Berbicara tentang tokoh-tokoh revolusioner, ambil saja contoh Tan Malaka-Che Guevara-Bung Karno, apa persamaan dan perbedaan diantara mereka. Persamaannya jelas mereka adalah tokoh-tokoh yang menentang imperialisme. Kolonialisme dan penjajahan. Mereka menjadi inspirator bagi kaum pejuang pembebasan. Mereka menjadi pelita bagi ribuan kaum “pembangkang.” Mereka juga menjadi mercusuar bagi kaum pergerakan. Itulah persamaan diantara mereka.
Ada lagi persamaan yang menarik yaitu kehidupan mereka yang penuh romansa. Che Guevara seorang satria yang mempesona sejumlah wanita. Wanita mana yang tidak takluk dengan mata elang Che? Bung Karno siapa yang tidak kenal dengan si penggagum keindahan ini. Bung Karno mampu menaklukkan hati sekian banyak wanita dan menikahi beberapa orang wanita mulai dari Utari, Inggit, Fatmawati, Hartini, Hariyati, Dewi, Yurike Sanger.
Bagaimana dengan Tan Malaka, nah dalam soal cinta inilah yang membedakan ia dengan tokoh revolusioner yang lain. Tan yang konon menguasai sejumlah bahasa ini seperti Belanda, Rusia, Cina, Tagalog, Inggris, Jepang, Arab termasuk tokoh revolusioner yang kering sentuhan wanita. Konon ia pernah jatuh cinta enam kali, namun tak satu pun yang langgeng bersamanya. Cintanya banyak yang tak berbalas. Ia tidak pernah menikah, hidup dalam kesendirian, berpetualang dan larut dalam pemikiran revolusionernya. Apakah karena sering patah hati membuat jiwanya mudah menggelegak? atau mungkin patah hati tersebut berubah menjadi energi positif yang mampu menggerakkan jiwa revolusionernya? Banyak tokoh yang mendapat energi berlebih justru setelah patah hati. Konon kabarnya Muhammad Toha Pahlawan Bandung Selatan beberapa hari sebelum meledakkan gudang senjata milik Jepang yang juga turut menewaskan dirinya, telah ditolak cintanya oleh seorang Mojang Priangan. Bagaimana dengan Tan Malaka? Entahlah ...
Tan Malaka yang menguraikan pemikirannya dalam buku MADILOG (Materi-Dialektika-Logika) hidup dengan cita-cita dan perjuangan untuk memerdekan bangsanya, namun ia pun tewas secara mengenaskan ditangan putra bangsanya, dan darahnya tertumpah pada tanah ibu pertiwi yang ia perjuangkan. Ia menuliskan gagasannya dalam beberapa buku dan Bung Karno saat di Bandung termasuk saat mempersiapkan pembelaan dirinya di Pengadilan Belanda membuat Pledoi "Indonesia Menggugat" dengan mengambil referensi diantaranya dari buku Tan Malaka.
Satu catatan menarik tentang tokoh kontroversial ini saat memberikan pidato pada kongres Komintern (Komunis International) di Rusia sekitar akhir tahun 1920-an ia mengatakan : “Dalam berhadapan dengan manusia aku adalah seorang komunis, saat menghadap Tuhan aku adalah seorang Muslim.”