TEUKU RAJA ANGKASAH, inilah tokoh pertempuran di Bakongan Aceh. Sang Tokoh pemberani ini tiada lain adalah Kakek Kandungku sendiri, beliau sahid dalam usia sangat muda 28 tahun dalam pertempuran menghadapi kaphee Belanda di Bukit Gading Bakongan Aceh pada pertengahan tahun 1928. Siapakah dia?
Alkisah pada akhir tahun 1790-an berangkatlah sekelompok saudagar dari Hadralmaut Yaman Selatan yang dipimpin oleh seorang yang bernama Habib Abdurachman, beliau berangkat bersama 11 orang saudaranya menuju suatu negeri timur yang saat itu dikenal dengan daerah nusantara (mungkin orang lain mengatakannya Hindia Belanda).
Perjalanan dari Yaman menuju Nusantara dilakukan selama berbulan-bulan dengan singgah di berbagai tempat, Gujarat, India, Srilangka. Setelah menempuh perjalanan sekian lama, sampailah rombongan ini dipantai ujung barat pulau Sumatera, yaitu di Negeri Aceh di pelabuhan yang menawan Ulelheu (Olele). Habib Abdurachman (HA) bersama saudaranya berlabuh dan menetap di Ulelheu. Beberapa saudara HA yang lain setelah singgah di Ulelheu melanjutkan perjalanan dan menyebar diseluruh Aceh, mulai pesisir Pidie, Krueng Mane Aceh Utara sampai dengan Peureulak Aceh Timur, bahkan ada yang ke Tanjung Pura dan Asahan di Sumatera Utara.
HA selain berdagang juga menyampaikan risalah Islam, karena kedermawanannya dan kemampuannya dalam memimpin, HA ditokohkan oleh masyarakat setempat sehingga ditabalkan namanya menjadi LAHUDA POLI atau NAKHUDA PO LHEU (Nakhoda Olele). Beliau mempersunting gadis Aceh dari Lamteungoh atau Kampung Teungoh Olele. Melihat kemampuannya dan ketokohannya di Masyarakat oleh Sultan Aceh beliau diberi gelar Teuku, sejak itu nama beliau menjadi Teuku Abdurrachman. Setelah sekian tahun menetap di Olele, Teuku Abdurachman mulai menjelajah lagi, perjalanannya kali ini menyusuri pantai Selatan Aceh sehingga sampailah kenegeri Bakongan. Wilayah ini masih sepi. Teuku Abdurachman melihat tempat ini menarik dan bisa dikembangkan. Kemudian ia sempat kembali lagi ke Aceh Besar dan melaporkan ke Sultan Aceh hasil dari perjalanannya tersebut. Oleh Sultan Aceh ia diminta menetap di Bakongan dan membangun negeri tersebut sebagai bagian dari Kesultanan Aceh. Oleh Sultan Aceh kemudian Teuku Abdurachman diangkat sebagai penguasa atau UleBalang / Hulubalang Bakongan.
Singkat cerita Teuku Abdurachman menjadi Raja di Bakongan, kemudian melahirkan beberapa anak diantaranya Teuku Raja Lahat. Teuku Raja Lahat mempunyai anaka Teuku Samaun. Teuku Samaun memiliki anak Teuku Abdurachman (Junior), kemudian Teuku Abdurachman Jr. memiliki anak TEUKU RAJA ANGKASAH.
Sebelum menceritakan Perang Teuku Raja Angkasah (TRA) di Bakongan, ada baiknya menceritakan sedikit tentang ayahnya yaitu Teuku Abdurachman Jr. Teuku Abdurachman Jr (TA) adalah anak Raja Bakongan yaitu Teuku Samaun, beliau memiliki beberapa saudara laki-laki. Sifat beliau sangat keras sehingga sangat dibenci oleh Belanda dan antek-anteknya. Dikisahkan TA memiliki rambut yang panjang yang menjuntai hingga kaki namun sering digulung kedalam surban. Rambut beliau tidak bisa dipotong karena kebal, hanya beliau sendirilah atau adik perempuannya yang mampu memotong rambut tersebut. Dalam beberapa kesempatan adik perempuannya meminta rambut tersebut dipotong, namun oleh TA tidak diperbolehkan. TA dan pengikutnya menetap di Tunong (pedalaman gunung Bakongan). Dalam kehidupan sehari-hari TA sering berselisih dengan Belanda dan antek-anteknya.
Mengingat sikap keras TA, Belanda mencari akal bagaimana bisa melenyapkan TA dengan cara membunuhnya. Tetapi beliau kebal dan ini memusingkan Belanda dan tidak ada satu orang pun di Bakongan yang berani melakukannya. Kemudian muncullah tipu muslihat. Belanda mulai mengumpulkan antek-anteknya dan tokoh masyarakat pro Belanda dan diantaranya termasuk sanak famili TA yang pro Belanda. Perlu diketahui pula mengingat sifat keras dan konfrontatif TA, Belanda tidak mau mengakui TA sebagai Raja Bakongan bahkan mengangkat saudara laki-lakinya sebagai Raja Bakongan (Politik Pecah Belah). Rapat tipu muslihat Belanda dihadiri oleh antek-anteknya. Dalam rapat tersebut muncul suatu usulan untuk menjebak TA, yaitu dengan cara mengundangnya dalam acara Maulud Nabi di Masjid. Tetapi tetap muncul masalah bagaimana cara membunuhnya apakah ditikam? padahal dia kebal, apakah diracun? bukankah TA sakti bagaimana kalau dia tahu makanan minumannya sudah diracun? tentu timbul masalah lagi. Akhirnya muncul usulan untuk meminta bantuan orang sakti kebal lainnya diluar negeri Bakongan. Munculah nama Guru Kanak seorang kebal sakti dari Singkil. Saat dihubungi pada awalnya Guru Kanak sempat ragu, namun ia bersedia apabila dibantu sejumlah tokoh di Bakongan diantaranya Datuk Bendahara dan juga dibantu oleh saudara TA sendiri yaitu Raja Bakongan versi Belanda. Menurut cerita kekebalan TA dapat diatasi apabila ia disentuh langsung oleh saudaranya, jadi disusun rencana agar Guru Kanak mampu menikam TA saat ditikam TA harus dipegang oleh saudaranya dan kemudian dibantu oleh Datuk Bendahara. Kemudian dibuatlah undangan kepada TA agar menghadiri kenduri Maulid Nabi di Masjid Keudee Bakongan. Pada satu hari sebelum hari H undangan, TA memanggil adik perempuannya dan meminta ia untuk memotong rambutnya karena orang lain tidak bisa memotong rambutnya. Adik perempuannya kaget "wah aneh kok Cutbang minta dipotong rambut padahal selama ini tidak bersedia kalo diminta potong rambut?" TA menjawab bahwa sekarang sudah saatnya rambutnya dipotong dan hanya dia selaku adik perempuannya yang dapat memotong rambutnya, orang lain tiada satu orang pun yang mampu melakukannya (seolah-olah ia sudah mendapat firasat bahwa ia sudah waktunya menghadap Allah Swt). Kemudian dipotonglah rambut TA oleh adiknya.
Pada ke-esokan harinya TA bersama pengikutnya turun gunung dari Tunong ke Keudee Bakongan menuju Masjid untuk menghadiri undangan Maulud Nabi. Meski sedikit curiga namun ia coba tepis karena melihat saudaranya juga turut mengundang. Di pintu gerbang Masjid sudah menunggu sejumlah tokoh masyarakat Bakongan, Guru Kanak, Datuk Bendahara dan Adik Laki-Laki TA (yang diangkat Raja oleh Belanda). Pada saat mendekati pintu gerbang masjid adik laki-laki TA menyongsong dan menggandeng tangannya, tangan satu lagi dipegang oleh Datuk Bendahara, sehingga kedua tangan TA diapit dan tokoh-tokoh lainnya mengerubuti TA, pejabat Belanda sendiri bersembunyi jauh karena takut dicurigai oleh TA. Pada saat kedua tangannya diapit, dikerubungi oleh tokoh-tokoh yang merupakan antek-antek Belanda, maka pada saat bersamaan Guru Kanak yakin TA sudah tidak kebal karena dipegang oleh saudaranya, pada detik-detik yang cepat itu sesegera mungkin Guru Kanak menghunjamkan belatinya tepat didada kiri menusuk jantung TA ....... TA menjerit "kureung haja, Beulanda paleh kah dipeungeut lon, ya Allah pe ampon deusa lon" pada saat yang bersamaan TA rubuh sahid ditangan antek-antek Belanda. Gugurlah sang pemberani musuh Belanda ini ditangan antek-anteknya.
TA syahid dengan meninggalkan istri dan seorang anak laki-laki yaitu TEUKU RAJA ANGKASAH (TRA). TRA sebetulnya adalah pewaris syah dari Raja Bakongan, namun karena politik pecah belah Belanda, maka yang diakui sebagai Raja Bakongan adalah sepupunya yaitu anak dari pamannya yang memang dekat dengan Belanda. Terbunuhnya sang ayah memberikan luka yang dalam bagi TRA. Ia pun merasa Belanda telah mengadu domba keluarganya dan mengobok-obok masyarakat Bakongan. Ia sangat sedih untuk menghadapi Belanda maka ia harus menghadapi saudara-saudaranya juga, ini menumbuhkan luka dalam hatinya. Tetapi ia bertekad tetap ingin menghancurkan Belanda dan mengenyahkannya dari bumi Bakongan ...... mengenyahkannya dari tanah Aceh.
Teuku Raja Angkasah mulai menanam tekad dalam dirinya. Ia harus memiliki kekuatan untuk menjalankan misinya. Secara fisik ia berlatih berbagai ilmu bela diri dan ilmu kebal. Secara mental ia menempa dengan ilmu agama. Ia sering menjauhkan diri kepedalam hutan dan bukit disekitar Bakongan dan sampai ke kaki Gunung Leuser.
Batin TRA bergolak, apakah ia akan melawan kesewenang-wenangan ini atau berdiam diri saja karena ia pun sebetulnya dibujuk oleh Kumpeni Belanda untuk mendukung mereka. Dalam proses pergolakan batin tersebut TRA diiming-imingi oleh Belanda dengan diberikan santunan karena ia dianggap keturunan Raja. Ia diberikan hak untuk menerima Rp.25,- (Duapuluhlima Rupiah) oleh Belanda. Saat itu tahun 1925 jumlah uang tersebut sangatlah besar. Jadi dengan berdian diri saja sebetulnya TRA telah dapat menikmati hidup sejahtera meskipun tanpa kekuasaan. Namun, hati TRA tetap berkecamuk, dalam benaknya yang terlintas adalah bagaimana segera mengenyahkan Belanda dari bumi Bakongan Aceh. Pada suatu saat datanglah utusan Belanda mengantarkan uang santunan tersebut. TRA sangat tersinggung ia langsung melemparkan uang santunan dari Belanda tersebut kepada utusan tersebut. Dengan geram TRA berkata "Beulanda paleh keuneuk jak jok peng hareum ku trimong." Utusan Belanda segera kembali ke markasnya dan melaporkan apa yang terjadi. Hal ini menimbulkan kegusaran bagi pembesar-pembesar Belanda di Bakongan. Mereka mencoba mengantisipasi apa yang bakal terjadi dan berusaha memikirkan cara melunakkan hati TRA. Mereka pun mengundang TRA untuk datang ke markas .................... tentu saja undangan ini ditolak mentah-mentah oleh TRA, bahkan ia menantang kalau mau bertemu silahkan bertemu di hutan tunong Bakongan ... silahkan tuan-tuan bawa serdadu sebanyak mungkin ... saya akan tunggu untuk memisahkan kepala dan badan serdadu-serdadu tuan. Tantangan TRA ini menimbulkan kemarahan bagi Belanda. Setelah berkoordinasi dengan Kutaraja (Banda Aceh) Komandan Pasukan Belanda di Bakongan mulai mengumpulkan serdadunya untuk memburu TRA di hutan tunong Bakongan. Puluhan orang serdadu dikirim. Dalam perjalanan menuju tunong Bakongan dipertengahan jalan rombongan serdadu Belanda ini disergap oleh TRA dan pengikutnya, puluhan serdadu Belanda tersebut tewas ................. beberapa orang melarikan diri dapat dihabisi dan hanya sekitar beberapa orang yang berhasil kembali ke markas di Keudee Bakongan. Laporan segera dibuat ke Kutaraja untuk segera menambah pasukan. Pasukan tambahan dikirimkan dari Banda Aceh le Bakongan dengan menggunakan Kapal Putih. Pasukan inipun menemukan naasnya. Beberapa kali kapal putih ini bolak-balik Kutaraja-Bakongan dan dihitung-hitung sudah lebih dari seratus orang Serdadu Belanda yang tewas.
Biasanya dari Kutaraja ke Bakongan Kapal Putih membawa serdadu Belanda yang segar bugar. Namun, dari Bakongan ke Kutaraja membawa mayat-mayat serdadu yang kaku yang tewas dalam menghadapi TRA dan pasukannya. Dalam suatu kesempatan istri TRA (Nyak Mah) pernah dibawa pula oleh Belanda ke Kutaraja menggunakan kapal putih ini. Istri TRA dibawa menghadap pembesar Belanda di Kutaraja dan diminta untuk dapat membujuk TRA agar menyerahkan diri, apabila bersedia maka kedudukannya sebagai Raja Bakongan akan dipulihkan dan diakui Belanda dan kemudian akan diberikan berbagai fasilitas serta bantuan keuangan.
Menurut penuturan Nyak Mah saat dibawa ke Kutaraja dengan menggunakan kapal putih ia menyaksikan banyak mayat serdadu yang terkubur kaku dan komandan kapal mengatakan mereka mati akibat perbuatan suaminya. Ia menatap garang kepada komandan kapal dan mengatakan silakan kirim serdadu lebih banyak lagi ke Bakongan dan suaminya tidak akan pernah menyerah.
TRA dan Nyak Mah memiliki 3 orang anak, yang pertama laki-laki Teuku Ramli Angkasah, kedua putri Cut Putroe dan ketiga putri Cut Bungsu. Saat berjuang dipedalaman Bakongan TRA meninggalkan istri dan ketiga anaknya yang masih kecil umur 6 tahun, 4 tahun dan 2 tahun. Rumah TRA di Keudee Bakongan sering diamati oleh kumpeni Belanda untuk mengawasi siapa tahu TRA sewaktu-waktu pulang. TRA memang sering pulang terutama dimalam hari, tetapi tidak pernah diketahui oleh Belanda, menurut sebagian cerita penduduk TRA menggunakan ilmu peurabon (menghilangkan diri dari pandangan orang). Pada suatu kesempatan TRA sangat rindu kepada keluarganya dan ia pulang kerumah. Saat bertemu dengan istrinya ia berkata tidak bisa terlalu lama berada dirumah karena harus ke Buket Gadeng tempat pasukan/pengikutnya berada, namun untuk menghilangkan rindunya ia ingin membawa anak lelakinya Teuku Ramli Angkasah, istrinya Nyak Mah tidak bisa berkata apa-apa. Pada saat itu kebetulan ada mertuanya (ibu istrinya). Ibu mertuanya berkata dengan bijak sebaiknya jangan membawa anak lelakinya ke pedalaman Buket Gadeng karena sangat mungkin terjadi pertempuran yang dapat mencedari anak tersebut. TRA akhirnya tidak membawa anak lelakinya tersebut, padahal anak tersebut diharapkan dapat menjadi pengobat rindunya di tengah hutan dipedalaman Buket Gadeng.
Diantara rekan seperjuangan TRA adalah Teuku Cut Ali (TCA) dan Datuk Raja Lelo (DRL). TCA usianya lebih tua dari TRA sehingga TRA memanggilnya Ayahcut. Mereka berjuang bahu membahu. TRA berjuang disekitar Bakongan. TCA disekitar Trumon dan DRL disekitar Kandang.
Pertempuran demi pertempuran terus berlangsung. Mengingat persenjataan dipihak Belanda lebih kuat maka TRA dan pasukannya sering melakukan serangan mendadak ditengah patroli pasukan Belanda. Kemudian pasukan TRA sering membuat jebakan/perangkap dari tali. Pada saat patroli Belanda melintas maka mereka dibiarkan berjalan sampai dengan ujung sehingga semua pasukan Belanda masuk dalam jangkauan seluruh tali. Kemudian tari ditarik sehingga Belanda berjatuhan. Pada saat bersamaan TRA dan pasukannya yang menunggu dipinggir jalan langsung menghayunkan kelewang dan rencongnya sehingga banyak pasukan Belanda yang tewas.
Mengingat banyaknya pasukan Belanda yang tewas kemudian dikirimlah pasukan Marsose, yaitu pasukan khusus Belanda. Bersamaan dengan itu dibangun markas Marsose di Bakongan. Saat itu diseluruh Aceh hanya ada 6 markas Marsose yaitu di Indrapuri Aceh Besar, Jeuram Aceh Barat, Tangse Aceh Pidie, di Peureulak Aceh Timur, di Takengon Gayo dan Bakongan Aceh Selatan.
Namun, pengiriman Marsoses ini pun belum berhasil menaklukkan TRA, bahkan korban dipihak Marsose pun berguguran. TRA mempunyai satu cara unik dalam bertempur yaitu selalu membuat undangan terbuka ke pihak Belanda dengan menyebutkan waktu dan tempat untuk bertempur. Biasanya dalam kesempatan ini TRA selalu mengajak duel satu lawan satu dengan Komandan Pasukan Belanda. Dalam beberapa kesempatan komandan Belanda langsung terbunuh dalam duel satu lawan satu tersebut. Dalam kesempatan yang lain komandan Belanda terluka parah dan oleh TRA dipesilahkan dibawa pulang kembali oleh pasukan Belanda untuk dirawat sampai sembuh dan kemudian diberi kesempatan lagi untuk bertempur satu lawan satu menghadapi dirinya. Sikap ksatria yang ditunjukkan TRA ini menimbulkan rasa hormat di pihak Belanda. Namun, disamping rasa hormat dan kagum timbul pula kegusaran di pihak Belanda dan mereka mulai memikirkan siapa komnadan pasukan yang cukup handal yang perlu dipertarungkan dengan TRA.
Belanda berpikir keras dan berkoordinasi dengan Kutaraja bahkan sampai dengan Batavia. Kemudian muncullah suatu nama seorang komandan pasukan yang cukup handal yang dikenal sebagai Singa Afrika yaitu Kapten Paris. Kapten Paris sang Singa Afrika dikenal reputasinya dalam pertempuran terutama di medan tempur Afrika Selatan. Namanya cukup disegani dikalangan pasukan Belanda. Belanda menganggap ini adalah lawan yang sepadan bagi Harimau Sumatera Teuku Raja Angkasah (TRA). Kedua-duanya memiliki keahlian bermain pedang, sama-sama jago dalam pertempuran satu lawan satu .
Kapten Paris seorang bertubuh atletis dengan badan tinggi besar. Dia seorang petarung ulung yang berpengalaman dalam berbagai medan pertempuran. Reputasinya dalam mengatasi pergolakan di Afrika Selatan membuat dia dijuluki sebagai Sang Singa Afrika. Pasukan Marsose sekarang membutuhkan Singa Afrika untuk diterjunkan dalam pergolakan Aceh menghadapi Harimau Sumatera yang juga dikenal kegarangannya. Yah Harimau Sumatera itu siapa lagi kalau bukan Sang Panglima Bakongan Teuku Raja Angkasah (TRA). TRA dikenal akan kesukaannya untuk menantang komandan pasukan musuh dalam pertempuran satu lawan satu, duel dengan menggunakan pedang. Banyak komandan pasukan Marsose yang sudah menjadi korban tebasan pedang TRA. Ia butuh lawan seimbang. Kapten Paris si Singa Afrika adalah lawan yang pas untuk Harimau Sumatera ini.
Akhirnya Pemerintah Kolonial Belanda memanggil Kapten Paris (KP) dari Afrika Selatan ke Batavia. Di Jakarta KP sempat memperoleh penjelasan mengenai situasi pada umumnya dan misinya untuk mengatasi perlawanan di Bakongan. Sebelum menuju Aceh KP diminta ke Cimahi suatu Garnizun Militer Belanda dan tempat pelatihan Marsose. KP diminta memilih langsung pasukan Marsose yang akan mendampingi dirinya untuk bertempur di Bakongan Aceh. Sesegera mungkin KP menuju Cimahi. Sesampainya di Cimahi Jawa Barat, KP minta syarat anggota Marsose yang mengikuti dia harus sudah memiliki pengalaman pertempuran khususnya pertempuran jarak dekat dan terbiasa bertempur satu lawan satu serta terampil dalam menggunakan pedang, kelewang dan belati. Dikumpulkanlah sejumlah Marsose sesuai keinginan KP, kemudian mereka diuji langsung oleh KP dengan pertempuran jarak dekat, dilihat kemahiran mereka dalam menggunakan pedang dan bagaimana cara mereka mengayunkan kelewang serta menggunakan belati. Sebagian dari mereka adalah yang sudah berpengalaman dalam pertempuran Aceh lainnya. Setelah memilih pasukan Marsose terbaik, KP memberikan briefing khusus yang intinya bahwa mereka nantinya akan bertempur dalam medan pertempuran Bakongan Aceh, sifat pertempuran satu lawan satu, sering dilakukan dalam jarak dekat dan yang mereka hadapi adalah seorang Harimau Sumatera Teuku Raja Angkasah (TRA) yang ayahnya juga terbunuh oleh Belanda. TRA dan pengikutnya adalah petarung-petarung yang tidak takut mati, bahkan mendambakan syahid sebagai yang tertera dalam Hikayat Perang Sabil yang terkenal tersebut. Mereka sebagaimana umumnya pejuang Aceh sangat membenci kaphee Belanda dan bahkan bangga apabila gugur dalam pertempuran. Puncak kebahagiaan mereka adalah mati syahid, semboyan mereka adalah udeep saree matee syahed. Sejarah kepahlawanan dan kejuangan mereka telah dikenal sejak jaman mereka bertempur melawan Portugis, Inggris dan kini Belanda.
KP menjelaskan secara panjang lebar tentang misi mereka ke Bakongan Aceh. Mereka diminta komitmen untuk mampu bertempur habis-habisan demi kejayaan Belanda dan Ratu. Marsose sebagai pasukan khusus dipilih dari prajurit-prajurit terbaik dan hidup mereka didedikasikan untuk bertarung dari satu medan pertempuran ke medan pertempuran berikutnya. Pekerjaan mereka adalah membunuh, derajat mereka ditentukan oleh tingkat kebengisan mereka, prestasi mereka ditorehkan berdasarkan jumlah jasad yang mampu mereka tumbangkan. Kebanggaan mereka ada pada kemampuan menumpas habis pemberontak.
Tapi yang dihadapi Marsose saat ini bukan sembarang medan pertempuran. Ini adalah medan pertempuran yang penuh darah para syuhada, medan pertempuran yang telah mampu membungkam para agressor, medan pertempuran yang telah mampu mencabut nyawa para jenderal penyerang. Yang dihadapi mereka adalah petarung-petarung tangguh, pejuang-pejuang yang telah mendedikasikan hidupnya di jalan Allah dan mendambakan syahid, yang terampil memegang rencong, pedang dan kelewang. Mereka menghadapi pejuang-pejuang yang mengganggap kematian dalam pertempuran sebagai gerbang menuju syurga, yang percaya bahwa meregang nyawa dalam perang sabil adalah jalan untuk menggapai bidadari, yang percaya darah kematian mereka seharum bau kasturi, belum pernah mereka mendapati medan perjuangan yang begitu berat, Aceh adalah daerah yang menggetarkan. Jiwa Marsose mereka ibarat diguncang saat mendengar Aceh adalah arena pertempuran mereka. Namun, kontrak telah ditandatangani, tekad telah ditorehkan, penugasan tidak mungkin diabaikan ........ walaupun mereka merasakan debaran jantungnya yang berdetak keras ... apakah aku akan kembali lagi dengan utuh atau tetap membawa nyawa? atau aku akan terkapar dalam sengitnya pertarungan di Aceh?
KP memandangi satu per satu pasukan pilihannya, langsung pandangannya menusuk mata prajurit Marsose pilihan tersebut. Ia memberikan kesempatan terakhir bagi yang tidak siap silahkan mundur segera ......... tentu gengsi seorang Marsoses mencegah mereka untuk mundur .. terkilas dalam bayangan mereka berbagai medan pertempuran yang pernah dihadapi, tiada keganasan yang melebihi keganasan pertempuran di Aceh .... ego seorang Marsose membuat mereka membusungkan dada menjawab ajakan KP untuk berangkat bertempur di Aceh.
Pada saat yang telah ditentukan akhirnya KP dan prajurit Marsose pilihan berangkatlah ke Aceh menuju salah satu Markas Marsose di Aceh yaitu Bakongan. Sesampainya di Bakongan, pasukan melakukan konsolidasi, KP memperoleh berbagai masukan dari pasukan terdahulu. KP pu seperti biasanya mencoba mempelajari siapa yang menjadi lawan utamanya ........... siapa Komandan dan Panglima perang musuh. Lawannya ternyata adalah seorang keturunan Raja dan Pewaris sah Raja Bakongan. Ia masih muda 28 tahun, tidak jauh berbeda dengan usia KP. Sang lawan dikenal sebagai Harimau Sumatera. Sekilas ia mengamati foto Sang Harimau yang diperlihatkan oleh komandan markas, seorang yang bersorot mata tajam, berwajah bersih tapi keras, tampak atletis dengan bahu bidang dan tinggi badan sedikit diatas warga biasa. Ia pun mendapat informasi bahwa Sang Harimau TRA ini, seorang yang memiliki wibawa tinggi, berbicara dengan nada tegas, berjalan dengan langkah kecil namun cepat (seperti langkah orang yang sedang menuruni bukit)dan senang memakai pakaian berwarna putih. Ia adalah keturunan Raja yang ayahnya terbunuh karena konspirasi Belanda.Pada penilaian awal KP telah menaruh hormat kepada TRA. Ia merasa menghadapi seorang pejuang sejati, namun bagaimana pun tugas harus dilaksanakan dengan baik.
Dipihak lain Sang Harimau TRA, telah mendapat berita pula bahwa, kekalahan beruntun yang menewaskan banyak pasukan Belanda telah mendorong pihak kolonial ini untuk mendatangkan seorang komandan tempur tangguh yang berpengalaman bertempur dibelantara hutan Afrika. Seorang petarung tangguh yang terbiasa menggunakan pedang, bayonet dan belati dalam pertempuran jarak dekat dan telah menewaskan sejumlah komandan lawan tarungnya. Ialah KP. KP disertai oleh prajurit terpilih Marsose yang telah ditempa oleh berbagai medan pertempuran yang telah dilatih khusus untuk misi di Bakongan. TRA mendapat kabar sedikit tentang sosok KP ini, seorang berperawakan tinggi tegap, juga dengan sorot mata tajam dengan usia tidak jauh berbeda dengan dirinya. TRA bergumam ini tentu lawan yang seimbang. Meskipun ia telah mampu menewaskan sejumlah komandan pasukan musuhnya dalam pertarungan jarak dekat, namun terhadap KP ia memiliki kesan sendiri. Tapi bagi dirinya siapapun komandan pasukan musuh tidaklah masalah, semakin tinggi reputasi mereka semakin menimbulkan semangat yang berapi-api dari dirinya untuk segera menebas lawannya tersebut.
Setelah mengetahui KP telah berada di Keudee Bakongan, sebagaimana biasanya untuk menyambut komandan pasukan baru TRA melayangkan undangan untuk melakukan pertempuran dengan diawali duel terbuka antara dirinya dengan komandan pasukan musuh. Undangan ini menyentak diri KP. Belum pernah ia menerima undangan seperti ini... yah undangan untuk bertarung dari seorang Harimau Sumatera. KP tertegun ........ namun gengsi keprajuritannya muncul ia sempat berpikir sejenak. Seteleh merenung beberapa hari kembali ia menerima surat undangan bertarung dari TRA bahkan TRA menawarkan KP boleh memilih tempat yang ia sukai. KP tentu tidak ingin menunggu sampai dengan undangan ketiga tiba. Ia segera menyusun pasukan kemudian berangkat menuju tempat pertarungan yang disepakati yaitu sebuah kawasan arah tunong/ perbukitan diluar Bakongan.
Setelah menempuh perjalanan kearah tunong akhirnya KP dan pasukan Marsose tiba ditempat yang ditentukan. TRA bersama panglimanya telah menunggu bersama pengikutnya. KP kaget ternyata TRA telah secara sportif menunggunya dan tidak salah ia mendengar kabar selama ini mengenai reputasi TRA. Sejenak mereka saling menatap. KP memperhatikan sosok TRA, seorang yang berperawakan atletis, tampak menonjol diantara pengikutnya, menatap dengan sorotan tajam. Pasukan Marsose menyiapkan bedilnya, namun KP mencegah, karena ia ingin mencoba membujuk TRA dulu. Panglima dan pasukan TRA pun telah siap namun TRA meminta mereka untuk tenang. Kemudian TRA menyambut dengan ucapan selamat datang dalam medan pertempuran Bakongan kepada KP. TRA menawarkan cara pertempuran apa yang diinginkan. Akhirnya mereka sepakati untuk bertarung satu lawan satu antara TRA dengan KP dengan menggunakan pedang. Kedua-duanya ahli dalam menggunakan pedang dan pasukan yang lain diminta untuk mengamati.
Setelah keduanya siap pertarungan dimulai. Ayunan pedang keduanya mulai beradu disertai gerakan tendangan dan meloncat. TRA cukup ahli dalam loncatan dan mampu mengayunkan pedang sambil melayang (sebagian orang mengatakan gelar Raja Angkasah sering juga disebut Raja Angkasa karena kemanpuannya memukul lawan sambil melayang). TRA juga mampu melakukan tendangan sambil melompat dan menerjang. Sementara KP piawai dalam memainkan pedang bergantian tangan kiri dan kanan. Kelincahan tangan KP diimbangi oleh tendangan gencar TRA. Pedang terus berdenting. Satu sabetan masuk ketubuh KP disertai sebuah tendangan membuat KP terdorong ke belakang, KP kaget belum pernah ia bertarung dalam situasi seperti ini. Belum hilang kagetnya sebuah sabetan pedang mulai menghantam pahanya, ia mulai terhuyung. TRA memberi kesempatan sejenak untuk KP menguasai diri. KP mencoba memberikan perlawanan, sebuah tusukan pedang KP mengenai sisi bahu TRA, namun pada saat bersamaan pedang TRA menyabet kearah badan KP, KP terhuyung hebat sementara TRA menguasai dirinya, tusukan pedang KP tidak terlalu dirasakan oleh TRA, Pertarungan terus berlanjut dengan darah mulai mengucur. Pengikut TRA mengiringi dengan suara takbir smentara pihak marsose hanya berteriak-teriak untuk menyemangati KP. Sabetan pedang dikeduanya telah mulai melukai mereka berdua, namun tubuh KP lebih banyak terkena sabetan dan darah segar telah mulai banyak keluar dari tubuh KP. Kemudian pada detik yang sangat menentukan sebuah sabetan pedang TRA mengenai tubuh KP lagi, sabetan ini disertai sebuah tendangan kuat yang dilakukan oleh TRA sambil melayang, tendangan yang kuat ini membuat tubuh KP si Singa Afrika tersungkur dan pada saat dirinya terkapar ditanah TRA segera menerjang kedepan dan mulai menempelkan ujung pedangnya ke leher KP yang sudah terkulai. KP tinggal menunggu tusukan pedang TRA dilehernya dan dengan cemas bersiap menyongsong maut. Pada saat yang kritis ini TRA segera menusuk sedikit pedangnya ke leher KP dan kemudian berkata "hai KP Singa Afrika bukankah hidupmu sudah diujung maut ...... engkau saat ini sudah tidak berdaya, ... tuan telah merasakan bagaimana keganasan Harimau Sumatera ... tuan sekarang telah mengenal siapa TRA ............ aku tidak akan menghabisi nyawamu saat ini dan bukan kebiasaanku membunuh orang dalam keadaan tidak berdaya ... lagi pula ini pertemuan pertama kita dan sebagai ucapan selamat datang kepadamu di tanah Bakongan Aceh ... engkau kuberi kesempatan untuk memulihkan diri dan pada saat dirimu telah sehat aku mengundangmu kembali untuk bertarung satu lawan satu .......... sekarang engkau bisa pulang ke markas ..... " TRA mempersilahkan pasukan marsose untuk membawa tubuh KP yang sudah penuh luka dan mengalami pendarahan hebat untuk dibawa kembali ke markas pasukan Marsose di Bakongan. Sebagian pasukan TRA tidak sabaran kenapa TRA tidak segera menghabisi KP namun TRA menenangkannya. KP sendiri dalam keadaan lemah tak berdaya mengagumi sikap ksatria TRA, belum pernah ia menghadapi musuh seperti ini. Dalam setiap pertempuran ia selalu menghabisi musuhnya sesegera mungkin. Tapi TRA tidak menghabisinya bahkan memberikan kesempatan untuk memulihkan diri. Ia mulai menghormati kepatriotan orang Aceh. Dalam gotongan pasukan marsose-nya KP membayangkan sikap kepahlawanan KP. TRA adalah pejuang sejati yang mengedepankan sikap ksatria dalam bertarung ia adalah seorang Harimau Sumatera yang terhormat, petarung yang gentle.
Setelah sampai di Keudee Bakongan di Markas Marsose, KP mulai dirawat secara intensif. Ia dirawat dengan prima, namun ia menolak untuk dibawa ke Kutaraja karena ingin segera pulih di Bakongan dan ingin segera bertarung lagi dengan TRA. Perawatan KP ini membutuhkan waktu satu bulan sampai dengan ia pulih benar.
Dalam masa perawatan satu bulan tersebut, pasukan Marsose tetap menggempur TRA dan pengikutnya. Jumlah pasukan ditambah dengan persenjataan yang lebih lengkap. Sikap TRA yang cenderung bertempur secara terbuka memberikan kesempatan marsose untuk menyergap mereka secara licik, sehingga dari waktu ke waktu jumlah pasukan dan pengikut TRA berkurang karena tewas saat disergap secara licik. Belum lagi politik adu domba Belanda yang sering memanfaatkan penduduk setempat yang kehidupannya terdesak untuk menjadi mata-mata pihak Belanda sehingga memudahkan penyergapan terhadap TRA dan pasukannya.
Setelah satu bulan masa perawatan KP sembuh. Kesembuhannya ini segera didengar oleh TRA. TRA pun mengirim surat undangan lagi untuk menantang KP dalam pertarungan satu lawan satu sebagaimana yang telah terjadi sebelumnya. KP telah mengetahui keunggulan TRA, ia pun agak ragu apakahmampu mengatasi TRA seorang diri. Namun, reputasi dan jiwa petarungnya menggoda dan konflik dengan sikap ragunya mengingat keunggulan TRA dalam pertarungan jarak dekat dan kepiawaian TRA menggunakan pedang. Belum lagi apabila menginggat kemampuan TRA yang mampu melayang sambil menendang dan menyabetkan pedang, ini membuat dirinya sedikit jeri.
KP mendiskusikan surat undangan bertarung dari TRA tersebut dengan komandan perang lainnya dan mendiskusikan dengan Markas Besar Kumpeni Belanda di Kutaraja.
Markas Besar Belanda di Kutaraja berkeberatan apabila harus meladeni TRA dengan perang satu lawan satu. Markas besar ingin segera menyudahi pertempuran dengan TRA melalui serangan besar-besaran. Bagi mereka melayani pertarungan satu lawan satu dengan TRA hanya membuang waktu dan membuang nyawa pasukannya secara sia-sia. Belanda mengabaikan sikap ksatria. KP bimbang dalam menyikapi ini, satu sisi ia teringat dengan janjinya untuk bertarung satu lawan satu dengan TRA secara ksatria, tetapi instruksi dari Komando Pusat mengharuskan ia untuk segera menghabisi TRA dengan serbuan besar. Komando Pusat tidak ingin bertele-tele, cara apapun harus ditempuh untuk menyudahi pertempuran, sementara KP masih menganut prinsip-prinsip seorang ksatria dan mengagumi serta menghormati TRA.
Namun, kepentingan kolonialisme-lah yang berbicara dengan mengabaikan prinsip-prinsip ksatria. Belanda tidak memperdulikan segala etika yang penting TRA harus segera ditangkap hidup atau pun mati dan Perang Bakongan harus segera disudahi agar Kapal Putih tidak bolak-balik lagi mengangkut mayat dari Bakongan ke Kutaraja. Bukankah kuburan Kerkoff di Kutaraja semakin penuh dengan mayat-mayat prajurit marsose yang terbunuh di Bakongan dan dari medan pertempuran Aceh lainnya. Menurut Belanda ini harus segera diakhiri. Belanda segera menyusun strategi dan rencana untuk segera menyergap TRA dan pengikutnya.
Rencana ini didengar oleh TRA bahwa Belanda enggan melayani pertempuran terbuka dan KP pun tidak menjawab undangannya untuk bertarung satu lawan satu dalam duel terbuka. TRA pun mendengar kabar sedang disusun rencana licik dan keji untuk meracun dirinya dan menyergap dirinya secara tersebunyi oleh pasukan Belanda. Atas saran panglima-panglima perangnya mereka menyarankan TRA untuk segera mengambil posisi secara berpindah-pindah dari suatu tempat ke tempat yang lain.
Pada awalnya serbuan besar-besaran dari pasukan Belanda masih terus dilayani oleh TRA dan pengikutnya. Namun, karena kalah banyak dan kalah persenjataan pasukan TRA mulai terdesak. Tambahan pasukan dari Kutaraja dan sikap KP yang mengikuti perintah Markas Besar Belanda membuahkan hasil. Pasukan TRA makin menyusut jumlahnya. Dalam berbagai serangan banyak pasukan TRA yang tewas. Namun, semangat perjuangan TRA tidaklah surut ia masih memberikan perlawanan dan masih mampu merubuhkan sejumlah Marsose dan Kapal Putih masih juga mengangkut mayat-mayat serdadu marsoses dari Bakongan ke Kutaraja.
Pertempuran demi pertempuran masih terus berlangsung. Berbagai utusan dikirim ke TRA agar menyerah. TRA diiming-imingi dengan berbagai fasilitas dan santunan apabila bersedia menyerah. Tentu hal ini ditolak mentah-mentah oleh TRA. Ia terus menggempur Belanda meskipun pasukan dan pengikutnya masih menyusut.
Kondisi ini tentu mengkuatirkan saudara-saudaranya yang ada di Keudee Bakongan. Bahkan ada saudaranya yang berhasil dibujuk Belanda dan mengutus menemuinya di sekitar Bakongan agar TRA menghentikan perlawanan, namun hal ini tidak membuahkan hasil.
Marsose Belanda selalu mendapat tambahan pasukan baru yang segar. Sementara TRA tetap dengan pasukannya dengan jumlah yang semakin berkurang. Serbuan-serbuan yang bengis dan sadis dari pihak Marsose telah mengurangi secara drastis jumlah pasukan dan pengikut TRA. Setelah digempur beberapa kali oleh Marsose, terakhir pasukan TRA hanya tinggal 4 orang. Disaat terakhir TRA hanya didampingi 3 orang panglima. Berarti TRA hany berempat mengatasi gempuran puluhan pasukan Marsose.
Dengan jumlah yang tinggal 4 orang tersebut, TRA bergerak secara mobile. Selama ini kebutuhan makanan masih dipasok oleh penduduk yang bersimpati. Jumlah pasukan yang sedikit dan kondisi yang semakin sulit tidak menyebakan penurunan semangat TRA dan panglimanya. Mereka masih tetap garang dan melakukan serangan sporadis terhadap pasukan Marsose. Hanya saja sekarang KP tidak melayani lagi pertempuran terbuka satu lawan satu dengan TRA.
Pada saat terakhir TRA dan 3 orang panglimanya bertahan di Buket Gadeng. Belanda kesulitan melacak tempat mereka. Telah diutus berbagai orang untuk menyelidiki posisi TRA dan panglimanya tetap tidak dapat diketahui secara pasti lokasinya. Akhirnya Belanda mulailah mencari tahu siapa yang memasok makanan kepada TRA dan pengikutnya. Dan ditemukanlah pemasok makanan tersebut. Setelah diancam dan diiming-imingi, sang pemasok makanan akhirnya bersedia menunjukkan tempat lokasi TRA bertahan dengan pengawalnya.
Dalam waktu yang terbatas itu, TRA telah mencium firasat bahwa ajalnya sudah dekat. Ia kemudian berkesempatan berkomunikasi dengan pejuang yang lain yaitu TCA, yang usianya lebih tua darinya dan ia panggil dengan sebutan Ayahcut. Ia berkata ke TCA “Ayahcut saat ini Belanda sedang memfokuskan penyerangan ke diri saya, apabila saya lebih dahulu syahid dari Ayahcut tolong teruskan perjuangan ini dan segera habisi KP, ia tidak memenuhi janjinya untuk bertarung satu lawan satu lagi dengan saya.” TCA menyanggupi permintaan TRA.
Dengan panduan dari penunjuk jalan yang memasok makanan ke TRA, yang sebelumnya sudah dibujuk dan diintimidasi, Belanda mulai menyergap tempat TRA dan panglimanya di Buket Gadeng. Pemasok makanan jalan terlebih dahulu didepan. Puluhan pasukan Marsose di bawah pimpinan Kapten Paris mengendap dari belakang. Pemasok pelan-pelan jalan seorang diri didepan, ketika sudah sampai didepan kemah TRA dan panglimanya segera mengucapkan salam dan dijawab oleh TRA. Setelah makanan diberikan, tanpa rasa curiga TRA beserta 3 orang panglimanya segera menyantap makanan yang diberikan.
Setelah beberapa saat menikmati makanan, TRA dan 3 panglimanya mendengar letusan senapang disertai ultimatum untuk segera menyerah karena mereka telah terkepung oleh puluhan Marsose bersenjata lengkap. TRA meradang karena sudah merasa ditipu dan dijebak. Ia segera mengambil senapang tuanya dan segera membalas tembakan tersebut bersama 3 orang panglimanya. Tembakan 4 orang dengan senapang tua tentu kalah jauh dengan tembakan puluhan Marsose yang bersenjata terbaru dan lengkap.
Suasana tembak menembak tidak dapat dihindari. Bahkan TRA dengan 3 panglimanya segera maju ke depan membalas tembakan. Menurut cerita sebagian penduduk karena senjata tua milik TRA panas, TRA terpaksa melepas sorbannya untuk membalut senanpangnya dengan sorban dan membalas tembakan. Beberapa bagian tubuh TRA sudah tertembak, namun ia belum rubuh. Satu per satu panglimanya telah tewas. Lokasi pertempuran di sisi Buket Gadeng dan dekat dengan sungai. Pada saat terakhir TRA tinggal sendirian, 3 panglimanya telah tewas bahkan 1 orang masuk ke sungai dan terbawa arus. TRA dengan gigih terus bertahan dengan tubuh bersimbah darah terkena tembakan. Pada detik-detik terakhir sebuah peluru dari sang komandan Singa Afrika KP masuk menembus mulut TRA …………… Allahu Akbar ………. TRA tertembak dan rubuh dengan tubuh bersimbah darah ……………… gugurlah pahlawan pemberani yang berjuang tanpa letih ini … Innalillahiwainnailaihirojiun ….. telah gugur seorang pejuang tangguh dari Pantai Selatan Aceh … gugur di Buket Gadeng Bakongan.
Segera setelah gugur pasukan marsose Belanda bersorak kemenangan. Habislah satu musuh besar mereka yang membuat mereka kelabakan dalam menaklukkan Bakongan Aceh. Kabar syahidnya TRA samapai ke penduduk dan ke Keudee Bakongan. Kabar ini sampai pula ke telinga Raja Bakongan yang ditunjukan Belanda. Segera raja tersebut beserta tokoh-tokoh lainnya berdatangan ke Buket Gadeng. Saat itu jasad TRA beserta 2 panglimanya dijajarkan, sedang jasad 1 panglimanya lagi tidak dapat ditemukan karena jatuh ke sungai dan hanyut dibawa arus.
Setelah semua berkumpul, komandan pasukan Marsose ingin memenggal kepala TRA untuk dibawa ke Kutaraja sebagai bukti ia sudah berhasil menewaskan TRA. Namun, tindakannya ini dicegah oleh Raja Bakongan. Menurut Raja yang juga sanak famili TRA ini apabila kepala TRA dipenggal maka selamanya Bakongan ini tidak pernah aman, darah akan terus tertumpah. Komandan Marsose membatalkan pemenggalan tersebut. Dari hasil kesepakatan jasad TRA dan kedua panglimanya karena mati syahid dikuburkan ditempatnya gugur. Dikuburkanlah ketiga pahlawan ini dalam satu lubang dikaki Buket Gadeng tidak jauh dari tepian sungai.
Pasukan Marsose kembali ke Keudee Bakongan dengan bernyanyi-nyanyi disertai sorak kemenangan. Sesampainya di Bakongan mereka melintas rumah TRA. Anak TRA yang laki-laki masih berusia 6 tahun sedang bermain didepan rumahnya. Anaknya yang diberi nama Teuku Ramli Angkasah ini memperhatikan dengan garang sikap serdadu Marsose ini. Seolah-olah mewarisi sifat ayahnya, ia segera menyongsong pasukan marsose tanpa takut. Dengan kayu yang dipegangnya dipukulnya kaki komandan marsose. Namun, sang komandan marsose tidak marah. Ia malah memeluknya dan menggendong anak tersebut sambil mengelus kepalanya. Namun, sang nenek segera melihat dan merebut kembali anak tersebut karena takut dibawa oleh marsoses. Marsose hanya tertawa dan memesan agar anak tersebut dirawat baik-baik kalau perlu disekolahkan sampai ke Belanda. Tentu tawaran ini ditolak mentah-mentah.
Telah syahidlah seorang pahlawan tangguh yang gugur dalam usia muda karena mempertahankan harga dirinya, martabatnya, agamanya dan tanahnya dari kesewenang-wenangan pihak Belanda. Semoga kisah nyata ini menjadi teladan bagi seluruh anak cucunya dan masyarakat luas yang menjunjung kebenaran dan keadilan.