Minggu, 02 November 2008

CUT NYAK DHIEN 100 TAHUN


Pada hari Sabtu pagi 1 November 2008 aku dikontak oleh salah satu tokoh masyarakat Aceh di Bandung. Di ajak ke Sumedang tepatnya ke Gunung Puyuh tempat bersemayamnya Srikandi Agung CUT NYAK DHIEN. Pada hari itu akan dilakukan peliputan oleh salah satu stasiun TV tentang kehidupan Cut Nyak Dhien bertepatan dengan 100 tahun wafatnya Cut Nyak Dhien. Beliau wafat di Sumedang pada tanggal 6 November 2008. Cut Nyak Dhien adalah srikandi tangguh, yang mampu menunjukkan bagaimana wanita dapat berperan sejajar dengan pria tanpa perlu menggembar-gemborkan konsep emansipasi yang terkadang salah kaprah tersebut. Ia juga tidak perlu berteriak tentang isu kesamaan jender, tetapi ia menunjukkan sikap yang sempurna untuk memperlihatkan bagaimana wanita pun memiliki kesamaan kemampuan dengan pria dalam berjuang bahu membahu melawan suatu kezaliman kolonialisme Belanda.

Berikut tentang profil Cut Nyak Dhien yang penulis peroleh dari sumber Wikipedia :

Cut Nyak Dhien (Lampadang, 18486 November 1908, Sumedang, Jawa Barat; dimakamkan di Gunung Puyuh, Sumedang) adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia dari Aceh yang berjuang melawan Belanda pada masa Perang Aceh. Setelah wilayah VI Mukim diserang, ia mengungsi, sementara suaminya Ibrahim Lamnga bertempur melawan Belanda. Ibrahim Lamnga tewas di Gle Tarum pada tanggal 29 Juni 1878 yang menyebabkan Cut Nyak Dhien sangat marah dan bersumpah hendak menghancurkan Belanda.
Teuku Umar, salah satu tokoh yang melawan Belanda, melamar Cut Nyak Dhien. Pada awalnya Cut Nyak Dhien menolak, tetapi karena Teuku Umar memperbolehkannya ikut serta dalam medan perang, Cut Nyak Dhien setuju untuk menikah dengannya pada tahun 1880 yang menyebabkan meningkatnya moral pasukan perlawanan aceh. Nantinya mereka memiliki anak yang bernama Cut Gambang.[1] Setelah pernikahannya dengan Teuku Umar, ia bersama Teuku Umar bertempur bersama melawan Belanda, namun, Teuku Umar gugur saat menyerang Meulaboh pada tanggal 11 Februari 1899, sehingga ia berjuang sendirian di pedalaman Meulaboh bersama pasukan kecilnya. Cut Nyak Dien saat itu sudah tua dan memiliki penyakut encok dan rabun, sehingga satu pasukannya yang bernama Pang Laot melaporkan keberadaannya karena iba.[2][3] Ia akhirnya ditangkap dan dibawa ke Banda Aceh, disana ia dirawat dan penyakitnya mulai sembuh, namun, ia menambah semangat perlawanan rakyat Aceh serta masih berhubungan dengan pejuang Aceh yang belum tertangkap, sehingga ia dipindah ke Sumedang, dan ia meninggal pada tanggal 6 November 1908 dan dimakamkan di Gunung Puyuh, Sumedang.

Tidak ada komentar: