Sumber Daya Manusia atau SDM dalam sebuah organisasi adalah elemen penting dalam menentukan keberhasilan organisasi terebut untuk mencapai tujuan. Dalam sebuah perusahaan SDM yang lazim disebut dengan karyawan dianggap sebagai asset dan sebagai capital yang menentukan.
SDM sebagai kapital sering juga disebut dengan Human Capital. Human capital sesungguhnya merupakan terminologi ekonomi yang mencoba menganalisa kedudukan SDM dalam konteks Business. Pengertian human capital sering pula tidak dapat dipahami secara universal karena sangat terkaita bagaimana filosofi, kultur dan sistem yang berlaku didalam perusahaan tersebut. Salah satu definisi yang dapat dipakai adalah berkaitan dengan pengertian human capital secara ekonomi (George S. Odiorne), sebagai berikut :
"Human capital economics is a system of inputs, processes, outputs, and adjustments which individuals, firms, government agencies, institutions, and societies make toward the increase of potential and performance which the individual human or humans as groups may contribute to society, the economy, specific employers, or themselves."
Dalam pengertian tersebut diatas jelas konteks human capital sangat berkaitan dengan input, proses dan output. Sekilas memperhatikan ini, SDM coba dianalisa sebagaimana aset atau capital lain yang ada dalam perusahaan. Namun, sesungguhnya pengertian ini mendudukan bahwa human atau SDM secara minimal tidak lebih rendah dari aset atau capital yang lain. SDM bisa dikalkulasi, bisa dihitung perannya dan bukanlah sesuatu yang tidak bisa diabaikan kontribusi. SDM dalam peruhasaan memiliki dimensi yang bersifat tangible sekaligus intangible. Human capital merupakan sisi SDM yang bersifat tangible.
Pemetaan karyawan dalam perspektif human capital pada dasarnya memposisikan SDM berdasarkan suatu ukuran yang tangible, sehingga secara rasional dan logis kita dapat menempatkan SDM sesuai dengan dimensi pengukuran yang dibutuhkan. Namun, sebagai catatan memposisikan SDM secara tangible ini (human capital) tidak dapat mengabaikan aspek yang lebih substantif dari SDM yang berkaitan dengan dimensi intagible.
Kembali ke pendekatan human capital yang meneropong SDM berdasarkan input, proses dan output, bahwa pendekatan ini semata-mata untuk memudahkan pengukuran kontribusi SDM dan sekaligus untuk menekankan adanya aspek-aspek objektif dari sisi SDM yang dapat digunakan untuk mengetahui kontribusinya terhadap perusahaan atau organisasi disamping aset atau capital lainnya.
Input berkaitan dengan demographi dan populasi. Sedangkan proses berkaitan dengan pendidikan formal dan pelatihan terstruktur yang diikuti. Dalam proses kadang-kadang dipertimbangkan pula pengelaman yang berkaitan dengan informal learning. Output berkaitan dengan kualifikasi ketenagakerjaan seperti keahlian, profesionalisme, managerial. Ujung dari output ini adalah kinerja yang diberikan SDM atau karyawan terhadap perusahaan atau organisasinya. Kinerja inilah yang menjadi basis pemetaan karyawan.
Pemetaan karyawan dalam perspektif human capital bersumbu utama pada kinerja (performance). Kinerja langsung (direct performance) adalah kontribusi langsung yang diperoleh perusahaan dari karyawannya. Namun, ada pula kinerja tidak langsung (inderect performance) yang lazim disebut dengan potensi (potential). Persilangan antara kinerja dan potensi akan menghasilkan pemetaan karyawan.
George S. Odiorne, seorang Profesor dalam bidang Manajemen di Eckerd College, St. Petersburg, Florida, memetakan karyawan kedalam 4 area, sebagai berikut :
1. High Performance - High Potential disebut dengan karyawan STARS
2. High Performance - Low Potential disebut dengan karyawan WORKHORSE
3. Low Performance - High Potential disebut dengan karyawan PROBLEM EMPLOYERS
4. Low Performance - Low Potential disebut dengan karyawan DEADWOOD
Perusahaan yang berorientasi jangka pendek dan mendudukkan SDM setara dengan aset atau capital yang lain, cenderung hanya mempertahankan karyawan yang bertipe STAR dan WORKHORSE, sedangkan kedua tipe yang lain cenderung dieliminasi. Namun, perusahaan yang berorientasi jangka panjang dan melihat aspek yang lebih substantif dari SDM, mencoba melihat hasil pemetaan karyawan tersebut sebagai feedback bagi sistem manajemen SDM bahkan lebih luas sebagai feedback dalam pengelolaan perusahaan.
Dengan asumsi bahwa proses rekrutmen telah dilakukan dengan baik, maka hasil pemetaan karyawan akan memberikan masukan yang sangat bermanfaat untuk perbaikan sistem manajemen SDM dan sistem pengelolaan perusahaan.
Namun, tidak dapat dipungkiri pula ada suatu titik untuk menentukan apakah sistem manajemen SDM yang keliru atau memang karyawan tersebut tidak dapat diperbaiki atau dikembangkan lagi. Untuk menentukan hal ini diperlukan setidaknya pertimbangan sebagai berikut :
1. Apakah seluruh karyawan telah memperoleh kesempatan yang sama untuk berkembang?
2. Apakah karyawan yang tidak berprestasi sudah diberi kesempatan dan dorongan dari perusahaan untuk memperbaiki kinerjanya?
3. Apakah karyawan yang tidak berprestasi telah diberi kesempatan untuk bekerja sesuai dengan minat dan kemampuannya?
4. Apakah karyawan yang tidak berprestasi sudah diuji-cobakan minimal didua tempat bekerja yang berbeda?
5. Apakah karyawan yang tidak berprestasi telah berlangsung lebih dari 2 tahun? atau minimal dalam 2 tahun terakhir penilaian kinerjanya dibawah rata-rata.
6. Apakah karyawan yang tidak berprestasi memperoleh penilaian minimal dari 2 orang penilai?
Untuk menentukan hal tersebut setidaknya diperlukan suatu Komite yang independen dengan tingkat objektifitas penilaian yang dapat dijamin. Komite ini akan mempelajari seluruh data yang tersedia, membandingkan secara tepat bahkan mencoba membandingkan dengan kinerja perusahaan sejenis untuk memastikan bahwa under-performance terjadi bukan karena pengaruh faktor eksternal yang masif (diluar kendali pegawai), menghitung tingkat kelayakan dan prospek karyawan, serta menjamin posisi tetap netral dengan memberikan rekomendasi yang menguntungkan bagi kesemua pihak, menguntungkan karyawan maupun perusahaan.