Tulisan ini sejatinya
terinspirasi dari tulisan CEO Telkom Bapak Arief Yahya tentang Paradox
Marketing. Beliau mengatakan bahwa menemukan paradoks itu seperti menemukan “absolute
truth.” Ini selaras dengan perilaku para filsuf dijaman dahulu dengan cara
mencari kebenaran hakiki dengan selalu mempertanyakan dan mempertentangkan. Bahkan
Nabiyullah, Nabi semua agama langit yaitu Ibrahim pun memulai keyakinannya
terhadap Allah Sang Maha Pencipta melalui pertanyaan-pertanyaan yang juga
mengandung unsur paradoks.
Lihatlah bagaimana metode Ibrahim
saat mencari Tuhan. Ia selalu mempertanyakan siapa Maha Pencipta dan Maha Kuasa
itu? Ia lihat matahari begitu perkasa apakah itu tuhan? Ternyata matahari pun
tenggelam. Kemudian dimalam hari bintang-bintang begitu perkasa apakah itu
tuhan? Ternyata bintang pun sirna dengan kemunculan siang. Demikian pula dengan
bulan, gunung, angin semuanya tiada abadi. Bukankah Maha Pencipta dan Maha
Kuasa itu seharusnya sesuatu yang abadi. Ibrahim pun melakukan pendekatan
paradoks saat ia menghancurkan semua patung-patung sesembahan masyarakat saat
itu dan menyisakan sebuah patung yang besar dengan mengalungkan kapak dileher
patung tersebut. Saat orang-orang bertanya siapa yang menghancurkan
patung-patung sesembahan tersebut? Dengan ringan Ibrahim menjawab silakan
tanyakan pada patung besar tersebut karena kapak ada dilehernya. Orang-orang
marah bagaimana sebuah patung dapat menggerakan sebuah kapak? Ibrahim menantang
logika kaumnya, jika sebuah patung tidak dapat menggerakan kapak bagaimana ia
bisa menggerakan yang lain dan tentunya ia tidak punya kekuasaan sehingga tidak
layak untuk disembah.
Karena sikap yang menantang kaum
dan rajanya, Ibrahim dihukum dan menghadapi situasi paradoks pula yang
ditunjukan oleh kekuasaan Allah. Nabi Ibrahim dihukum bakar dengan cara dibuang
tubuhnya kedalam api besar yang menyala.
Situasi paradoks atas ijin Allah terjadi api yang seharusnya panas menjadi
dingin saat menyentuh tubuh Ibrahim. Ibrahim selamat dengan kondisi paradoks.
Kisah pengorbanan anaknya Ismail
pun menggambarkan situasi paradoks yang dihadapi Ibrahim. Ibrahim sangat
mencintai Ismail yang kelahirannya lama ditunggu-tunggu. Namun setelah anak itu
hadir diperintahkan oleh Allah untuk menyembelihnya. Bagaimana kondisi Ibrahim
mendapat perintah untuk menyembelih anak yang sangat dicintainya, bukankah ini
pun kondisi yang paradoks, namun inilah ujian yang diberikan Allah kepada
Ibrahim dan putranya Ismail untuk mencapai derajat Insan dan Nabi yang mulia
melalui ujian yang bersifat paradoks.
Contoh diatas jelas
memperlihatkan bagaimana upaya untuk mencapai manusia yang unggul, insan yang
mulia kita selalu dihadapkan pada situasi yang paradoks. Kisah Nabi dan orang
besar lain pun selalu dihadapkan pada situasi paradoks. Lihatlah Bung Karno
saat memperjuangkan kemerdekaan Indonesia ia pun berhadapan dan melakukan suatu
tindakan paradoks. Indonesia disekitar tahun 1945 tidak memiliki kekuatan yang
cukup baik dari segi militer, persenjataan dan pasukan untuk memerdekan diri. Satu-satunya
yang dimiliki adalah semangat. Kekuatan militer Jepang saat itu sangat kuat
untuk mencegah upaya Indonesia memerdekakan diri. Demikian pula Belanda dengan
dukungan sekutu memiliki segalanya untuk menancapkan kembali kekuasaannya di
Indonesia. Tetapi ditengah kekosongan kekuasaan saat itu, Bung Karno dan Bung
Hatta memproklamasikan Kemerdekaan Indonesia. Inilah kekuatan paradoks.
Mandela tokoh pembebasan Afrika
menunjukan sikap paradoks pula dan kemudian ini mengangkat derajatnya sebagai
manusia yang mulia dan unggul. Ia disiksa, dibungkam, dipenjarakan oleh rezim
apartheid, namun ia tidak pernah menaruh dendam terhadap hal itu semua, ia
lebih memilih masa depan. Mandela dapat memaafkan perlakukan keji yang
diterimanya namun ia tidak melupakannya, tetap mengingatnya dalam konteks
positif yaitu untuk tidak mengulangi kembali kekejian tersebut dan membangun
masa depan yang lebih baik. Dalam berbagai versi terdapat pula kisah-kisah
paradoks pada orang-orang besar seperti Martin Luther King, Gandhi, Bunda
Theresa dan sebagainya.
Dalam buku Paradox marketing
disebutkan untuk mencapai satu tujuan terkadang kita harus melakukan cara-cara
yang tidak lazim, bahkan bersifat kontradiktif terhadap yang biasanya yang
dilakukannya. Paradoks itu berlawan tapi sebetulnya melengkapi. Seperti Ibrahim
yang menyintai Ismail tapi harus bersedia pula mengorbankannya. Paradoks membangun
keseimbangan seperti Ying dan Yang dalam filosofi China, berlawanan tapi
melengkapi dan menyeimbangkan.
Bukankah dalam kitab suci pun
disebutkan bahwa semua itu diciptakan berpasangan, hal ini juga menggambarkan
situasi paradoks bahwa perbedaan akan bisa saling melengkapi. Kekuatan justru
dihasilkan melalui perbedaan seperti kutub positif dan negatif. Perbedaan yang
saling melengkapi akan menjadi suatu kekuatan.
Orang-orang unggul biasanya
melakukan hal-hal yang bersifat paradoks, seperti :
1. Melakukan
sesuatu yang diluar kebiasaan kaumnya.
2. Menggunakan
metoda yang berbeda.
3. Menantang
logika.
4. Tidak
selalu berpikir linier.
5. Memulai
dari akhir.