Senin, 02 Agustus 2010

MANUSIA MAKHLUK PALING PERUSAK

Sebagaimana yang diinformasikan oleh berbagai kitab suci utamanya Al Quran disebutkan bahwa manusia selain diberi kepercayaan sebagai pemimpin di dunia, manusia juga disebut sebagai makhluk paling perusak. Bahkan malaikat mempertanyakan sendiri kepada ALLAH tentang penciptaan manusia yang diketahui sebagai makhluk yang suka menumpahkan darah. Namun, ALLAH mengatakan bahwa Ia Sang Maha Tahu, sehingga malaikat sebagai makhluk yang tunduk pada perintah ALLAH menerima ketetapanNYA untuk menciptakan manusia.

Meskipun dikenal sebagai makhluk perusak, kita percaya bahwa Sang Maha Pencipta memiliki alasan yang kuat mengapa manusia diciptakan. Manusia mendapat tugas mulia sebagai pemimpin di alam ini. Kemampuan akal dan nurani merupakan modal yang paling membedakan manusia dengan makhluk lainnya. Manusia juga adalah makhluk yang berbudaya yang mampu membangun peradaban dimana makhluk lainnya tidak mampu melakukan apa yang telah dicapai manusia.

Namun, meskipun manusia memiliki posisi mulia sebagai pemimpin di alam ini, layak pula kita cermati kekuatiran malaikat terhadap perilaku buruk manusia, diantaranya kesenangan untuk menumpahkan darah. Disamping kecenderungannya untuk melakukan perusakan manusia memiliki sejumlah perilaku buruk lainnya.

Dari sumber Kompas.com disebutkan 9 kebiasaan paling buruk yang dimiliki manusia. Dibandingkan dengan makhluk hidup lainnya, sebagai manusia kita memiliki banyak perilaku buruk yang bersifat merusak terhadap diri sendiri dan orang lain. Kita bersikap tidak jujur, curang dan mencuri, kita juga merajah tubuh sendiri, kita membiarkan stres menguasai dan menimbulkan penyakit secara perlahan. Dunia ilmiah mencoba membuktikan mengapa spesies yang begitu cerdas ini bisa memiliki sikap merusak diri sendiri.

1. Gosip
Mengapa kita begitu suka dengan gosip dan rumor? Karena kita berevolusi sedemikian rupa untuk menghakimi dan membicarakan orang lain, meskipun itu menyakiti mereka. Demikian menurut analisa para peneliti.

Robin Dunbar, primitologi dari Oxford menjelaskan, "Babon laki-laki menjaga hubungan satu sama lain agar hubungan itu tetap terjaga. Tapi kita manusia lebih berkembang, sehingga kita menggunakan gosip sebagai perekat sosial. Keduanya merupakan perilaku yang dipelajari.

Gosip menyebabkan adanya batas-batas kelompok dan meningkatkan harga diri. Dalam banyak contoh, tujuan dari gosip bukan kebenaran atau akurasi. Yang penting adalah ikatan yang bergosip tetap terbina, meskipun sering dengan mengorbankan pihak ketiga.

"Ketika dua orang saling curhat ketidaksukaan mereka terhadap orang lain, gosip bisa membawa mereka menjadi lebih dekat," kata Jennifer Bosson, seorang profesor psikologi di Universitas South Florida.

2. Melakukan kebiasaan buruk
Manusia merupakan makhluk yang menyukai kebiasaan. Karena itu, sekali Anda melakukan kebiasaan buruk, bahkan yang paling beresiko sekalipun, sulit bagi Anda untuk menghentikannya. Tak heran jika para perokok atau orang yang gemar kebut-kebutan di jalan tak pernah jera.

"Ini bukan karena mereka tidak mendapat informasi bahwa kebiasaan buruk adalah risiko besar. Tapi lebih karena kita cenderung berpikir pendek dari pada jangka panjang," kata Cindy Jardine dari Universitas Alberta. Selain itu, menurut Jardine manusia memang dari sananya sudah menyukai tantangan.

Kebiasaan buruk juga kerap kali dijadikan alat untuk bergabung dengan kelompok sosial. Selain itu orang-orang cenderung untuk membenarkan kebiasaan buruk, tanpa melihat penelitian yang ada, seperti: "Nenek saya merokok sepanjang hidupnya dan hidup sampai 70". Padahal, kalau tidak merokok mungkin usia si nenek bisa lebih panjang lagi.

3. Kecanduan kekerasan
Kekerasan ternyata sudah ada sejak catatan sejarah mengenai manusia ada. Para ahli bahkan menyebutkan bahwa hasrat melakukan kekerasan sudah ada dalam gen dan mempengaruhi otak kita. Sebuah studi di tahun 2008 menyimpulkan bahwa manusia tampaknya kecanduan kekerasan, sama seperti mereka kecanduan seks, makanan, atau obat-obatan.

Hasil penelitian dalam Jurnal Psychopharmacology, menunjukkan pada sel otak tikus, bagian otak yang mengatur ganjaran (reward) juga bertanggung jawab pada kesenangan melakukan kekerasan. Diduga, pada otak manusia tak jauh berbeda. Banyak peneliti percaya bahwa kekerasan pada manusia adalah kecenderungan berkembang yang membantu dengan kelangsungan hidup.

4. Mencuri
Pencurian biasanya dimotivasi oleh kebutuhan. Tapi untuk kleptomania sensasi tindakan mencuri dapat memotivasi mereka untuk melakukan nya lagi. Dalam sebuah penelitian terhadap 43.000 orang ditemukan 11 persen mengakui telah mengutil setidaknya sekali.

Dalam sebuah penelitian pada tahun 2009, peserta diberikan placebo atau obat naltrexone - dikenal untuk mengekang kecenderungan kecanduan terhadap alkohol, narkoba dan perjudian. Naltrexone membatasi efek kebiasaan yang biasa disebut zat opiat endogen yang memicu rasa senang di otak ketika mencuri.

"Obat ini mengurangi dorongan untuk mencuri dan kebiasaan mencuri," kata Jon E.Grant dari Sekolah Kedokteran Minnesota dalam jurnal Biological Psychiatry.

Pencurian sendiri mungkin sudah ada dalam gen kita. Bahkan monyet melakukannya. Monyet Capuchin menggunakan alarm untuk memperingatkan sesama monyet untuk menghindari pemangsa. Tetapi beberapa mereka juga menggunakan alarm palsu untuk mencuri makanan yang ditinggalkan temannya yang melarikan diri.

5. Menipu
Walaupun kebanyakan orang akan mengatakan kejujuran adalah kebaikan, hampir satu dari lima orang di Amerika menganggap kecurangan pajak secara moral dapat diterima atau bukan masalah moral. Kecurangan menjadi perilaku etis dapat dibenarkan dalam situasi tertentu.

6. Berbohong
Tidak ada yang tahu pasti mengapa manusia suka berbohong, tetapi studi menemukan bahwa itu biasa, dan bahwa hal itu sering dikaitkan dengan faktor-faktor psikologis. "Ini terikat dengan harga diri," kata Robert Feldman, psikolog Universitas Massachusetts. "Kami menemukan ketika orang merasa bahwa dirinya terancam, mereka segera mulai berbohong pada tingkat yang lebih tinggi."

Feldman sendiri telah melakukan penelitian di mana 60 persen peserta setidaknya sekali berbohong selama 10 menit percakapan. Namun ternyata berbohong itu tidak mudah.
Sebuah studi menyimpulkan bahwa berbohong memerlukan waktu 30 persen lebih lama daripada mengatakan yang sebenarnya. Selain manusia, hewan juga dikenal mampu menipu, bahkan robot telah belajar untuk berbohong, dalam percobaan di mana mereka diberi penghargaan atau dihukum tergantung pada kinerja dalam kompetisi dengan robot lain.

7. Menggertak dan mengancam
Studi telah menemukan bahwa lebih dari setengah anak-anak SD pernah diancam dan diganggu (bully). Sebuah studi Eropa pada tahun 2009 menemukan bahwa anak-anak yang digertak di sekolah mungkin juga menggertak saudara mereka di rumah.

"Menurut penelitian kami tidak mungkin perilaku menggertak itu datang begitu saja, biasanya perilaku anak-anak berasal dari rumah. Misalnya bila suka menggertak saudaranya di rumah, kemungkinan perilaku ini juga akan dibawa dan dilakukan di sekolah," kata Ersilia Menesini dari Universitas Di Firenze, Italia.

Tapi menggertak tidak hanya berlaku di kalangan anak-anak. Sebuah studi menemukan hampir 30 persen pekerja kantor Amerika sering mengalami bully oleh atasan atau rekan kerja. Mulai dari pemotongan informasi penting untuk menyelesaikan pekerjaan atau penghinaan dengan tujuan lainnya. Dan sekali dimulai, akan cenderung menjadi lebih buruk.

"Secara definisi sikap menggertak itu seperti hal kecil yang kemudian menjadi besar. Ini adalah salah satu alasan mengapa begitu sulit untuk mencegahnya, karena biasanya dimulai dengan cara yang sangat kecil," kata Sarah Tracy, Direktur Proyek untuk kesehatan dan kehidupan kerja di universitas Arizona State.

8. Stress
Stres dapat mematikan, meningkatkan risiko gangguan jantung dan bahkan kanker. Stres dapat menyebabkan depresi, yang dapat menyebabkan bunuh diri. Tapi mengapa kita bisa stres sangat sulit untuk dijabarkan.

Berbagai penelitan menyebutkan, lingkungan kerja merupakan sumber stres utama bagi banyak orang, demikian untuk anak-anak. Data Organisasi Buruh Internasional (ILO) menyebutkan lebih dari 600 juta orang di seluruh dunia bekerja 48 jam setiap minggu, termasuk jam kerja di akhir pekan. Di tambah lagi, perkembangan teknologi dan internet yang semakin garis batas antara pekerjaan dan waktu luang. Bahkan menurut sebuah studi baru-baru ini sekitar setengah penduduk Amerika membawa pulang pekerjaan mereka.

Selain pekerjaan, menjadi orangtua juga kerap menimbulkan stres tersendiri. "Di usia pertengahan, seseorang merasa terbebani oleh tanggung jawabnya pada pekerjaan, keluarga dan anak-anak," kata Gwenith Fisher, psikolog. Ahli kesehatan menyarankan olahraga dan tidur yang cukup adalah dua cara terbaik untuk mengurangi stress.

9. Berjudi
Judi juga, tampaknya ada pada gen kita dan terprogram ke dalam otak kita, sehingga menjelaskan mengapa perilaku itu menjadi umum dan bersifat menghancurkan. Bahkan, monyet pun suka berjudi.

Sebuah studi yang diterbitkan dalam jurnal Neuron tahun lalu menemukan bahwa keinginan menang membangkitkan keinginan berjudi dalam otak. "Penjudi sering menafsirkan hampir menang sebagi tolak ukur yang mendorong mereka untuk terus berjudi," kata Luke Clark dari Universitas Cambridge.

"Temuan kami menunjukkan bahwa otak merespon rasa hampir menang sebagai keinginan untuk menang meskipun kenyataannya mereka tidak pernah menang," katanya. Penelitian tahun lalu menemukan apabila penjudi kalah mereka tidak akan berpikir secara rasional. Mereka justru akan mengubah permainan dan bertaruh lebih tinggi.

Minggu, 01 Agustus 2010

PEMIMPIN AMANAH & PEMIMPIN OPPORTUNIS

Memimpin menjadi dambaan sebagian besar orang. Namun, tidak jarang pula yang menolak untuk mengemban tugas sebagai pemimpin karena mengingat beratnya tanggung jawab dan berbagai beban lainnya. Banyak yang menghindari diri sebagai pemimpin karena posisi ini menjadi sumber fitnah, sarat dengan intrik dan hidup bergelimang tekanan. Namun, ada pula yang melihat posisi pemimpin sebagai sesuatu yang mulia bahkan disebutkan salah satu yang dijamin akan masuk surga adalah pemimpin yang adil.

Sebagian yang lain mengucapkan istigfar saat ditunjuk sebagai pemimpin karena melihat tugas ini adalah gerbang untuk menuju kehinaan apabila tidak mampu mengemban amanat secara baik. Menjadi pemimpin bagi mereka adalah musibah dan mereka harus mengrbankan kepentingan pribadi untuk orang banyak.

Mengapa sampai terjadi situasi paradoks seperti itu ? Setidaknya ada dua penjelasan mengapa orang bisa berbeda dalam menyikapi posisi pemimpin. Pertama mereka yang melihat pemimpin sebagai suatu amanah yang suatu saat harus dipertangungjawabkan kelak, dunia maupun akhirat. Mereka melihat pemimpin sebagai sebuah pengabdian yang konteks memberinya lebih besar daripada menerima, sehingga jiwa pengrobanan lebih menonjol disini. Kedua mereka yang melihat menjadi pemimpin adalah suatu kenikmatan, memperoleh posisi terhormat dan bergelimang kekayaan. Mereka melihat atau terobsesi untuk memperoleh segala hal sebanyak-banyaknya, mereka ingin mengambil return yang besar dibandigkan modalnya, ibarat pedagang mereka tidak mau rugi, jelas mereka tidak akan bersedia berkorban, bahkan jika perlu mereka tega mengorbankan orang lain. Jika mereka terlihat seperti berkorban, maka itu adalah bentuk pengorbanan yang manipulatif. Mereka adalah tipe pengambil kesempatan yang negatif dan destruktif.

Kedua perbedaan cara menyikapi tersebut mempengaruhi bagaimana mereka menjalankan peran sebagai pemimpin. Mereka yang tergolong dalam kelompok pertama akan menjalankan kepemimpinannya dengan mengedepankan moralitas dan nilai-nilai kemanusiaan yang luhur. Mereka adalah tergolong orang-orang idealis yang mendapatkan kebahagiaan apabila melihat pengikutnya bahagia. Mereka rela berkorban untuk kebaikan pengikutnya. Keberhasilan pengikut dan organisasi menjadi orientasi utama. Mereka melihat kepemimpinan lebih pada tugas dan tanggung jawab bukan posisi.

Berbeda dengan pemimpin golongan kedua. Mereka adalah orang-orang opportunistik bahkan munafik. Mereka melihat kepemimpinan sebagai posisi dan tidak peduli pada tugas dan tanggung jawab. Melihat kempemimpinan sebagai posisi yang membuat mereka gila hormat, kemaruk dan memanipulasi habis-habisan posisi dan jabatan untuk kepentingan diri, keluarga maupun kelompoknya. Mereka menafikan pengikut. Pengikut dianggap sebaga modal untuk meraih jabatan saja. Untuk ambisi kekuasaannya pengikut dieksploitasi sedemikian rupa. Diawali dengan janji-jani manis, kemudian dimanfaatkan dan setelah itu dieksploitasi, selanjutnya kalau perlu ditindas demi melanggenggkan kekuasaannya.

Pemimpin golongan pertama biasanya bukan orang yang terobsesi dengan posisi dan tidak mengejar jabatan. Kesediaannya untuk mengemban posisi sebagai pemimpin lebih karena amanah pengikutnya, mereka bersedia mengambil posisi tersebut karena dorongan banyak orang. Sedangkan golongan kedua, pemimpin opportunistik adalah mereka yang tergila-gila pada jabatan, terobsesi pada posisi dan memiliki ambisi terhadap kekuasaan.

Namun, sejarah menunjukkan bahwa pemimpin amanah akan terus dikenang dan menjadi sumber inspirasi banyak orang, mewariskan nilai-nilai luhur yang akan menjadi pedoman masyarakat. Kebalikannya, pemimpin golongan kedua yang opportunis, setelah periode kepemimpinannya akan banyak dihujat, dikucilkan oleh banyak orang, menjadi sumber penistaan, mereka hilang ditelan jaman dan kalaupun dikenang maka dikenang akan keburukan dan ketamakannnya serta menjadi contoh buruk yang harus dihindari.