Sila ke-4 Pancasila berbunyi ”kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.” Pertanyaanya apakah sila ke-4 ini masih dijadikan acuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara?
Jelas dalam pemilihan Presiden dan Kepala Daerah telah dilakukan secara langsung. Ini dikatakan sebagai pengejewantahan dari konsep demokrasi yang sesungguhnya. Kita pun sebagai rakyat merasa bangga karena secara personal ikut menentukan siapa yang menjadi pemimpin kita. Jelas konsep keterwakilan dalam proses pemilihan ini tidak digunakan. Namun, kita pun harus berlapang dada bahwa dengan konsep ini mereka yang buta huruf sampai dengan yang berpendidikan S3 memiliki hak sama, preman dan ustad memiliki hak yang sama, siapapun dia selama tidak kehilangan hak pilihnya memiliki hak yang sama. Ini lah konsekuensi demokrasi.
Konsep perwakilan masih kita rasakan dalam konteks memilih anggota DPR/DPRD maupun memilih DPD. Persoalan lain apakah para wakil-wakil tersebut mewakili kepentingan pemilih atau konstituennya atau memilih partai atau kelompoknya. Kalau tidak maka ini adalah penjabaran konsep perwakilan yang semu, perwakilan yang ”ecek-ecek.”
Bagaimana dengan konsep musyawarah? Dalam berbagai kesempatan baik di parlemen maun pada kegiatan lain voting mulai marak digunakan. Apakah hal ini mencedarai kearifan musyawarah? Memang selama ini pun kita akui kadang-kadang musyawarah itu sering dimanipulasi baik dengan mengatasnamakan kepentingan bersama, kepentingan bangsa dan negara sampai yang menuduh subversif bagi mereka yang tidak mau mengakui hasil musyawarah. Jadi bagaimana konteks musyawarah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara?
Selanjutnya tentang ”kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan” bagaimanakah implementasinya? Apakah proses kehidupan berbangsa dan bernegara sudah mengedepankan konsep kerakyatan? Apakah hikmah kebijaksanaan telah dijadikan pedoman dalam mengelola negara? Mudah-mudahan pemimpin yang terpilih nantinya untuk mengelola bangsa dan negara ini mampu menghayati secara sungguh-sungguh sila ke-4 dari Pancasila dan dijadikan pedoman dalam merumuskan berbagai kebijakan maupun program.
Jelas dalam pemilihan Presiden dan Kepala Daerah telah dilakukan secara langsung. Ini dikatakan sebagai pengejewantahan dari konsep demokrasi yang sesungguhnya. Kita pun sebagai rakyat merasa bangga karena secara personal ikut menentukan siapa yang menjadi pemimpin kita. Jelas konsep keterwakilan dalam proses pemilihan ini tidak digunakan. Namun, kita pun harus berlapang dada bahwa dengan konsep ini mereka yang buta huruf sampai dengan yang berpendidikan S3 memiliki hak sama, preman dan ustad memiliki hak yang sama, siapapun dia selama tidak kehilangan hak pilihnya memiliki hak yang sama. Ini lah konsekuensi demokrasi.
Konsep perwakilan masih kita rasakan dalam konteks memilih anggota DPR/DPRD maupun memilih DPD. Persoalan lain apakah para wakil-wakil tersebut mewakili kepentingan pemilih atau konstituennya atau memilih partai atau kelompoknya. Kalau tidak maka ini adalah penjabaran konsep perwakilan yang semu, perwakilan yang ”ecek-ecek.”
Bagaimana dengan konsep musyawarah? Dalam berbagai kesempatan baik di parlemen maun pada kegiatan lain voting mulai marak digunakan. Apakah hal ini mencedarai kearifan musyawarah? Memang selama ini pun kita akui kadang-kadang musyawarah itu sering dimanipulasi baik dengan mengatasnamakan kepentingan bersama, kepentingan bangsa dan negara sampai yang menuduh subversif bagi mereka yang tidak mau mengakui hasil musyawarah. Jadi bagaimana konteks musyawarah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara?
Selanjutnya tentang ”kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan” bagaimanakah implementasinya? Apakah proses kehidupan berbangsa dan bernegara sudah mengedepankan konsep kerakyatan? Apakah hikmah kebijaksanaan telah dijadikan pedoman dalam mengelola negara? Mudah-mudahan pemimpin yang terpilih nantinya untuk mengelola bangsa dan negara ini mampu menghayati secara sungguh-sungguh sila ke-4 dari Pancasila dan dijadikan pedoman dalam merumuskan berbagai kebijakan maupun program.