Minggu, 01 Agustus 2010

PEMIMPIN AMANAH & PEMIMPIN OPPORTUNIS

Memimpin menjadi dambaan sebagian besar orang. Namun, tidak jarang pula yang menolak untuk mengemban tugas sebagai pemimpin karena mengingat beratnya tanggung jawab dan berbagai beban lainnya. Banyak yang menghindari diri sebagai pemimpin karena posisi ini menjadi sumber fitnah, sarat dengan intrik dan hidup bergelimang tekanan. Namun, ada pula yang melihat posisi pemimpin sebagai sesuatu yang mulia bahkan disebutkan salah satu yang dijamin akan masuk surga adalah pemimpin yang adil.

Sebagian yang lain mengucapkan istigfar saat ditunjuk sebagai pemimpin karena melihat tugas ini adalah gerbang untuk menuju kehinaan apabila tidak mampu mengemban amanat secara baik. Menjadi pemimpin bagi mereka adalah musibah dan mereka harus mengrbankan kepentingan pribadi untuk orang banyak.

Mengapa sampai terjadi situasi paradoks seperti itu ? Setidaknya ada dua penjelasan mengapa orang bisa berbeda dalam menyikapi posisi pemimpin. Pertama mereka yang melihat pemimpin sebagai suatu amanah yang suatu saat harus dipertangungjawabkan kelak, dunia maupun akhirat. Mereka melihat pemimpin sebagai sebuah pengabdian yang konteks memberinya lebih besar daripada menerima, sehingga jiwa pengrobanan lebih menonjol disini. Kedua mereka yang melihat menjadi pemimpin adalah suatu kenikmatan, memperoleh posisi terhormat dan bergelimang kekayaan. Mereka melihat atau terobsesi untuk memperoleh segala hal sebanyak-banyaknya, mereka ingin mengambil return yang besar dibandigkan modalnya, ibarat pedagang mereka tidak mau rugi, jelas mereka tidak akan bersedia berkorban, bahkan jika perlu mereka tega mengorbankan orang lain. Jika mereka terlihat seperti berkorban, maka itu adalah bentuk pengorbanan yang manipulatif. Mereka adalah tipe pengambil kesempatan yang negatif dan destruktif.

Kedua perbedaan cara menyikapi tersebut mempengaruhi bagaimana mereka menjalankan peran sebagai pemimpin. Mereka yang tergolong dalam kelompok pertama akan menjalankan kepemimpinannya dengan mengedepankan moralitas dan nilai-nilai kemanusiaan yang luhur. Mereka adalah tergolong orang-orang idealis yang mendapatkan kebahagiaan apabila melihat pengikutnya bahagia. Mereka rela berkorban untuk kebaikan pengikutnya. Keberhasilan pengikut dan organisasi menjadi orientasi utama. Mereka melihat kepemimpinan lebih pada tugas dan tanggung jawab bukan posisi.

Berbeda dengan pemimpin golongan kedua. Mereka adalah orang-orang opportunistik bahkan munafik. Mereka melihat kepemimpinan sebagai posisi dan tidak peduli pada tugas dan tanggung jawab. Melihat kempemimpinan sebagai posisi yang membuat mereka gila hormat, kemaruk dan memanipulasi habis-habisan posisi dan jabatan untuk kepentingan diri, keluarga maupun kelompoknya. Mereka menafikan pengikut. Pengikut dianggap sebaga modal untuk meraih jabatan saja. Untuk ambisi kekuasaannya pengikut dieksploitasi sedemikian rupa. Diawali dengan janji-jani manis, kemudian dimanfaatkan dan setelah itu dieksploitasi, selanjutnya kalau perlu ditindas demi melanggenggkan kekuasaannya.

Pemimpin golongan pertama biasanya bukan orang yang terobsesi dengan posisi dan tidak mengejar jabatan. Kesediaannya untuk mengemban posisi sebagai pemimpin lebih karena amanah pengikutnya, mereka bersedia mengambil posisi tersebut karena dorongan banyak orang. Sedangkan golongan kedua, pemimpin opportunistik adalah mereka yang tergila-gila pada jabatan, terobsesi pada posisi dan memiliki ambisi terhadap kekuasaan.

Namun, sejarah menunjukkan bahwa pemimpin amanah akan terus dikenang dan menjadi sumber inspirasi banyak orang, mewariskan nilai-nilai luhur yang akan menjadi pedoman masyarakat. Kebalikannya, pemimpin golongan kedua yang opportunis, setelah periode kepemimpinannya akan banyak dihujat, dikucilkan oleh banyak orang, menjadi sumber penistaan, mereka hilang ditelan jaman dan kalaupun dikenang maka dikenang akan keburukan dan ketamakannnya serta menjadi contoh buruk yang harus dihindari.

Tidak ada komentar: