Sabtu, 20 Februari 2010

MEMAHAMI PARANOIA

Paranoia adalah salah satu gangguan kepribadian yang cukup mempengaruhi efektivitas perilaku individu dalam berinteraksi dilingkungannya. Menurut JP Chaplin, Phd, paranoia adalah suatu ciri gangguan psikotic yang ditandai adanya delusi yang sistematis atau waham dengan sedikit deterioasi. Hal ini cenderung menetap dan cukup kuat pengaruhnya serta membuat individu pada kondisi incapacity.

Disamping itu dikenal istilah lain, yaitu paranoic atau paranoiac, yang berarti individu yang menderita paranoia atau paranoid schizophrenia. Beberapa istilah lain yang terkait adalah sebagai berikut :

Paranoid :
1. Berhubungan atau sama dengan paranoia.
2. Individu yang memiliki ciri perilaku atau sikap seperti orang paranoia, atau orang yang merasa terancam oleh orang lain.

Paranoid personality :
Suatu kepribadian yang ditandai adanya sikap penuh curiga, sangat sensitif tanpa adanya deteriorasi atau delusi.

Paranoid schizophrenia :
Salah satu jenis dari schizophrenia yang ditandai oleh gejala delusi atau sikap sangat curiga. Hal ini disebabkan adanya gangguan difungsi berpikir, halusinasi dan deteriorasi.

Seorang ahli psikologi lain James C. Coleman, menyebutkan beberapa pengertian berkaitan dengan ini sebagai berikut :

Paranoia :
Suatu ciri psikosis yang ditandai adanya delusi yang sistematis.

Paranoid Personality :
Individu yang menunjukan gejala perilaku proyeksi seperti defence mencahnism, curiga, iri, sangat cemburu dan keras kepala.

Paranoid Schizophrenia :
Salah satu jenis dari schizophrenia yang ditandai adanya delusi dan halusinasi yang biasanya cukup kuat.

Istilah paranoia sendiri telah digunakan dalam waktu yang cukup lama. Pada jaman Yunani kuno dan Romawi istilah ini digunakan untuk mengacu pada suatu gangguan yang tidak dapat dibedakan dengan berbagai gangguan mental lainnya. Saat ini penggunaan istilah ini lebih terbatas sejak Kraeplin menunjukan suatu kasus dimana adanya delusi dan kontak yang minim dengan realitas namun tidak terjadi disorganisasi personality yang kuat seperti yang terjadi pada kasus schizophrenia.

Saat ini ada 2 jenis psikosis paranoid yang termasuk dalam kelompok gangguan paranoid, yaitu :

1. Paranoia, dimana terjadinya delusi yang berkembang secara perlahan kemudian menjadi rumit, logis dan sistematis serta hal tersebut berpusat pada delusi merasa dikejar-kerjar atau waham kebesaran. Meski adanya delusi, kepribadian penderita masih utuh, tidak ada disorganisasi yang serius dan tanpa halusinasi.

2. Paranoid state, terjadinya perubahan delusi yang paranoid dan cara berpikir menjadi tidak logis serta munculnya ciri-ciri paranoia, meskipun belum menunjukkan perilaku yang aneh atau deteriorasi seperti yang ditemukan pada kasus schizophrenia paranoid. Biasanya kondisi ini berhubungan dengan stress yang kuat dan mungkin pula karena fenomena kefanaan. Paranoid states sering mewarnai gambaran klinis dari jenis gangguan patologis lainnya.

Namun, perhatian utama kita saat ini tertuju pada paranoia. Paranoia relatif sedikit ditemukan pada pasien yang dirawat di rumah sakit jiwa, namun hal ini mungkin terjadi karena kekeliruan dalam mengidentifikasi gangguan mental. Banyak para penemu/inventor, guru, eksekutif bisnis, reformer fanatik, pasangan pencemburu, orang-orang nyentrik yang mendalami suatu ajaran tertentu termasuk dalam kategori ini. Namun, uniknya mereka ini mampu mempertahankan eksistensinya di masyarakat. Dalam beberapa kasus diantara mereka ada yang berkembang menjadi seseorang yang sangat berbahaya.

Gambaran Klinis Paranoia

Individu yang mengalami paranoia merasa sendirian, diabaikan, dimata-matai, dan persepsi salah lainnya tentang adanya ancaman dari ‘musuh.’ Delusi ini biasanya berpusat pada satu hal misalnya menyangkut masalah keuangan, pekerja, pasangan yang tdk dapat dipercaya atau masalah-masalah kehidupan lainnya. Orang yang mengalami kegagalan dalam bekerja akan mengembangkan sikap curiga seperti ada orang lain yang cembutu terhadap prestasi kerjanya sehingga ingin menjatuhkannya.

Seorang paranoia memiliki alasan tertentu mengapa mereka curiga dan tidak mau menerima alasan lain yang sebenarnya lebih benar. Karena sikap curiga tersebut ia dapat melakukan interogasi terhadap mereka yang dianggap musuh.

Banyak dari penderita paronoia ini memiliki waham dimana ia seorang superior dan memiliki kemampuan yang unik. Terkadang mereka merasa mendapat mandat atau wahyu untuk menjalankan suatu misi suci, melakukan pembaharuan dan perubah sosial. Para paranoiac religius mengembangkan keyakinan bahwa ia mendapat amanat dari Tuhan untuk menyelamatkan manusia dan melakukan khotbah-khotbah bahkan mengajak dilakukannya perang suci.

Berkaitan dengan delusi yang dialami paranoiac dapat tampil dengan sangat sempurna, berbicara fasih dan terkesan memiliki emosia yang matang. Halusinasi dan ciri gangguan lain jarang ditemukan pada paranoiac ini. Mereka berupaya melakukan pembenaran dengan cara-cara yang logis agar dapat dipercaya. Dalam kasus ini sangat sukar dibedakan mana yang fakta atau hanya sekedar imaji. Mereka berupaya agar orang-orang disekitarnya mempercayai apa yang dikatakannya. Mereka gagal untuk melihat fakta lain diluar apa yang mereka yakini dan kurang dapat membuktikan keyakinannya, kecurigaanya serta mereka menjadi tidak komunikatif saat ditanyakan mengenai delusinya tersebut.

Meskipun demikian paranoic ini tidak selalu berbahaya, tetapi mereka tetap memiliki peluang untuk melakukan sesuatu hal yang merugikan terhadap orang-orang dianggap musuhnya.

Tahapan berpikir yang mendorong terjadinya paranoia :

1. Suspiciousness/Curiga - individu menjadi tidak percaya kepada orang lain, takut akan dirugikan dan menjadi sangat siaga.
2. Protective Thinking – mengkaji secara selektif tindakan orang lain dan melihatnya secara curiga dan mulai menyalahkan orang lain atas kegagalannya.
3. Hostility/permusuhan – sangat sensitif terhadap ketidakadilan yang dirasakan meskipun tidak benar, hal ini direspon secara marah dan sikap permusuhan dan ini semakin meningkatkan kecurigaan.
4. Paranoid Illumination / Berkembangnya Paranoid – Sikap penuh curiga sudah menjadi bagian dirinya dan ia merasakan adanya sesuatu yang aneh namun ia ia telah tenggelam dalam situasi kecurigaan tersebut.
5. Delusions – merasa dikejar-kejar atau adanya waham kebesaran namun ia mengembangkan suatu alasan yang logis dan mengembangkan tindakan-tindakan yang dapat dipahami oleh orang lain.

Faktor Penyebab Paranoia :

1. Kegagalan proses belajar.
2. Kegagalan & inferiority
3. Elaborasi sistem pertahan diri & Pseudocommunity.

Kegagalan proses belajar – biasanya sejak masa kanak-kanak, paranoia suka menyendiri, pencuriga, mengasingkan diri, keras kepala dan sangat sensitif. Saat diingatkan mereka cemberut dan uring-uringan. Hanya sedikit dari mereka yang menunjukan kemampuan bermain dengan anak lain yang normal atau bersosialisasi dengan baik.

Latarbelakang keluarga memegang peranan yang penting. Situasi lemahnya penerimaan dalam keluarga dan penggiringan sikap inferioritas akan mengembangkan sikap anak untuk berusaha menjadi superior. Ketidakmantapan latarbelakang keluarga mempengaruhi perasaan anak terhadap orang lain dan membentuk perilaku negaif anak terhadap orang lain.

Proses sosialisasi yang tidak tepat membentuk perilaku anak yang mudah curiga kepada orang lain. Dengan demikian akan terbentuk sikap permusuhan dan ingin mendominasi orang lain. Kondisi ini akan saling mempengaruhi, sikap bermusuhannya direspon secara negatif oleh lingkungan dan iapun semakin curiga dengan orang lain sehingga perlahan-perlahan terbentuk kepribadian yang paranoia. Selanjutnya terjadilah isolasi sosial dan ia semakin tidak percaya kepada orang lain.

Perkembangan kepribadian selanjutnya dimasa kanak-kanak ini mengembangkan suatu sikap gabungan dari merasa diri penting, kaku, arogan, ingin mendominasi dan membentuk gambaran diri yang tidak realistis dan menimpakan kegagalan atau kesialannya kepada orang lain. Mereka menjadi sangat curiga dan sangat peka menghadapi situasi ketidakadilan. Selanjut individu tidak memiliki selera humor.

Mereka mulai mengkategorikan mana orang baik dan jahat. Harapan mereka dan tujuan hidup mereka seringkali tidak realistik. Mereka menolak untuk menerima permasalahan yang dengan cara-cara yang lebih realistik. Mereka cenderung menjadi orang yang uring-uringan dan menolak kontak yang normal. Mereka tidak mampu membina hubungan sosial yang hangat, bersikap agresif dan merasa superior.

Kegagalan dan Inferiority

Biasanya riwayat para paranoiac sarat dengan kegagalan dalam beradaptasi dengan situasi kehidupan yang penting seperti lingkungan sosial, pekerjaan dan perkawinan. Menghadapi ini mereka bersikap rigid, membuat goal yang tidak realistik dan tidak mampu membina hubungan jangka panjang dengan orang lain. Kegagalan ini diinterpretasikan olehnya sebagai penolakan, penghinaan dan peremehan oleh orang lain.

Kegagalan ini menyebabkannya sukar untuk memahami sebab-sebab utama sebenarnya dari permasalahan yang ia alami. Misalnya, mengapa mereka harus meningkatkan kemampuannya dalam berhubungan sosial dalam rangka mencegah reaksi negatif dari orang lain – mengapa mereka sampai tidak disukai dalam pekerjaan misalnya karena mereka menyelidiki sesuatu secara sangat rinci. Ia tidak mampu untuk memahami dirinya dan situasi secara objektif, tidak mampu memahami mengapai ia sampai menarik diri dan mengapa orang lain menolaknya.

Meskipun demikian perasaan inferiority dari penderita paranoia bersifat topeng saja, karena sesungguhnya mereka ingin superior dan menganggap dirinya penting dan hal ini dimanifestasikan dalam banyak aspek dari perilakunya. Mereka sangat ingin dihargai, hipersensitif terhadap kritik, sangat teliti dan rajin.

Para individu paranoid pada saat dihadapkan dengan kegagalan mereka biasanya mengatakan “orang-orang tidak menyukai kamu,” barangkali ada sesuatu yang salah pada diri kamu,” kamu inferior.” Mereka sering bersikap defensif, menjadi sangat kaku dan cenderung menyalahkan orang lain. Pola-pola defensif ini akan membantu melindungi dirinya dari perasaan inferiority dan perasaan tidak berharga.

Selanjutnya dikenal pula istilah elaborasi mekanisme pertahanan diri dan “Pseudocommunity.”
Dimana diri merasa kaku, merasa diri penting, tidak humoris dan pencuriga membuat penderita tidak populer dilingkungan sosialnya. Mereka saring salah menangkap maksud orang lain. Sensitif terhadap ketidakadilan.

Reaksi paranoid biasanya berkembang secara bertahap. Kegagalan yang ia alami membuat ia mengelaborasi defence mechanism. Untuk menghindari agar dinilai tidak mampu mereka mengembangkan alasan logis dibalik kegagalannya.

Secara bertahap gambaran dimulai dengan kristalisasi proses yang lazim disebut paranoid illumination. Kemudian hal tersebut berkembang sedemikian rupa sehingga penyebab-penyebabnya semakin kabur. Penderita mulai melindungi dirinya dan memiliki asumsi bahwa ada sesuatu yang salah dengan dirinya (ditahap awal). Selanjutkan kegagalan tersebut ia timpakan kepada orang lain.

Kemudian terjadi proses apa yang disebut dengan pseudo community dimana penderita mulai mengkategorisasikan orang-orang disekitarnya (faktual atau bayangan) yang menentang atau tudak menyukai dirinya.

Kejadian-kejadian menjadi perhatian penderita. Ia selalui menyikapi hal-hal disekitarnya dengan sikap curiga. Pseudo community ini bisa disebabkan karena stress yang kuat, misalnya akibat kegagalan ditempat kerja. Ia akan menimpakan kesalahan tersebut kepada orang lain dan mulai mengidentifikasikan orang-orang yang dianggap menghambatnya atau menentang dirinya.

UPAYA PENANGANAN

Pada tahap awal paranoia, penanganan secara kelompok maupun individual masih efektif, terutama apabila penderita memiliki kesadaran untuk mencari bantuan profesional.

Tehnik terapi tingkah laku menunjukkan hal-hal menjanjikan seperti, ide paranoid muncul karena berbagai kombinasi hal-hal yang tidak menyenangkan, berbagai faktor perubah dalam situasi kehidupan seseorang semakin memperkuat perilaku maladaptifnya dan berkembang menjadi cara yang ampuh untuk mengatasi permasalahannya.

Sekali sistem delusi menetap, penanganan akan menjadi sangat sukar. Biasanya sulit berkomunikasi dengan paranoiac untuk mengatasi masalahnya dengan cara-cara yang rasional. Dalam situasi seperti ini penderita enggan berkonsultasi, tetapi mereka berusaha mencari pembenaran dan pengertian dari orang lain terhadap kesalahan yang mereka lakukan.

Hal yang tidak menguntungkan adalah kurang begitu bermanfaatnya merumahsakitkan paranoiac. Kepada paranoiac biasanya lebih efektif memberikan hukuman daripada penanganan. Mereka cenderung menunjukkan kesuperiorannya kepada pasien lain apabila di rumah sakit dan mengeluh apabila keluarga dan petugas kesehatan menempatkan mereka di rumah sakit tanpa alasan yang valid, sehingga mereka menolak bekerjasama dan berpartisipasi dalam kegiatan treatment. Dengan demikian kegagalannya untuk mengendalikan tindakan dan pikirannya dan sulitnya bekerjasama membuat mereka tinggal dalam waktu lama di rumah sakit. Hal ini membuat mereka susah untuk recovery. Meskipun demikian secara tradisional prognosa tentang paranoia kurang begitu bermanfaat.

Pada saat awal mengidentifikasikan psikosis dengan schizophrenia dan paranoia, telah disepakati bahwa manifestasi klinis dari kasus ini harus dibedakan dengan gangguan neurosis atau psikosomatik. Ciri schizophrenia jelas adanya kegagalan pemahaman/kontak dengan realitas dan terjadi disorganisasi kepribadian seperti gangguan dalam fungsi berpikir, afek/perasaan maupun masalah perilaku.

Identifikasi sebagian besar jenis schizophrenia seperti acute, paranoid, katatonik, hebephrenic dan simple memperlihatkan perbedaan klinis untuk setiap jenis. Berbagai faktor penyebab masih sulit dipahami mengapa hal tersebut dapat berkembang. Meskipun demikian para ahli melihat adanya peran faktor genetik yang signifikan yang menyebabkan schizophrenia. Mungkin karena neuropshysiological atau perubahan biochemical yang mengganggu otak berfungsi normal, termasuk disini adalah kegagalan dalam menyeleksi mekanismenya. Penyebab yang tepat dari perubahan tersebut harus dapat dipastikan untuk menentukan apakah karena faktor genetik atau karena gangguan mental. Namun, harus pula diperhatikan penyebab psikologis lainnya yang signifikan. Disamping itu faktor psikososial memegang peranan penting pula.Penanganan inovatif perlu dipertimbangkan seperti chemotherapy, terapi psikososial, program paska perawatan akan membuat kondisi penderita lebih baik.

Gangguan paranoid biasanya tidak mengalami disorganisasi kepribadian yang parah dibandingkan dengan jenis psikosis lainnya, namun mereka sangat resisten/menolak berbagai tindakan terapi yang diberikan.

Tidak ada komentar: