Kamis, 06 Januari 2011

SEPUTAR PERANG BAKONGAN ACEH

Dikutip dari tulisan Lila Banguna

Teuku Raja Angkasah

Sejak tahun 1905 di wilayah Bakongan telah terjadi perlawanan Rambong Seunubok Keuranji. Perlawanan tersebut hanyalah merupakan lanjutan dari perlawanan pada masa-masa sebelumnya. Serdadu Belanda yang ditugaskan ke wilayah Bakongan banyak yang meneteskan air mata lebih dahulu sebelum berangkat kesana, karena harapan untuk kembali dari sana sangatlah tipis. Teuku Raja Angkasah juga melibatkan diri dalam pertempuran di Rambong Seunubok Keuranji. Dalam pertempuran di tahun 1925 tersebut pasukan Belanda yang dipimpin oleh Letnan Donner dan sersan marsose Wongsokarijo mengalami kekalahan. Pada malam itu tanggal 12 Agustus 1925, yakni di kampung Rambong dekat Sibadeh, pasukan Letnan Donner diserbu oleh para pejuang. Akibat serangan tersebut Letnan Donner dan sersan Wongsokarijo tewas di cencang oleh para pejuang Aceh, dan 39 orang anak buah nya juga gugur dalam pertempuran di malam itu.

Beberapa tahun kemudian kembali terjadi pertempuran di hutan Rambong dekat Kampung Drien. Pada tengah malam tanggal 23 Oktober 1925 pasukan Belanda yang dipimpin oleh Letnan J. Wiarda diserbu oleh pasukan Teuku raja Angkasah, pasukan Belanda dapat diporak-porandakan dengan menderita kerugian 2 orang tewas, 3 orang luka parah dan 7 orang luka ringan. Sedangkan 4 karaben milik Belanda berhasil dibawa kabur oleh Teuku Raja Angkasah dan pasukannya. Tetapi pada tanggal 10 November 1925, dalam pertempuran di Seunubok Keuranji. Teuku Raja Angkasah berhasil ditembak oleh pasukan Belanda yang dipimpin oleh Letnan W.A.M. Molenaar. Sehingga Teuku Raja Angkasah menemui syahid nya dan dimakamkan di pedalaman hutan Seunubok Keuranji, Buket Gadeng. Setelah beliau meninggal perlawanan semakin membara yang dilanjutkan oleh Teuku Maulud dan Teuku Cut Ali yang dibantu oleh Teuku Nago dan panglima Raja Lela.

  1. Teuku Maulud.

Beliau lah yang berhasil mempengaruhi Teuku Cut Ali untuk berjuang melawan melawan Belanda. Pada tanggal 1 Maret 1926 sebuah brigade infanteri marsose Belanda dari Singkil yang dipimpin oleh Sersan Gruneveld membuat bivak atau camp pertahanan di kampung Gunung Kapho ( Trumon ). pagar bivak tidak sempurna yang mana penjagaan nya terdiri dari dua buah pos dan tidak dijaga pula dengan prasangka bahwa daerah tersebut sedikit banyaknya tidak kacau. Suatu siang Teuku Maulud menyuruh salah seorang kepercayaan nya yang bernama Pang Paneuk dengan berpakaian seperti seorang nelayan melakukan pengintaian terhadap bivak Belanda di kampung Gunung Kapho. Malam harinya , kira-kira jam 22.00 WIB. Pasukan Belanda diserbu oleh pasukan Teuku Maulud yang diperkirakan berkekuatan 30 0rang bersenjatakan pedang dan kelewang. Akibat serangan tersebut pasukan Belanda yang dipimpin oleh sersan Gruneveld kehilangan 9 orang prajurit (tewas), 7 orang luka parah dan 2 orang marsose luka ringan. Teuku Maulud dan pasukannya berhasil merampas 16 pucuk karaben ( senanpan) milik Belanda. Sedangkan di pihak pejuang Aceh, 2 orang gugur sebagai syuhada. Tak lama setelah kemenangan ini Teuku Cut Ali pun menggabung kan diri dengan Teuku Maulud.

Pada tanggal 20 Maret 1926 pasukan Belanda yang terdiri dari Divisi 5 Marsose menyerang pertahanan pasukan Teuku Maulud di daerah Krueng Batee (Trumon), pasukan ini dipimpin oleh kapten Snell dan kapten J. Paris. Dalam pertempuran tersebut Teuku Maulud, Teuku Itam, Pang Paneuk serta 13 orang pejuang Aceh lainnya gugur sebagai syuhada. Dan 9 karaben yang hilang ketika pasukan sersan Gruneveld diserbu dapat direbut kembali oleh Belanda. Setelah Teuku Maulud meninggal perjuangan dilanjutkan oleh Teuku Cut Ali dengan dibantu oleh Teuku Nago dan Panglima Raja Lela ( Meulela ).

Panglima Raja Lela

Tadi diatas sudah disebutkan, bahwa Teuku Maulud menemui syahid nya setelah ditembak oleh pasukan Belanda yang dipimpin oleh kapten Snell dan kapten J. Paris. Kapten J. Paris lahir pada tahun 1889 di nieuwer Amstel. Pada tanggal 3 April 1926, para pejuang yang dipimpin oleh panglima Raja Lela melakukan serangan terhadap pasukan Belanda yang dipimpin oleh kapten J. Paris. Pada saat itu kapten J. Paris dan pasukannya dari brigade 9 divisi 5 marsose mendapatkan tugas ke daerah yang berawa-rawa dekat kampung Krueng Leumbang ( ditepi sungai Kluet antara kampung Sapek dan kampung Drien ). Ketika itulah pasukan nya mendapat serangan mendadak dari pasukan panglima Raja Lela. Menurut cerita kapten Paris selain fasih berbahasa Aceh juga memiliki ilmu kebal ( Kebal Intan ). Sehingga setelah bertempur sehari semalam, Panglima Raja Lela berhasil mengetahui kelemahan kapten Paris. Dalam perkelahian satu lawan satu, panglima Raja Lela pun menewaskan Kapten J. Paris. Tetapi sungguh malang karena Panglima Raja Lela kemudian tewas ditembak oleh anak buah kapten J. Paris. Dalam pertempuran tersebut dipihak Belanda 18 orang serdadu tewas. Sedangkan di pihak pejuang Aceh sebanyak 21 orang meninggal sebagai syuhada.

Teuku Nago

Selain panglima Raja Lela, Teuku Nago juga merupakan salah satu panglima perang Teuku Cut Ali. Yang selalu setia menyertai kemana pun Teuku Cut Ali pergi. Pada tanggal 10 Agustus 1926, pasukan Belanda yang dipimpin oleh kapten Bahrens letnan W.A.M. Molenaar membuat kemah di perkarangan sekolah di kampung Teurbangan Rayeuk. Sebelumnya beberapa tahun yang lalu letnan Molenaar berhasil menembak Teuku Raja Angkasah hingga syahid di Seunubok Keuranji. Pada jam setengah empat pagi, pasukan Belanda yang berkemah dikampung Teurbangan Rayeuk di serbu oleh pasukan Teuku Nago. Kapten Bahrens yang bersenjatakan kelewang dan Molenaar tanpa bersenjata apa-apa keluar dari kemah mereka dalam keadaan gelap. Seorang anggota pasukan Teuku Nago berhasil menewaskan Molenaar dengan rencongnya dan melukai 3 orang marsose lainnya. Sedangkan dipihak Teuku Nago 3 orang pejuang gugur sebagai syuhada.

Pada tanggal 25 Mei 1927, terjadi pertempuran seru di pedalaman hutan Alu Burang, dalam pertempuran tersebut pasukan Belanda yang dipimpin oleh kapten Gosenson berhasil menewaskan Teuku Nago, pada waktu yang bersamaan gugur pula Teuku Cut Ali, dan Imum Sabi. Selain itu istri Teuku Cut Ali yang bernama Fatimah juga meninggal bersama pembantunya yang juga seorang wanita.

