Secara psikologi kita bisa meminjam teori motif sosial McClelland, dapat pula memanfaatkan Need Theory yang ada termasuk dari Abraham Maslow. Melalui kajian ini mudik dapat ditelaah secara psikologis.
Dari sisi motif sosial terkesan bahwa kebutuhan afiliasi mendasari perilaku mudik. Tapi apakah anda memperhatikan bagaimana orang mudik dengan pamer keberhasilan dan kemudian mencoba mengatur-atur keluarganya di desa, termasuk membujuk mereka untuk mengikuti jejaknya ke kota, bukankah disini motif prestasi dan kekuasaan pun tidak dapat diabaikan?
Dari teori hirarki kebutuhan Maslow, apakah mudik hanya menggambarkan kebutuhan sosial, bukankah ada unsur prestise dan kebanggaan diri disini? Termasuk tentunya tidak dapat diabaikan kebutuhan aktualisasi diri bahkan sampai dengan ke dimensi spiritualitas.
Lihatlah mereka yang mudik tidak sekedar untuk dapat berkumpul dengan keluarga. Mereka pun melakukan mobilitas ekonomi dan intelektual, mereka ingin memberi dan berbuat sesuatu untuk kemajuan udiknya. Terjadilah pengumpulan dana untuk pembangunan infrastruktur desa, terjadilah diskusi dan musyawarah untuk merumuskan strategi pembangunan desa. Bukankah unsur self esteem dan aktualisasi diri tercermin disini? Bahkan dimensi spiritualitas semakin mengental manakala orang tidak mengharapkan balas budi apapun terhadap kontribusi yang ia berikan, ia menganggap ini semata-mata sebagai amal ibadahnya dengan harapan memperoleh ridho dariYang Maha Kuasa.
Tanpa mudik orang akan kehilangan orientasi psiko-sosio-kulturalnya. Tanpa mudik bisa jadi orang kehilangan makna dan jati dirinya. Tanpa mudik membuat dirinya hampa dan kemudian merasa semua yang dilakukan selama ini sia-sia.
Manusia sejatinya butuh pulang kampung, butuh mudik, butuh kembali ke alam asalnya. Mudik tidak sekedar ritualitas tahunan, tapi ini adalah fenomena psiko-sosio-kultural yang memiliki kompleksitas tersendiri. Namun, pernahkah kita berpikir untuk mudik menuju kampung keabadian, dimana mudik ini tidak membawa kita kembali ke alam seperti ini. Ini adalah mudik ultimate menuju keharibaan Illahi, menuju kampung halaman sesungguhnya, menuju alam keabadiaan. Ini adalah mudik yang sesungguhnya, mudik yang sejati dan kendaraan mautlah yang membawa ita kesana. Kapan anda akan mudik sejati? Tak satu pun kita yang tahu, yang dapat kita lakukan hanyalah melakukan persiapan sebaik-baiknya untuk menyongsong mudik yang sesungguhnya ini ...... kembali ke alam keabadian.