Imum Sabi

Pada tanggal 2 Mei 1927, Teuku Cut Ali memerintah kan Imum Sabi untuk melakukan penyerangan terhadap bivak Belanda yang berada di Meungamat yang ada di Kluet Utara. Pasukan Belanda yang membuat bivak pertahanan di lembah Meungamat dipimpin oleh letnan F. Harting. Pasukan Aceh yang menyerbu Belanda pada malam itu berkekuatan 44 orang. Tengah malam kira-kira jam setengah empat pagi pasukan Imum Sabi sudah mengepung bivak Belanda. Imum Sabi selanjutnya memerintahkan 7 orang anggotanya untuk menyusup lebih dulu kedalam bivak, tetapi sayang ketujuh pejuang tersebut gugur sebagai syuhada.

Pada malam itu komandan brigade letnan F. Harting terbangun karena dikejutkan oleh letusan karaben, ia berhasil mengelak ketika salah seorang anak buah Imum Sabi mengayunkan kelewang kepadanya. Hampir saja letnan Harting tewas sekira tidak ditolong oleh kopral Lumantouw dan marsose Wewengkang dari Ambon. Dari pihak Belanda menderita kerugian sebanyak 9 orang serdadu terluka parah. Sedangkan dari pihak pejuang Aceh 7 orang gugur sebagai syuhada. Dan tiga orang pejuang menderita luka tembak, termasuk Imum Sabi. Tetapi Imum Sabi dan pengikutnya berhasil meloloskan diri didalam kegelapan malam. Imum Sabi mendapatkan tembakan peluru di dada di atas jantung yang tembus kebelakang punggung. Tetapi dengan kekuasaan Allah SWT, Imum Sabi masih bisa bertahan. Luka nya kemudian di obati dengan bubur lumpur. Lobang peluru dibagian dadanya sudah sembuh, tetapi pada bagian belakang (punggung) belum sembuh. Ia lalu mengayam sebuah keranjang rotan kecil yang cocok untuk luka dipunggungnya, yang digantungnya dengan tali-tali rotan tipis.

Walaupun begitu keadaan lukanya, namun tidak pula menghambat perjuangan Imum Sabi bersama Teuku Cut Ali dan Teuku Nago untuk melawan Belanda. Sampai beliau kemudian menemui syahid di pedalaman hutan Alu Burang bersama Teuku Cut Ali dan Teuku Nago, setelah berperang dengan pasukan Belanda yang dipimpin kapten Gosenson pada tanggal 25 Mei 1927.

Teuku Cut Ali

Teuku Cut Ali diperkirakan lahir pada tahun 1885, menurut riwayat beliau berasal dari daerah Trumon (berdasarkan catatan Zentgraaff ). Ketika melakukan perlawanan di tahun 1926 diperkirakan beliau berumur sekitar 41 tahun. Dan ketika syahid di pedalaman hutan Alu Burang, usia Teuku Cut Ali sekitar 42 tahun. Seperti yang telah disebutkan diatas, Teuku Cut Ali dan Teuku Raja Angkasah adalah panglima perang dan rekan seperjuangan dari Teuku Ben Mahmud Blangpidie yang pada akhir perjuangan nya dibuang ke Ambon. Selain Teuku Cut Ali dan Teuku Raja Angkasah. Teuku Peukan Manggeng, Sidi Rajab dan Haji Yahya adalah rekan seperjuangan dari Teuku Ben Mahmud juga, bedanya Teuku Peukan Manggeng dan kedua temannya tersebut berjuang di daerah Barat Daya dan sekitarnya. Teuku Cut Ali pernah juga berdamai bersama Teuku Ben Mahmud pada tahun 1908.

Pada waktu kapten Veltman pindah dari Tapak Tuan, Teuku Cut Ali pulang ke Trumon. Tetapi nasib buruk menimpa dirinya. Pada suatu hari, Teuku Cut Ali diberi malu oleh uleebalang yang diangkat Belanda dihadapan umum mengenai suatu hal yang pernah dilakukannya dua puluh tahun yang lalu. Akibatnya dia pun mulai memberontak dan angkat senjata lagi. Maka bersahabatlah dia dengan Teuku Maulod dan setelah gugur Teuku Maulod akibat peluru anggota pasukan kapten Snell tanggal 20 Maret 1926 di kampung Krueng Batee, Teuku Cut Ali menjadi pemimpin perlawanan yang bersemangat.

Pada tanggal 7 Maret 1926 brigade divisi 4 dan 5 dengan kekuatan yang sangat besar bergerak ke Trumon. Pasukan ini dipimpin oleh kapten Snell, yang selanjutnya membagi pasukannya menjadi beberapa patroli. Patroli yang dipimpin oleh letnan A.K.V. Heerde memergoki pasukan Teuku Cut Ali di Alue Laton di pucok Bakongan, dalam pertempuran tersebut letnan Heerde mendapat tetakan dan luka di lututnya tetapi berhasil diselamatkan oleh sersan marsose Kaligis. Sedangkan satu orang marsose tewas. Sementara itu 5 keraben yang hilang berhasil direbut kembali. Di pihak Aceh 6 orang gugur sebagai syuhada. Pada waktu itu Teuku Cut Ali sakit dan harus mendapatkan perawatan di Krueng Batee selama beberapa waktu, sementara pasukannya kembali ke Trumon.

Beberapa hari kemudian tepatnya pada tanggal 15 April 1926, pasukan Teuku Cut Ali menyerang brigade marsose yang dipimpin oleh sersan Pontoh di Ujong Pulo Rayek. Dalam serangan tersebut 4 orang marsose mengalami luka parah dan 4 orang lainnya luka ringan. Sedangkan dipihak pejuang Aceh 11 orang gugur menjadi syuhada. Pada tanggal 18 Mei 1926 pasukan Teuku Cut Ali kembali melakukan penyerangan terhadap pasukan marsose Belanda yang dipimpin oleh letnan H.J.M. Klaar di kampung Leumbang. Dalam pertempuran tersebut letnan Klaar hampir tewas disabet kelawang pasukan Teuku Cut Ali, tetapi untungnya berhasil diselamatkan oleh marsose Sarewating. Dipihak Belanda tewas 2 orang dan 7 orang mengalami luka parah, sedangkan di pihak pejuang Aceh 6 orang gugur sebagai kusuma bangsa.

Dalam merekrut para pejuang, Teuku Cut Ali tidak hanya memilih pejuang yang muda-muda saja yang masih berdarah perang saja, tetapi juga merekrut para pejuang yang berpengalaman tempur walaupun sudah setengah baya. Suatu undang-undang yang tidak tertulis menentukan, bahwa seorang tokoh yang membentuk kelompok perjuangan harus melakukan percobaan dan seleksi agar memperoleh hasil yang memuaskan. Cut Ali tidak menginginkan pejuang amatir yang kali ini ikut bertempur tetapi lain kali memihak kompeni Belanda. Perjuangan dijalan Allah adalah sesuatu yang indah sekali, untuk mereka yang syahid akan memperoleh surga dan kehormatan yang tinggi sekali serta bidadari yang menunggu di pintu surga. Penduduk kampung yang tidak ikut bertempur juga turut membantu pasukan Teuku Cut Ali dengan memberikan bantuan sumbangan uang dan makanan. Ketika seseorang sudah menyatakan siap bertempur melawan Belanda maka dia harus memutuskan segala hubungannya dengan urusan keduniawian. Pada bulan Mei dan Juni 1926 banyak rakyat yang turut bergabung dengan perlawanan Teuku Cut Ali, meskipun setelah Teuku Cut Ali syahid, lebih-lebih para pemuda yang memiliki semangat tempur yang menyala. Dimana-mana selalu ada sekelompok pemuda yang bersenjatakan pedang dan kelewang menghadang brigade tentara Belanda. Menurut Zeentgraaff, Cut Ali adalah salah satu pahlawan yang dikagumi oleh pihak Belanda. Bahkan menurut sebuah kisah ada seorang kapten marsose Belanda yang mendirikan bivak di Ladang Rimba, begitu kecut dan takut setelah mendengar nama Cut Ali. Kapten yang pengecut itu tidak pernah melakukan patroli, bahkan untuk melindungi dirinya sang kapten membuat pagar berlapis tiga dengan barisan ranjau. Yang menjadi kenangan buruk bagi pihak Belanda.

Cut Ali menulis surat kepada sang kapten dan menantangnya supaya keluar dari bivak untuk berkelahi, surat-surat tersebut berulang kali dikirimkan dan sangat memalukan pihak Belanda. Seorang tentara marsose yang bernama Patilapessy pernah terlibat perkelahian satu lawan satu dengan pengikut Cut Ali. Tentara marsose tersebut mengayunkan pedangnya ke tubuh anggota pasukan Cut Ali. Tetapi dia kemudian tercengang dan terkejut karena pedang atau kelewang yang di ayunkannya tidak dapat melukai dan menembus tubuh pejuang tersebut.

Ketika letnan Molenaar tewas di Teurbangan akibat serangan pejuang yang dipimpin oleh Teuku Nago. Kapten Bahrens pun kembali ke pangkalannya dengan mengangkut mayat letnan Molenaar, maka tiba-tiba datang kepadanya seorang penduduk membawa surat Cut Ali yang didalamnya dikatakan oleh Teuku Cut Ali “saya berada disini bersama 80 orang, jika tuan tidak datang dengan paling sedikit 120 orang pasukan, lebih baik tuan tinggal dirumah saja” begitulah kira-kira isi surat itu. Pasukan Belanda nampaknya kurang senang dengan kapten Bahrens, dan Bahrens pun tidak menanggapi undangan tersebut.

Pada bulan Mei 1926, kapten Gosenson ditugaskan ke Bakongan dan ditempatkan kedalam pasukan yang dipimpin oleh kapten Bahrens yang juga menjabat sebagai komandan marsose Belanda di wilayah Kluet, Trumon di bagian selatan daerah Aceh. Kapten Gosenson kemudian berangkat ke Trumon dalam waktu yang cepat dia berhasil mendesak pasukan Teuku Cut Ali disana, selanjutnya Teuku Cut Ali dan sebagian pasukannya hijrah ke pedalaman Alu Burang yang ada di Kluet timur. Kapten Gosenson mendapatkan bantuan dari seorang penduduk yang berkhianat. Meskipun banyak pengikutnya yang menjadi syuhada ataupun ditangkap oleh Belanda. Namun Teuku Cut Ali tidak berkurang semangatnya didalam menggempur dan menyerang pasukan Belanda.

Penghujung bulan Mei kapten Gosenson memperoleh informasi dari mata-mata yang dikirimnya ke daerah Kandang Kluet utara. Seorang lelaki yang sedang menebang kayu di Kandang telah melihat sekelompok kecil orang-orang Aceh. Berita itu disampaikan nya jam 10 malam dan pada malam itu juga kapten Gosenson berangkat kedaerah itu sebelum jejak mereka hilang ( daerah yang dimaksudkan adalah Alu Burang ). Dini hari pasukan marsose telah berada di tempat orang melihat pasukan Teuku Cut Ali untuk terakhir kali, hujan yang sangat lebat baru saja turun dan Gosenson memerintahkan orang-orangnya supaya mereka meju secara perlahan-lahan, dengan harapan akan menemukan jejak atau petunjuk.

Dengan memberikan isyarat seraya meneliti jejak-jejak pada bahagian atas dan bawah alur-alur yang didalamnya masih terdapat bekas-bekas telapak kaki yang mulai memudar. Rupanya pasukan Teuku Cut Ali mencoba menyembunyikan jejak-jejak mereka yang sebenarnya dengan memalsukan jejak kaki dengan mendaki dan menuruni bukit-bukit, tetapi usaha ini tidak berhasil karena dijumpai lagi jejak dekat alur. Jejak-jejak itu berasal dari pasukan Teuku Cut Ali yang sengaja mereka tinggalkan untuk mencari perbekalan.

Jejak-jejak tersebut terus diikuti dan pada jam 12 tengah hari dijumpailah di dalam hutan sebuah pondok tempat perhentian ( istrirahat ) pasukan Teuku Cut Ali. Pasukan marsose sangat gembira, terutama karena bekas-bekasnya masih baru sekali. Itu berarti pasukan Teuku Cut Ali belum berapa jauh meninggalkan tempat itu. Sorenya dijumpai lagi tempat perhentian seperti itu dan pengejaran terus dilakukan sampai malam hari, marsose kemudian membuat bivak dibawah beberapa helai tenda. Kepada anggota pasukan, kapten Gosenson mengizinkan untuk memasak sedikit karena malam gelap sekali sehingga tidak akan terlihat kepulan asapnya di udara.

Keesokan harinya pengejaran dilanjutkan kembali dan lebih jauh lagi memasuki pedalam hutan. Tiba-tiba dari semak-semak sebuah ketinggian terlihatlah kebawah sebuah pemandangan indah tempat mengalir dua buah alur bersama dua buah pondok darurat. Untuk sampai kesana harus didaki lagi sebuah bukit yang curam, tetapi untuk ini harus ditunda sebentar sampai Gosenson menceritakan kepada anggota pasukannya secara terperinci tentang penyelesaian rencana selanjutnya.

Dengan hati-hati sekali diteliti semak-semak untuk mengetahui keadaan di pondok itu, dalam sebuah pondok terdapat seorang laki-laki dan wanita, dalam pondok lain tidak terlihat apa-apa. Cepat-cepat pasukan marsose menuruni lereng bukit, sehingga pada kedua sisi pondok tersebut terdapat beberapa orang marsose. Waktu menurun, sebuah batu terlepas dari tanah dan jatuh kedalam alur. Pada saat itu lah lelaki yang berada didalam pondok itu terkejut, dan segeralah pasukan marsose maju seraya melepaskan tembakan ke pasukan Teuku Cut Ali yang dapat dilihat. Kejadian itu hanya berlangsung dalam beberapa menit saja.

Kapten Gosenson turun kedalam alur untuk melihat kalau-kalau masih ada pasukan Teuku Cut Ali disana. Tanpa melihatnya, Gosenson melontasi seorang lawan yang menderita luka parah sedang bersembunyi dibelakang sebatang pohon kayu. Anggota pasukan Teuku Cut Ali yang terluka itu melihat sang perwira dan segera ia mengenal sebuah luka parut yang besar melintang dimukanya. Akan tetapi ketika ia akan mengayunkan kelewang dengan menggunakan semua tenaga terakhir yang ada padanya, seorang marsose berteriak kepada Gosenson: “ Tuan, awas ada orang dibelakang!” penyerang yang mengayunkan kelewangnya kearah Gosenson tersungkur ketanah dengan sebuah tembakan didadanya.

Setelah itu selesailah penyerangan itu: enam mayat terbaring ditanah, diantaranya dua wanita yang diangkat dari dalam air kedarat. Kapten Gosenson yakin diantara mayat itu ada mayat Teuku Cut Ali, apalagi diantara yang syahid itu terdapat Imum Sabi yang masih juga menggantungkan keranjang rotan kecil pada lobang luka dibelakangnya. Disamping itu pada tubuhnya didapati “ rencong pusaka”. Rencong itu besar bentuknya dan memakai gagang khusus. Juga terdapat mayat seorang lelaki yang diperkirakan sebagai Teuku Nago. Kedua wanita yang tewas itu diantara nya adalah istri Teuku Cut Ali yang bernama Fatimah dan seorang pembantunya. Disamping mayat-mayat itu bertengger seekor ayam betina dan seekor beruk kecil, binatang-binatang itu merupakan benda-benda bertuah milik Teuku Cut Ali dan istrinya.

Setelah itu pasukan marsose segera kembali kesalah satu kampung yang terdekat dengan membawa semua senjata milik pasukan Teuku Cut Ali yang syahid. Anggota-anggota marsose menangkap ayam dan membiarkan beruk yang berdiri didekat sebatang kayu. Tetapi beberapa menit kemudian binatang itu menghilang mencari kembali mayat tuannya. Senjata-senjata yang dibawa oleh pasukan marsose, diperlihatkan kepada penduduk kampung terdekat yang dicapai pada keesokan harinya dan setiap penduduk menerangkan, bahwa diantara senjata itu terdapat milik Teuku Cut Ali. Kapten Gosenson belum lagi senang dengan pernyataan ini. Penduduk kampung Kluet dan Meungamat yang semuanya berjumblah 110 orang diperintahkannya untuk pergi ketempat terjadinya pertempuran itu untuk mengenali mayat-mayat dan kemudian menguburkannya.

Begitulah lebih kurang 100 orang penduduk menuju ketempat itu. Dan lagi-lagi diperlukan sehari lamanya untuk sampai kesana, ditempat itu kemudian marsose mendirikan bivak. Lalu mengangkut mayat Teuku Cut Ali, diatas mayat itu bertengger seekor beruk kecil. Binatang ini pun kemudian dibawa kekampung dan diserahkan kepada pasukan marsose yang memperoleh ayam. Menurut cerita, kapten Gosenson kemudian memenggal kepala Teuku Cut Ali dan mengarak nya keliling kampung. Selanjutnya kepala Teuku Cut Ali dimakamkan di tepi sungai Kandang desa Suak Bakong Kandang Kluet Selatan. Begitulah Teuku Cut Ali gugur sebagai seorang yang syahid tanggal 25 Mei 1927. tubuh Teuku Cut Ali dimakam kan langsung di Alu Burang, sesuai dengan pengertian orang Aceh yang terhadap seorang yang syahid. Pasukan marsose dan penduduk menggali kuburan dan menulis nama Teuku Cut Ali pad batu nisannya ( pada batu nisan itu tertulis: “ Tjoet Ali gesneuveld 25 Mei 1927= Cut Ali tewas tanggal 25 Mei 1927 ).

Dalam pikiran orang-orang Aceh yang melihat pusara itu, pastilah timbul sesuatu yang tidak menyenangkan bagi pihak Belanda. Pusara itu tidak akan menjadi penghalang bagi pejuang Aceh untuk memulai lagi pertempuran esok harinya. Namun keadaan itu telah memberi pengalaman, bahwa kaphe Belanda bersama Marsose-marsosenya mengetahui apa yang menjadi hak seseorang yang mati syahid. Dan kompeni selalu ada dimana-mana.

Syahidnya Teuku Cut Ali dirimba Alu Burang tidak menyurutkan semangat pejuang Aceh yang lain untuk terus melakukan serangan terhadap pos atau bivak marsose Belanda yang ada diseluruh Aceh Selatan. Seperti pada Pada tanggal 11 Juni 1927 sisa pasukan Teuku Cut Ali menyerang bivak yang ada di Ladang Rimba. Hal ini membuktikan bahwa perlawanan terhadap marsose Belanda di pesisir pantai selatan tidak pernah mengendur. Pada tanggal 12 Juli 1927 pasukan Teuku Cut Ali kembali menyerang patroli marsose Belanda yang dipimpin oleh letnan P.W.O. Screuders di dekat kampung Ie Mirah, dalam penyerangan tersebut 1 orang pasukan marsose tewas dan 3 orang luka parah. Sedangkan di pihak pejuang Aceh, 9 orang gugur sebagai syuhada. Begitulah pasukan Teuku Cut Ali tidak jera-jera terus menyerang tentara marsose Belanda, sampai mereka angkat kaki dari tanah Serambi Mekkah ini. Dan hingga sekarangpun orang-orang yang kini sudah lanjut usianya masih menceritakan kisah Teuku Cut Ali dengan perasaan penuh hormat.

Sekarang Teuku Cut Ali beristirahat untuk selama-lamanya di pedalaman Alu Burang. Dipucuk-pucuk pohon yang rindang berhembus angin dengan damai, menidurkan Teuku Cut Ali tenang dalam pelukan rimba Kluet tercinta. Tanpa terasa sekarang sudah 80 tahun lamanya Teuku Cut Ali gugur di pedalaman hutan Alue Burang, yang meninggalkan kesan indah dan menjadi kebanggaan masyarakat Aceh selatan

by : Lila Banguna dikutip dari ababil.org

Tidak ada komentar: