Minggu, 28 Februari 2010

KEMAMPUAN ADAPTASI, ADJUSTMENT PEMIMPIN DAN EKSISNYA SEBUAH BANGSA (KASUS BANGSA KHAZAR)

Tulisan ini dibuat terinspirasi dari sebuah artikel di Harian Kompas Minggu 28 Februari 2010 tentang Bangsa yang Hilang. Dalam tulisan itu disebut Prof. Milorad Pavic. Profesor sejarah kesusastraan Universitas Beograd dan juga seorang penyair kenamaan Yugoslavia, menghadirkan kembali sebuah ingatan tentang hilangnya sebuah bangsa yang besar, yaitu bangsa Khazar. Ia melakukan berbagai penelitian dengan merujuk berbagai sumber tentang perseteruan dan konflik yang menimpa bangsa tersebut. Tulisan beliau berbaur dengan kisah fiksi dan terangkai dalam format sebuah novel, namun tetap mampu menampilkan sebuah kisah yang berangkat dari fakta sejarah tentang hilangnya sebuah bangsa yang pernah memiliki sejarah yang gemilang. Tulisan ini memberikan gambaran bagaimana pentingnya kemampuan adaptasi dan adjustment pemimpin untuk mempertahankan eksistensi sebuah bangsa.

Jika kita menilik sejarah berbagai bangsa besar dunia katakanlah Mesir Kuno, Romawi, India, China maupun kerajaan besar yang ada di Suku Indian sebagian besar musnah bukan karena agresi pihak luar, tetapi kemusnahan mereka lebih karena konflik dan perseteruan yang terjadi di internal mereka sendiri dan juga ditandai oleh kemampuan yang lemah dalam menyesuaikan diri terhadap perkembangan jaman, lemahnya kemampuan mereka untuk beradaptasi dan yang terpenting rendahnya kemampuan adjustment para pemimpin mereka.

Sekilas gambaran tentang bangsa Khazar, dalam bahasa Turki Kuno Khazar berarti pengembara. Pada abad ke-7 mereka mendirikan sebuah kerajaan yang bernama Khaganat, sebuah kerajaan yang mandiri di Kaukasus Utara disepanjang Laut Kaspia. Pada masa kejayaan mereka menguasai sampai dengan Rusia Selatan, Kazakhstan, Ukraina dan sebagian besar Kaukasus seperti Dagestan, Azerbaijan dan Georgia serta daerah Krim. Catatan sejarah menyebutkan bahwa Bangsa Khazar pernah bersekutu dengan Bizantium untuk memerangi Bangsa Arab pada tahun 627 M. Keruntuhan Khazar selain dari berbagai konflik dan perseteruan internal, juga munculnya kerpercayaan/agama baru yang berkembang di masyarakat mereka yang kemudian tidak mampu diantisipasi oleh penguasa Khazar. Penguasa Khazar tidak mampu melakukan adjustment dan beradaptasi dengan perkembangan baru, bertindak konservatif dengan mempertahankan nilai-nilai lama yang tidak relevan. Gong kejatuhan Khazar ditandai dengan penaklukan oleh seorang Panglima Perang Rusia pada abad 10, yaitu Pangeran Svyatoslav, yang disebutkan menelan Imperium Khazar layaknya melahap sebuah apel tanpa perlu turun dari kudanya. Namun sesungguhnya, tindakan Pangeran Rusia ini dilakukan saat Imperium Khazar dalam keadaan lemah, tanpa daya oleh konflik internal dan lemahnya kemampuan adjustment para pemimpin mereka.

Beberapa bangsa yang senasib dengan Khazar memperlihatkan hal yang sama, pemimpin yang rendah daya adjustment dan kelemahan mereka beradaptasi sehingga membuat diri mereka runtuh, seperti Inca (1438-1533) di Peru, Aztek di Meksiko sekitar abad 12. Hal ini terjadi juga pada bangsa Mohenjodaro, Harappa dan Arya yang hidup di lembah Sungai Hindus Pakistan pada tahun 2000-1000 SM. Termasuk juga disini kerajaan-kerajaan besar di nusantara dimasa lalu seperti Sriwijaya, Majapahit, Aceh, Goa, Demak. Keruntuhan kerajaan tersebut selain karena konflik, perseteruan internal, lemahnya kemampuan adaptasi, banyaknya bencana alam dan lemahnya daya adjustment para pemimpin mereka.

Terkait dengan kemampuan adjustmen, adaptasi dan bertahannya (survive) sebuah komunitas, kita teringat dengan Teori Evolusi dari Charles Darwin yang menyebutkan bukanlah yang paling kuat yang akan mampu bertahan, tetapi mereka yang memiliki kemampuan adaptasi yang baiklah yang akan mampu bertahan. Dalam bahasa Teori Evolusi disebukan adaptasi sebagai “any structural or behavioural change that has survival value.”

Teori evolusi menyebutkan bahwa adaptasi sangat terkait dengan kemampuan untuk merubah struktural atau perilaku agar mampu untuk bertahan. Jatuhnya Khazar atau kerajaan maupun bangsa besar lainnya jelas karena ketidamampuan mereka untuk merubah struktur dan perilakunya dalam mengikuti perkembangan yang ada.

Arthur S. Reber dan Emily S. Reber mengatakan bahwa kemampuan adaptasi ini sebagai “a shift in sociological or cultural disposition. Thus, one is said to adapt to new environment.” Dalam pemahaman Reber jelas disebutkan bahwa adaptasi adalah kemampuan yang berkaitan dengan penyesuaian secara sosial maupun budaya terhadap perubahan lingkungan (lingkungan baru).

Runtuhnya berbagai kerajaan dan bangsa besar tersebut disebabkan secara sosial maupun budaya mereka tidak mau berubah, padahal di lingkungan telah terjadi perubahan yang massif. Mereka bertahan dengan nilai-nilai lamanya yang telah kuno dan usang dengan perkembangan jaman. Secara sosial-budaya pula mereka menghancurkan dirinya sendiri. Jika pun ada penakluk eksternal, mereka hanya melakukan penaklukan secara mudah, sebagaimana dilakukan Pangeran Svyatoslav dari Rusia yang menaklukan Bangsa Khazar dengan perumpamaan bagaikan melahap sebuah apel tanpa perlu turun dari kudanya.

Pemahaman tentang adaptasi secara spesifik dapat kita kutip dari pendapat seorang sosiolog, yaitu Prof. Dr. Soerjono Soekanto, S.H, M.A., yang menyebutkan pengertian adaptasi sebagai berikut :

1. Proses mengatasi halangan-halangan dari lingkungan.
2. Memanfaatkan sumber-sumber yang terbatas untuk kepentingan lingkungan dan sistem.
3. Proses perubahan untuk menyesuaikan dengan situasi yang berubah.
4. Penyeseuaian dari kelompok terhadap lingkungan.
5. Penyesuaian pribadi terhadap lingkungan.
6. Penyesuaian biologis atau budaya sebagai hasil seleksi alamiah.

Menurut Prof. Dr. Soerjono Soekanto, S.H, M.A adaptasi terkait erat dengan adjustment yang lebih kearah upaya untuk menyepadankan antara kondisi internal dengan eksternal. Prof. Soerjono menyebutkan pengertian adjustment sebagai berikut :

1. Mengubah agar sesuai dengan kondisi yang diciptakan.
2. Perubahan dalam suatu sistem sebagai tanggapan terjadinya perubahan lain dalam sistem yang sama.
3. Penyesuaian individual terhadap lingkungan sosial.
4. Penyesuaian individual untuk menyalurkan ketegangan.
5. Penyesuaian individual terhadap norma-norma yang ada.

Jika adaptasi lebih cenderung pada kemampuan sosial kelompok maka adjustment lebih condong pada kemampuan penyesuaian indvidual. Dalam sebuah masyarakat, adjustment terkait dengan kemampuan pemimpinnya. Kegagalan adjusment pemimpin pada kelompok akan mempengaruhi pula daya adaptasi kelompok tersebut terhadap perubahan lingkungan.

Menilik sejarah bangsa-bangsa dan kerajaan besar yang runtuh tersebuh tidak berlebihan jika kita mengatakan akibat lemahnya daya adaptasi bangsa tersebut dan terutama pula disebabkan oleh rendahnya kemampuan adjustmen para pemimpin mereka.

Bukankah sebuah bangsa yang besar juga karena ada pemimpin yang besar, demikian pula sebaliknya bangsa yang runtuh disebabkan pula oleh ketidakberdayaan pemimpin-pemimpin mereka. Pemimpin yang rendah daya adjustment akan menumpulkan kemampuan adaptasi masyarakatnya dan menjadi sumber malapetaka kehancuran sebuah bangsa.

Mudah-mudahan pemimpin seperti itu tidak ada disekitar kita.

Sabtu, 20 Februari 2010

PEMIMPIN PARANOID

Pada blog ini sebelumnya penulis telah mengulas masalah yang terkait dengan paranoia atau paranoid. Mulai dari pengertian, sebab-sebabnya sampai dengan penanganannya. Namun, disamping individu paranoid cukup menarik pula untuk membahas tentang pemimpin paranoid. Sesungguhnya sejak jaman dahulu kala selain pemimpin megalomania (pernah pula dibahas diblog ini), pemimpin paranoid sering pula ditemukan.

Pemimpin paranoid ini awalnya adalah orang biasa seperti kebanyakan kita namun memiliki kepercayaan diri yang kuat, memiliki sumber-sumber untuk meraih kekuasaan dan memiliki akses untuk menduduki posisi tampuk kepemimpinan. Saat berkuasa dan kekuasaan mereka semakin menguat muncul sejumlah fenomena yang berkaitan dengan permasalahan psikologis, selain megalomania muncul pula gejala paranoid.

Kita menyaksikan banyak perang-perang besar terjadi karena perilaku keliru dari pemimpin termasuk perilaku paranoid. Bahkan sampai dengan era George W. Bush Jr pemimpin paranoid pun ada. Bukankah perilaku Bush sendiri menggambarkan tingkat paranoid yang parah? Dengan korban ribuan orang tidak berdosa menjadi contoh dampak negatif perilaku seorang pemimpin paranoid.

Pemimpin paranoid pada dasarnya adalah pemimpin yang memiliki kepribadian yang ditandai adanya sikap penuh curiga, sangat sensitif dan merasa diri selalu terancam. Ia merasa gerakan apapun dengan penuh curiga, seolah-olah semua orang tidak menyukai dirinya. Pemimpin seperti ini sangat sensitif untuk bereaksi terhadap hal apapun yang dianggapnya akan mendelegitimasi kepemimpinannya. Ia merasa kekuasaannya terancam, semua dianggap musuh yang akan menggerogoti dirinya.

Sikap paranoid dari pemimpin akan membuat perilakunya tidak efektif. Bersikap defensif dan selalu mencari kesalahan pihak lain terhadap ketidakmampuan atau kegagalan dirinya. Ketidakmampuan dalam mengelola tugas-tugas kepemimpinannya ditimpakan sebagai kesalahan orang lain, ia merasa dihambat dan selalu merasa diganggu. Sebagian besar energinya hanya digunakan untuk mengatasi rasa kecurigaan sehingga tugas-tugas utama kepemimpinannya tidak terlaksana dengan baik.

Selain bersikap defensif seorang pemimpin paranoid sering pula berperilaku ofensif dengan mengancam, memata-matai dan mencari-cari kesalahan pihak-pihak yang dianggap tidak mendukung kepemimpinannya. Bahkan tidak jarang mereka melakukan cara-cara yang tidak patut untuk mengintimidasi pihak lain. Mereka pun akan berupaya memanfaatkan masa pendukung untuk melakukan aksi-aksi menekan pihak yang berseberangan, bahkan tidak jarang intimidasi dan teror digunakan untuk melumpuhkan upaya-upaya yang dapat menggoyahkan kekuasaannya.

Pemimpin paranoid bagaikan individu paranoid yang merasa diri sendirian, diabaikan, dimata-matai, dan merasa adanya ancaman dari ‘musuh.’ Delusi ini biasanya berpusat pada ketidakmampuan untuk mengatasi berbagai persoalan yang membelit dirinya. Mereka merasa mengalami kegagalan dalam bekerja dan mengembangkan sikap curiga seperti ada orang lain yang cemburu terhadap kekuasaannya sehingga ingin menjatuhkannya.

Pemimpin paranoid biasanya memiliki alasan tertentu mengapa mereka curiga dan tidak mau menerima alasan lain yang sebenarnya lebih benar. Karena sikap curiga tersebut dan dengan memanfaatkan kekuasaannya, ia dapat melakukan interogasi terhadap mereka yang dianggap musuh.

Pemimpin paranoid tidak jarang memiliki waham dimana ia merasa superior dan memiliki kemampuan yang unik. Terkadang mereka merasa mendapat mandat yang kuat untuk menjalankan kekuasaanya, sehingga ia dapat berbuat sekehendak hati dengan alasan banyak yang mendukung. Mereka pun tidak segan-segan memanipulasi dukungan untuk kepentingan memperkukuh kekuasaan.

Meminjam pendekatan paranoia, pemimpin paranoid memiliki tahapan berpikir yang membuat dirinya menjadi paranoid dengan cara sebagai berikut :

1. Suspiciousness/Curiga - pemimpin menaruh curiga kepada orang lain, takut digerogoti kekuasaannya dan menjadi sangat siaga.
2. Protective Thinking – mengkaji secara selektif tindakan orang lain dan melihatnya secara curiga dan mulai menyalahkan orang lain atas kegagalan kepemimpinannya.
3. Hostility/permusuhan – sangat sensitif terhadap kritik yang ditujukan terhadap dirinya. Sikap kritis direspon secara marah dan dengan sikap permusuhan. Kondisi ini semakin meningkatkan kecurigaan.
4. Paranoid Illumination / Berkembangnya Paranoid – Dalam menjalankan kekuasaannya sikap penuh curiga sudah menjadi bagian dirinya dan ia merasakan adanya sesuatu yang aneh namun ia ia telah tenggelam dalam situasi kecurigaan tersebut.
5. Perilaku Delusif – merasa dirinya terancam namun dikompensasi dengan waham kebesaran, kemudian ia mengembangkan suatu alasan yang logis dan mengembangkan tindakan-tindakan yang dapat dipahami oleh orang lain untuk mempertahankan dirinya dan menyerang pihak lain.

Sebagaimana paranoia, penyebab pemimpin paranoid dapat disebabkan kegagalan proses belajar terhadap berbagai pengalaman yang dilewati dirinya. Kegagalan dalam merespon dan mengatasi masalah dapat memunculkan sikap inferior yang kemudian dikompensasi dengan sikap superior, merasa diri paling benar, paling berhak. Kemudian pemimpin paranoid mengembangan suatu mekanisme psikologis pertahanan diri dan sering muncul reaksi-reaksi perilaku yang tidak proporsional yang semakin memperkeruh keadaan.

Mudah-mudah pemimpin seperti itu tidak ada di sekitar kita.

MEMAHAMI PARANOIA

Paranoia adalah salah satu gangguan kepribadian yang cukup mempengaruhi efektivitas perilaku individu dalam berinteraksi dilingkungannya. Menurut JP Chaplin, Phd, paranoia adalah suatu ciri gangguan psikotic yang ditandai adanya delusi yang sistematis atau waham dengan sedikit deterioasi. Hal ini cenderung menetap dan cukup kuat pengaruhnya serta membuat individu pada kondisi incapacity.

Disamping itu dikenal istilah lain, yaitu paranoic atau paranoiac, yang berarti individu yang menderita paranoia atau paranoid schizophrenia. Beberapa istilah lain yang terkait adalah sebagai berikut :

Paranoid :
1. Berhubungan atau sama dengan paranoia.
2. Individu yang memiliki ciri perilaku atau sikap seperti orang paranoia, atau orang yang merasa terancam oleh orang lain.

Paranoid personality :
Suatu kepribadian yang ditandai adanya sikap penuh curiga, sangat sensitif tanpa adanya deteriorasi atau delusi.

Paranoid schizophrenia :
Salah satu jenis dari schizophrenia yang ditandai oleh gejala delusi atau sikap sangat curiga. Hal ini disebabkan adanya gangguan difungsi berpikir, halusinasi dan deteriorasi.

Seorang ahli psikologi lain James C. Coleman, menyebutkan beberapa pengertian berkaitan dengan ini sebagai berikut :

Paranoia :
Suatu ciri psikosis yang ditandai adanya delusi yang sistematis.

Paranoid Personality :
Individu yang menunjukan gejala perilaku proyeksi seperti defence mencahnism, curiga, iri, sangat cemburu dan keras kepala.

Paranoid Schizophrenia :
Salah satu jenis dari schizophrenia yang ditandai adanya delusi dan halusinasi yang biasanya cukup kuat.

Istilah paranoia sendiri telah digunakan dalam waktu yang cukup lama. Pada jaman Yunani kuno dan Romawi istilah ini digunakan untuk mengacu pada suatu gangguan yang tidak dapat dibedakan dengan berbagai gangguan mental lainnya. Saat ini penggunaan istilah ini lebih terbatas sejak Kraeplin menunjukan suatu kasus dimana adanya delusi dan kontak yang minim dengan realitas namun tidak terjadi disorganisasi personality yang kuat seperti yang terjadi pada kasus schizophrenia.

Saat ini ada 2 jenis psikosis paranoid yang termasuk dalam kelompok gangguan paranoid, yaitu :

1. Paranoia, dimana terjadinya delusi yang berkembang secara perlahan kemudian menjadi rumit, logis dan sistematis serta hal tersebut berpusat pada delusi merasa dikejar-kerjar atau waham kebesaran. Meski adanya delusi, kepribadian penderita masih utuh, tidak ada disorganisasi yang serius dan tanpa halusinasi.

2. Paranoid state, terjadinya perubahan delusi yang paranoid dan cara berpikir menjadi tidak logis serta munculnya ciri-ciri paranoia, meskipun belum menunjukkan perilaku yang aneh atau deteriorasi seperti yang ditemukan pada kasus schizophrenia paranoid. Biasanya kondisi ini berhubungan dengan stress yang kuat dan mungkin pula karena fenomena kefanaan. Paranoid states sering mewarnai gambaran klinis dari jenis gangguan patologis lainnya.

Namun, perhatian utama kita saat ini tertuju pada paranoia. Paranoia relatif sedikit ditemukan pada pasien yang dirawat di rumah sakit jiwa, namun hal ini mungkin terjadi karena kekeliruan dalam mengidentifikasi gangguan mental. Banyak para penemu/inventor, guru, eksekutif bisnis, reformer fanatik, pasangan pencemburu, orang-orang nyentrik yang mendalami suatu ajaran tertentu termasuk dalam kategori ini. Namun, uniknya mereka ini mampu mempertahankan eksistensinya di masyarakat. Dalam beberapa kasus diantara mereka ada yang berkembang menjadi seseorang yang sangat berbahaya.

Gambaran Klinis Paranoia

Individu yang mengalami paranoia merasa sendirian, diabaikan, dimata-matai, dan persepsi salah lainnya tentang adanya ancaman dari ‘musuh.’ Delusi ini biasanya berpusat pada satu hal misalnya menyangkut masalah keuangan, pekerja, pasangan yang tdk dapat dipercaya atau masalah-masalah kehidupan lainnya. Orang yang mengalami kegagalan dalam bekerja akan mengembangkan sikap curiga seperti ada orang lain yang cembutu terhadap prestasi kerjanya sehingga ingin menjatuhkannya.

Seorang paranoia memiliki alasan tertentu mengapa mereka curiga dan tidak mau menerima alasan lain yang sebenarnya lebih benar. Karena sikap curiga tersebut ia dapat melakukan interogasi terhadap mereka yang dianggap musuh.

Banyak dari penderita paronoia ini memiliki waham dimana ia seorang superior dan memiliki kemampuan yang unik. Terkadang mereka merasa mendapat mandat atau wahyu untuk menjalankan suatu misi suci, melakukan pembaharuan dan perubah sosial. Para paranoiac religius mengembangkan keyakinan bahwa ia mendapat amanat dari Tuhan untuk menyelamatkan manusia dan melakukan khotbah-khotbah bahkan mengajak dilakukannya perang suci.

Berkaitan dengan delusi yang dialami paranoiac dapat tampil dengan sangat sempurna, berbicara fasih dan terkesan memiliki emosia yang matang. Halusinasi dan ciri gangguan lain jarang ditemukan pada paranoiac ini. Mereka berupaya melakukan pembenaran dengan cara-cara yang logis agar dapat dipercaya. Dalam kasus ini sangat sukar dibedakan mana yang fakta atau hanya sekedar imaji. Mereka berupaya agar orang-orang disekitarnya mempercayai apa yang dikatakannya. Mereka gagal untuk melihat fakta lain diluar apa yang mereka yakini dan kurang dapat membuktikan keyakinannya, kecurigaanya serta mereka menjadi tidak komunikatif saat ditanyakan mengenai delusinya tersebut.

Meskipun demikian paranoic ini tidak selalu berbahaya, tetapi mereka tetap memiliki peluang untuk melakukan sesuatu hal yang merugikan terhadap orang-orang dianggap musuhnya.

Tahapan berpikir yang mendorong terjadinya paranoia :

1. Suspiciousness/Curiga - individu menjadi tidak percaya kepada orang lain, takut akan dirugikan dan menjadi sangat siaga.
2. Protective Thinking – mengkaji secara selektif tindakan orang lain dan melihatnya secara curiga dan mulai menyalahkan orang lain atas kegagalannya.
3. Hostility/permusuhan – sangat sensitif terhadap ketidakadilan yang dirasakan meskipun tidak benar, hal ini direspon secara marah dan sikap permusuhan dan ini semakin meningkatkan kecurigaan.
4. Paranoid Illumination / Berkembangnya Paranoid – Sikap penuh curiga sudah menjadi bagian dirinya dan ia merasakan adanya sesuatu yang aneh namun ia ia telah tenggelam dalam situasi kecurigaan tersebut.
5. Delusions – merasa dikejar-kejar atau adanya waham kebesaran namun ia mengembangkan suatu alasan yang logis dan mengembangkan tindakan-tindakan yang dapat dipahami oleh orang lain.

Faktor Penyebab Paranoia :

1. Kegagalan proses belajar.
2. Kegagalan & inferiority
3. Elaborasi sistem pertahan diri & Pseudocommunity.

Kegagalan proses belajar – biasanya sejak masa kanak-kanak, paranoia suka menyendiri, pencuriga, mengasingkan diri, keras kepala dan sangat sensitif. Saat diingatkan mereka cemberut dan uring-uringan. Hanya sedikit dari mereka yang menunjukan kemampuan bermain dengan anak lain yang normal atau bersosialisasi dengan baik.

Latarbelakang keluarga memegang peranan yang penting. Situasi lemahnya penerimaan dalam keluarga dan penggiringan sikap inferioritas akan mengembangkan sikap anak untuk berusaha menjadi superior. Ketidakmantapan latarbelakang keluarga mempengaruhi perasaan anak terhadap orang lain dan membentuk perilaku negaif anak terhadap orang lain.

Proses sosialisasi yang tidak tepat membentuk perilaku anak yang mudah curiga kepada orang lain. Dengan demikian akan terbentuk sikap permusuhan dan ingin mendominasi orang lain. Kondisi ini akan saling mempengaruhi, sikap bermusuhannya direspon secara negatif oleh lingkungan dan iapun semakin curiga dengan orang lain sehingga perlahan-perlahan terbentuk kepribadian yang paranoia. Selanjutnya terjadilah isolasi sosial dan ia semakin tidak percaya kepada orang lain.

Perkembangan kepribadian selanjutnya dimasa kanak-kanak ini mengembangkan suatu sikap gabungan dari merasa diri penting, kaku, arogan, ingin mendominasi dan membentuk gambaran diri yang tidak realistis dan menimpakan kegagalan atau kesialannya kepada orang lain. Mereka menjadi sangat curiga dan sangat peka menghadapi situasi ketidakadilan. Selanjut individu tidak memiliki selera humor.

Mereka mulai mengkategorikan mana orang baik dan jahat. Harapan mereka dan tujuan hidup mereka seringkali tidak realistik. Mereka menolak untuk menerima permasalahan yang dengan cara-cara yang lebih realistik. Mereka cenderung menjadi orang yang uring-uringan dan menolak kontak yang normal. Mereka tidak mampu membina hubungan sosial yang hangat, bersikap agresif dan merasa superior.

Kegagalan dan Inferiority

Biasanya riwayat para paranoiac sarat dengan kegagalan dalam beradaptasi dengan situasi kehidupan yang penting seperti lingkungan sosial, pekerjaan dan perkawinan. Menghadapi ini mereka bersikap rigid, membuat goal yang tidak realistik dan tidak mampu membina hubungan jangka panjang dengan orang lain. Kegagalan ini diinterpretasikan olehnya sebagai penolakan, penghinaan dan peremehan oleh orang lain.

Kegagalan ini menyebabkannya sukar untuk memahami sebab-sebab utama sebenarnya dari permasalahan yang ia alami. Misalnya, mengapa mereka harus meningkatkan kemampuannya dalam berhubungan sosial dalam rangka mencegah reaksi negatif dari orang lain – mengapa mereka sampai tidak disukai dalam pekerjaan misalnya karena mereka menyelidiki sesuatu secara sangat rinci. Ia tidak mampu untuk memahami dirinya dan situasi secara objektif, tidak mampu memahami mengapai ia sampai menarik diri dan mengapa orang lain menolaknya.

Meskipun demikian perasaan inferiority dari penderita paranoia bersifat topeng saja, karena sesungguhnya mereka ingin superior dan menganggap dirinya penting dan hal ini dimanifestasikan dalam banyak aspek dari perilakunya. Mereka sangat ingin dihargai, hipersensitif terhadap kritik, sangat teliti dan rajin.

Para individu paranoid pada saat dihadapkan dengan kegagalan mereka biasanya mengatakan “orang-orang tidak menyukai kamu,” barangkali ada sesuatu yang salah pada diri kamu,” kamu inferior.” Mereka sering bersikap defensif, menjadi sangat kaku dan cenderung menyalahkan orang lain. Pola-pola defensif ini akan membantu melindungi dirinya dari perasaan inferiority dan perasaan tidak berharga.

Selanjutnya dikenal pula istilah elaborasi mekanisme pertahanan diri dan “Pseudocommunity.”
Dimana diri merasa kaku, merasa diri penting, tidak humoris dan pencuriga membuat penderita tidak populer dilingkungan sosialnya. Mereka saring salah menangkap maksud orang lain. Sensitif terhadap ketidakadilan.

Reaksi paranoid biasanya berkembang secara bertahap. Kegagalan yang ia alami membuat ia mengelaborasi defence mechanism. Untuk menghindari agar dinilai tidak mampu mereka mengembangkan alasan logis dibalik kegagalannya.

Secara bertahap gambaran dimulai dengan kristalisasi proses yang lazim disebut paranoid illumination. Kemudian hal tersebut berkembang sedemikian rupa sehingga penyebab-penyebabnya semakin kabur. Penderita mulai melindungi dirinya dan memiliki asumsi bahwa ada sesuatu yang salah dengan dirinya (ditahap awal). Selanjutkan kegagalan tersebut ia timpakan kepada orang lain.

Kemudian terjadi proses apa yang disebut dengan pseudo community dimana penderita mulai mengkategorisasikan orang-orang disekitarnya (faktual atau bayangan) yang menentang atau tudak menyukai dirinya.

Kejadian-kejadian menjadi perhatian penderita. Ia selalui menyikapi hal-hal disekitarnya dengan sikap curiga. Pseudo community ini bisa disebabkan karena stress yang kuat, misalnya akibat kegagalan ditempat kerja. Ia akan menimpakan kesalahan tersebut kepada orang lain dan mulai mengidentifikasikan orang-orang yang dianggap menghambatnya atau menentang dirinya.

UPAYA PENANGANAN

Pada tahap awal paranoia, penanganan secara kelompok maupun individual masih efektif, terutama apabila penderita memiliki kesadaran untuk mencari bantuan profesional.

Tehnik terapi tingkah laku menunjukkan hal-hal menjanjikan seperti, ide paranoid muncul karena berbagai kombinasi hal-hal yang tidak menyenangkan, berbagai faktor perubah dalam situasi kehidupan seseorang semakin memperkuat perilaku maladaptifnya dan berkembang menjadi cara yang ampuh untuk mengatasi permasalahannya.

Sekali sistem delusi menetap, penanganan akan menjadi sangat sukar. Biasanya sulit berkomunikasi dengan paranoiac untuk mengatasi masalahnya dengan cara-cara yang rasional. Dalam situasi seperti ini penderita enggan berkonsultasi, tetapi mereka berusaha mencari pembenaran dan pengertian dari orang lain terhadap kesalahan yang mereka lakukan.

Hal yang tidak menguntungkan adalah kurang begitu bermanfaatnya merumahsakitkan paranoiac. Kepada paranoiac biasanya lebih efektif memberikan hukuman daripada penanganan. Mereka cenderung menunjukkan kesuperiorannya kepada pasien lain apabila di rumah sakit dan mengeluh apabila keluarga dan petugas kesehatan menempatkan mereka di rumah sakit tanpa alasan yang valid, sehingga mereka menolak bekerjasama dan berpartisipasi dalam kegiatan treatment. Dengan demikian kegagalannya untuk mengendalikan tindakan dan pikirannya dan sulitnya bekerjasama membuat mereka tinggal dalam waktu lama di rumah sakit. Hal ini membuat mereka susah untuk recovery. Meskipun demikian secara tradisional prognosa tentang paranoia kurang begitu bermanfaat.

Pada saat awal mengidentifikasikan psikosis dengan schizophrenia dan paranoia, telah disepakati bahwa manifestasi klinis dari kasus ini harus dibedakan dengan gangguan neurosis atau psikosomatik. Ciri schizophrenia jelas adanya kegagalan pemahaman/kontak dengan realitas dan terjadi disorganisasi kepribadian seperti gangguan dalam fungsi berpikir, afek/perasaan maupun masalah perilaku.

Identifikasi sebagian besar jenis schizophrenia seperti acute, paranoid, katatonik, hebephrenic dan simple memperlihatkan perbedaan klinis untuk setiap jenis. Berbagai faktor penyebab masih sulit dipahami mengapa hal tersebut dapat berkembang. Meskipun demikian para ahli melihat adanya peran faktor genetik yang signifikan yang menyebabkan schizophrenia. Mungkin karena neuropshysiological atau perubahan biochemical yang mengganggu otak berfungsi normal, termasuk disini adalah kegagalan dalam menyeleksi mekanismenya. Penyebab yang tepat dari perubahan tersebut harus dapat dipastikan untuk menentukan apakah karena faktor genetik atau karena gangguan mental. Namun, harus pula diperhatikan penyebab psikologis lainnya yang signifikan. Disamping itu faktor psikososial memegang peranan penting pula.Penanganan inovatif perlu dipertimbangkan seperti chemotherapy, terapi psikososial, program paska perawatan akan membuat kondisi penderita lebih baik.

Gangguan paranoid biasanya tidak mengalami disorganisasi kepribadian yang parah dibandingkan dengan jenis psikosis lainnya, namun mereka sangat resisten/menolak berbagai tindakan terapi yang diberikan.

SEBUAH BUKU

Ia bukan hanya merupakan rangkaian huruf maupun kata
Tidak pula sekedar kalimat tanpa makna
Atau bergumpal alinea yang tertera
Bahkan bukan pula sekedar gepokan lembar kertas bersahaja

Ia tidak sekedar goresan
Tidak pula sekedar catatan
Bukan sekedar tulisan
Bukan pula sebuah paparan

Ini adalah cerita tentang peradaban
Dimana dipahat kukuh akal budi kemanusiaan
Sebagai sebuah warisan yang jauh bernilai dari kilau berlian
Ia adalah cahaya pikiran
Bahkan ungkapan nurani insan

Menuntun dahulu kembali ke masa kini
Bahkan menjangkau masa depan
Bercerita tentang kumpulan gagasan
Merefleksikan pengalaman dan cita
Membangun fondasi kemajuan

Ia adalah sebuah buku
Bagaikan pandu
Bertahta ilmu

Menuntun laku

Selasa, 16 Februari 2010

PERAN ASSESSMENT CENTER DALAM PENGEMBANGAN SDM & ORGANISASI

Sebelum membahas tentang peran “Assessment Center,” dalam Menunjang Strategi Pengembangan SDM & Organisasi, perlu memperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan dinamika perubahan yang terjadi di sekitar pengelolaan organisasi, tantangan yang harus dihadapi SDM dalam milenium-III, pasar bebas, tuntutan terhadap dinamika organisasi dan penguasaan kompetensi.

Dinamika pengelolaan organisasi saat ini sangat dipengaruhi oleh tekad untuk membangun perusahaan yang bersih, transparan dan profesional. Hal ini sejalan pula dengan semangat untuk mewujudkan Good Corporate Governance. Pada tataran yang luas kita lihat upaya pemerintah yang sungguh-sungguh untuk memberantas korupsi, kolusi dan nepotisme. Hal ini menjadi dasar yang cukup kuat bagi segenap pengelola organisasi untuk menjalankan organisasi secara lebih bertanggungjawab.

Salah satu aspek penting dalam pengelolaan organisasi adalah menyangkut manajemen sumber daya manusia (SDM). Pengelolaan SDM menyangkut berbagai hal, mulai dari proses perencanaan SDM, mengumpulkan orang-orang yang sesuai dengan kriteria, menyeleksi, melakukan proses induksi, penempatan, pemanfaatan, pemeliharaan dan pengembangan sampai dengan proses terminasi.

Salah satu titik penting dalam siklus tersebut adalah pemilihan pengisi jabatan terutama untuk tingkat pimpinan atau manajer dan untuk selanjutnya disebut manajer saja. Mengapa ini penting? Manajer dalam suatu perusahaan memiliki peran penting sebagai penggerak, motivator, pengendali dan juga sebagai agen perubahan. Dalam suatu organisasi yang baik, maka dibelakangnya ada SDM yang baik, dan dibelakang SDM yang baik ada manajer yang baik.

Tesis tersebut mengindikasikan bahwa pemilihan manajer merupakan prasyarat yang penting untuk keberhasilan organisasi atau perusahaan. Berbicara persoalan kepemimpinan atau kemampuan manajerial tidak terlepas dari kecenderungan perkembangan organisasi dewasa ini. Perubahan dalam perkembangan organisasi setidaknya dipicu oleh enam faktor, yaitu : nature of workforce, tecnology, economic shocks, competition, social trends dan world politics.

Nature of workforce terlihat dari beberapa hal, misalnya pengelolaan organisasi yang tadinya secara kultural memiliki anggota yang relatif homogen maka sekarang menjadi semakin multikultural dan semakin meningkatnya tuntutan akan profesionalisme.

Dari sisi teknologi semakin masifnya penggunaan komputer dan otomatisasi. Konvergensi telekomunikasi dan informasi dan mulainya kita memasuki era 3G. Sisi ekonomi ditandai oleh ketidakpastian situasi pasar, fluktuasi interest rate dan fluktuasi nilai tukar valuta asing memberi pengaruh yang tidak sedikit terhadap pengelolaan investasi.

Suasana kompetisi semakin mengglobal, secara ekonomi semakin mengaburnya batas antar negara, merger dan akuisisi yang semakin marak dan tumbuhnya operator-operator yang berskala kecil (retailers) namun memiliki kelincahan organisasi yang luar biasa.

Kecenderungan sosial yang ditandai semakin meningkatnya konflik, munculnya kelompok-kelompok sosial yang kadang tidak seirama dengan kebijakan-kebijakan pemerintah maupun organisasi/perusahaan, dan tuntutan pengelolaan organisasi yang harus selaras dengan kepentingan masyarakat, budaya maupun lingkungan. Kehidupan politik yang semakin mengedepankan desentralisasi dan otonomi daerah, semakin menguatnya institusi politik dan tingkat kesadaran politik masyarakat yang semakin meningkat memberi warna tersendiri terhadap perkembangan organisasi.

Dinamika yang sedemikian rupa mempengaruhi organisasi/perusahaan yang cenderung mengarah kedesentralisasi, organisasi yang lebih ramping dan kecil, lebih memperhatikan kepentingan masyarakat dan lingkungan dan sekaligus menjadi bagian warga masyarakat yang baik (good corporate citizenship).

Kondisi tersebut mendorong munculnya tuntutan bagi para manajer atau pengelola organisasi untuk lebih menghargai nilai-nilai, masyarakat dan orang-orang dibawah kendalinya. Diperlukan sikap manajer untuk tampil dengan sikap percaya terhadap orang lain, otentik, terbuka dan mampu menciptakan lingkungan kerja yang kondusif. Kecenderungan struktur organisasi yang semakin datar dan ramping menuntut manajer untuk meminimalkan penggunaan power dan lebih mengedepankan aspek komunikasi dan sekaligus mendorong partisipasi dari segenap unsur (atasan-bawahan) dalam merumuskan cara-cara pengelolaan organisasi.

Berikutnya adalah tantangan yang dihadapi SDM dalam era milenium-III dan pasar bebas. Era global dewasa ini ditandai oleh mobilitas yang tinggi, keserempakan, by pass dan pluralism. Hal itu menyangkut dari seluruh sisi sumber daya dan termasuk perkembangan teknologi yang sedemikian rupa yang terus mengakomodasi kebutuhan manusia untuk memenuhi tuntutan kehidupannya.

Empat ciri era global tersebut menuntut SDM untuk memiliki kemampuan fleksibilitas yang tinggi, kemampuan komunikasi, penguasaan teknologi dan kemampuan adaptasi terhadap keragaman budaya. Hal ini berjalan sejajar dengan kecenderungan organisasi yang mengalami perubahan mendasar dari sisi struktur, orientasi, fokus, dan aktivitas.

Dari sisi struktur terjadi pergeseran dari hirarkis menjadi network. Orientasi yang tadinya internal dan tertutup menjadi eksternal dan terbuka. Fokus yang sebelumnya lebih kearah kapital menjadi kearah SDM dan informasi. Sedangkan aktivitas terlihat yang sebelumnya lebih menekankan pada pengendalian berubah kearah pemberdayaan.

Tantangan baru SDM dan dinamika perkembangan organisasi bermuara pada perubahan paradigma pengelolaan SDM yang berbasis pada kompetensi. Dalam konteks inilah sangat erat kaitan antara kompetensi dengan assessment.

Kompetensi sendiri memiliki beragam pengertian. Namun, ada persamaan dari pengertian tersebut bahwa kompetensi meliputi skill, knowledge dan personal qualities, sehingga dapatlah diartikan kompetensi merupakan kombinasi atau gabungan dari skill, knowledge dan personal qualities yang diperlukan SDM agar mampu melaksanakan tugas-tugasnya untuk mendukung tercapai target-target perusahaan. Dengan demikian penguasaan kompetensi haruslah meliputi ketiga aspek tersebut.

Bagaimana dengan assessment center? terutama perannya dalam menunjang strategi pengembangan SDM dan organisasi. Runtutan pembahasan ini tidak terlepas dari apa yang sudah diuraikan sebelumnya yang dimulai dengan gambaran dinamika perkembangan organisasi, tantangan SDM di era global dan pentingnya penguasaan kompetensi. Berkaitan dengan kompetensi inilah masalah assessment sangat penting dan assessment ini tidak terlepas dari perannya dalam menunjang strategi Pengembangan SDM dan pengelolaan organisasi.

Assessment dapat diartikan sebagai suatu kegiatan untuk mengumpulkan informasi dan memberikan umpan balik terhadap karyawan tentang hal-hal yang berkaitan dengan perilaku, gaya berkomunikasi dan keterampilan yang ditunjukkannya dalam suatu proses penilaian. Sedangkan assessment center adalah salah satu metoda assessment. Assessment center merupakan suatu proses dimana sejumlah assessor melakukan penilaian terhadap kompetensi yang ditunjukkan peserta dalam berbagai simulasi perilaku yang ia ikuti. Hasil dari assessment center berupa informasi yang dapat dimanfaatkan dalam untuk tujuan seleksi, promosi, transfer atau pengembangan SDM.

Sehubungan dengan hal tersebut setidaknya terdapat sejumlah peran Assessment Center dalam menunjang strategi pengembangan SDM & organisasi, yaitu:

Pertama,

Assessment center berperan dalam mengidentifikasi kriteria sukses suatu jabatan dalam organisasi. Kriteria sukses ini merupakan suatu langkah awal yang penting untuk mencari kesesuaian seorang calon pemangku jabatan dengan tuntutan posisi pada organisasi. Kriteria sukses dikaitkan dengan tujuan umum organisasi dan tujuan spesifik dari posisi yang akan diisi. Artinya, dalam menetapkan kriteria sukses memperhatikan aspek mikro dari posisi yang dijadikan target dan memperhatikan aspek makro organisasi seperti struktur, sistem dan prosedur, budaya organisasi dan mekanisme kerja yang terdapat diorganisasi tersebut.

Kedua,

Assessment center berperan dalam mengidentifikasi kompetensi para kandidat manajer. Dalam peran ini sangat terkait dengan pengertian assessment itu sendiri, yaitu adanya unsur penilaian. Penilaian didasarkan atas kriteria sukses yang sudah ditetapkan sebelumnya. Melalui pendekatan simulasi perilaku yang disesuaikan dengan tuntutan riil dari jabatan yang dijadikan target akan terlihat bagaimana tingkat kesesuaian kompetensi dari calon, apakah yang bersangkutan memenuhi kriteria atau tidak. Hal ini sangat bermanfaat apabila yang bersangkutan dipersiapkan untuk mengisi jabatan tersebut atau bahkan bagi mereka yang sudah diposisikan pada jabatan tersebut. Bagi mereka yang dipersiapkan untuk mengisi jabatan dimasa yang akan datang maka tersedia waktu yang cukup untuk meminimalkan gap competency dengan mengikuti berbagai program pengembangan dan penugasan, sehingga pada saat menjabat yang yang bersangkutan sudah cukup siap untuk mengemban tanggung jawabnya. Disisi lain bagi yang sudah menjabat akan diketahui sejauhmana efektivitas yang bersangkutan pada posisi tersebut dan hal ini bisa dievaluasi bersama dengan hasil unjuk kerjanya. Tentunya dalam kedua hal tersebut manajemen memiliki informasi yang cukup akurat untuk mendukung pengambilan keputusan dalam penempatan dan pengembangan seseorang dalam organisasi.

Ketiga,

Assessment center berperan dalam merumuskan training need analysis berdasarkan gap competency. Dalam peran ini unit SDM dan Training Center akan dapat mengambil manfaat yang luas dari penggunaan metoda assessment center. Bagi unit SDM jelas akan mampu memperkirakan sejauh mana kebutuhan pengembangan yang harus dilakukan dengan memanfaat data gap competency dari hasil assessment center. Sedangkan Training Center dapat memanfaatkan hasil assessment center untuk mempersiapkan silabus program pelatihan. Dengan mempertemukan antara kebutuhan pengembangan SDM dan rencana pelatihan maka hasil assessment center merupakan suatu bahan kajian yang sangat bermanfaat untuk merumuskan kebutuhan pelatihan.

Keempat,

Assessment center berperan untuk menilai kesesuaian antara kompetensi pemangku jabatan dengan persyaratan posisi dalam organisasi. Dalam peran ini maka assessment center akan memberikan gambaran bagaimana dalam keseluruhan posisi organisasi tingkat kesesuaian dari pemangku jabatannya. Apakah 100% atau 90% atau hanya 50% pemangku jabatan yang sesuai? Ini memberikan masukan yang berarti bagi manajemen khususnya pengelola SDM untuk mendapatkan profil dari persentase kesesuaian pemangku jabatan. Dari profil ini dapat dijadikan masukan bagi rencana pengembangan SDM.

Kelima,

Assessment center berperan dalam menilai efektivitas pemangku jabatan dikaitkan dengan performansi organisasi. Meningkat atau menurunnya performansi organisasi tidak terlepas dari peran SDM, terutama unsur manajernya. Evaluasi terhadap keberhasilan organisasi mencakup pula evaluasi terhadap kompetensi SDM termasuk manajernya. Dalam area inilah assessment center memberikan peran yang cukup berarti untuk memberikan informasi tentang kualifikasi SDM utamanya menyangkut kompetensi manajerialnya.

Keenam,

Assessment center berperan dalam merekomendasikan formasi tim dalam suatu unit agar mencapai komposisi ideal dikaitkan dengan tipe atau gaya setiap individu dan tuntutan dari organisasi tersebut. Iklim kerja dan keberhasilan organisasi tidak terlepas dari proses inter-relasi dari individu-individu yang ada didalamnya. Relasi yang sinerjis merupakan prasyarat untuk memunculkan iklim kerja yang baik dan ini menjadi modal untuk membangun organisasi yang sehat dan berhasil. Untuk membangun relasi yang sinerjis tentunya diperlukan formasi tim yang terdiri dari individu-individu yang mampu saling memperkuat dan menutupi kelemahan yang lain. Dalam konteks ini tentu perlu diperhatikan karakteristik setiap orang sehingga mampu melengkapi yang lainnya, untuk saling mendukung dan bukan saling memperlemah. Assessment center mampu memberikan informasi tentang karakteristik individu dan merekomendasikan komposisi individu dalam tim berdasarkan kombinasi dari karakteristik atau tipe dari setiap orang. Termasuk dalam hal ini kombinasi tipe atau karakteristik atasan-bawahan yang ideal.

Ketujuh,

Assessment center berperan dalam memberikan penilaian terhadap penurunan kinerja organisasi dikaitkan dengan kompetensi yang dimiliki individu. Seringkali penurunan kinerja organisasi berawal dari persoalan yang terkait dengan SDM. Mulai dari kompetensi yang kurang, kompetensi yang tidak sesuai atau kompetensi yang tidak sinerjis antar pemangku jabatan dalam unit organisasi tersebut. Maka dalam hal ini, assessment center akan dapat berperan memberikan masukan untuk mengevaluasi bagaimana kinerja organisasi menurun dikaitkan dengan profil SDM-nya.

Kedelapan,

Assessment center berperan dalam memberikan masukan untuk pengembangan organisasi. Berdasarkan dari evaluasi dari penetapan kriteria sukses, profil kompetensi pemangku jabatan dan analisa terhadap efektivitas maupun kinerja organisasi dapat ditelaah mengenai kemungkinan permasalahan yang ada didalam organisasi. Artinya, disini mungkin saja setelah melalui penilaian assessment center setiap pemangku jabatan sudah dianggap layak pada posisinya, kemudian formasi tim telah memenuhi bentuk yang ideal, sangat mungkin permasalahan bukan pada SDM atau tim, tetapi mungkin saja terjadi pada tingkat sistem atau struktur organisasi yang tidak inline dengan tujuan organisasi. Maka dalam hal ini assessment center dapat berperan untuk memberikan masukan bagi pengembangan organisasi.

Kesembilan,

Assessment center berperan dalam memberikan informasi kepada manajer lini untuk melakukan konseling dengan bawahannya. Proses interaksi antara atasan dengan bawahan utamanya terkait dengan kinerja yang kurang memenuhi harapan dapat memanfaatkan hasil dari assessment center. Dalam hal ini atasan dapat memanfaatkan informasi dari assessment center untuk memahami bawahannya, baik mengenai keunggulan kompetensinya maupun berkaitan dengan kesenjangan kompetensi yang dimiliki bawahannya. Berdasarkan informasi tersebut atasan dapat menyusun strategi dalam melakukan pembinaan bagi bawahannya termasuk dalam hal ini akan memudahkan atasan dalam melaksanakan konseling bagi bawahannya.

Kesepuluh,

Assessment center berperan dalam memberikan masukan secara menyeluruh dalam rangka pengembangan SDM secara lebih luas dikaitkan dengan kebutuhan organisasi. Peran ini sangat terkait dengan peran assessment center dalam membantu manajemen untuk merumuskan secara makro strategi pengembangan SDM untuk jangka panjang. Selaras dengan ini maka secara timbal balik akan berdampak pada pengelolaan organisasi jangka panjang. Dalam hal ini assessment center dapat memberikan informasi mengenai profil kompetensi SDM dari tahun ke tahun kemudian dianalisa mengenai kecenderungan pengelolaan dan pengembangan organisasi dari tahun ke tahun pula. Sehingga didapat gambaran menyeluruh mengenai kecenderungan-kecenderungan yang perlu dicermati dan berdasarkan ini dilakukan analisa yang akan dijadikan masukan bagi pengembangan SDM serta organisasi jangka panjang.

Uraian tersebut memperlihatkan begitu banyak hal yang dapat dimanfaatkan dari penggunaan assessment center. Dari uraian tadi tampak ada sepuluh peran yang dapat dilihat, setidaknya dalam perspektif pengembangan SDM dan organisasi .

Rabu, 10 Februari 2010

PERSONALITY DISORDER

Personality disorder atau gangguan kepribadian merupakan suatu terminologi yang agak sukar didefinisikan dan juga tidak mudah untuk menegaskan bagaimana kepribadian yang normal kemudian berubah menjadi terganggu.

WHO mendefinisikan gangguan kepribadian sebagai suatu bentuk perilaku yang sudah menetap dan manifes yang membuat seseorang berespon terhadap situasi personal maupun sosial secara kaku/tidak sesuai. Terjadi suatu penyimpangan yang ekstrim dibandingkan dengan rata-rata orang dalam hal berperilaku, berpikir, perasaaan. Hal ini sering terjadi meskipun tidak selalu dan tergantung dari tingkat permasalahan subyektif yang dihadapi maupun permasalahan yang terkait dengan fungsi dan kinerja sosial. (WHO, 1992).

Gejala awal gangguan kepribadian mulai terlihat sejak masa remaja dan dewasa awal kemudian mulai menetap pada usia pertengahan.


Tipologi Gangguan Kepribadian :

1. Affective ; terjadi kerentanan perasaan dalam jangka panjang seperti depresi.
2. Anti-social ; kadang disebut dengan psikopat atau sosiopat, yaitu hilangnya hati nurani, tidak mampu belajar dari kesalahan, pelanggaran hukum, kekerasan, superficial.
3. Avoidant ; dikenal anxious, hipersensitif.
4. Borderline ; Ketidakstabilan perasaan, hubungan interpersonal dan citra diri.
5. Dependent ; Ketidakmampun untuk memenuhi tuntutan normal, submisif dan tidak berdaya.
6. Depressive ; temperamen depresif jangka panjang.
7. Explosive ; agresi yg tidak terkontrol baik verbal maupun fisik, namun berbeda dengan anti sosial.
8. Histrionic ; disebut juga histerical. Sangat tergantung dan mencari perhatian, emosi tumpul, mendramatisasi, egosentris.
9. Narcissistic ; mencintai diri, merasa penting hipersensitif atas penilaian orang lain.
10. Obsessional ; kaku, kompulsif, inflexible dan perfectionist. Disebut juga dgn anankastic.
11. Paranoid ; sensitif, curiga dan cemburu serta suka menuduh.
12. Passive/aggressive ; pasif resisten thd tuntutan sosial atau pekerjaan dan menghindari tanggung jawab.
13. Schizoid ; menghindari diri, introspective dan memisahkan diri. Ketidakmampuan beriteraksi sosial. Kekakuan dalam ekspresi emosional.
14. Schizotypal ; isolasi diri, memiliki ide yang esentrik.


Kriteri Gangguan Kepribadian (setidaknya 5 diantaranya), yaitu :

1. Secara konstan menghindari kenyataan dan sering berimajinasi.
2. Tidak stabil dan secara intens menempatkan hubungan sosial antara secara ideal dan devaluasi.
3. Ketidakstabilan dalam memahami diri.
4. Impulsif.
5. Merasa terancam atau melakukan kegiatan yang merugikan diri sendiri secara berulang.
6. Ketidakstabilan perasaan, perubahan yang cepat dalam merespon kejadian eksternal.
7. Kekosongan perasaan yang kronik.
8. Sangat pemarah dan kesulitan mengendalikan amarah.
9. Saat tertentu terjadi psikotic ringan, seperti kehilangan kontak dengan realitas saat menghadapi stress.


SEBAB-SEBAB

Bukti-bukti yang jelas dari adanya pengaruh genetik ditemukan dalam gangguan kepribadian seperti anti social dan schizotipal, tetapi kerpibadian pada umumnya memang dipengaruhi oleh faktor herediter. Namun, hal tersebut perlu kita kaji lebih lanjut terhadap kemungkinan pengaruh interaksi awal dimasa kanak-kanak di lingkungan keluarga yang kemudian membentuk perilaku abnormal pada saat individu menjadi dewasa.

Psikoanalisa memfokuskan pada relasi awal antara anak dengan ibunya dimana anak tersebut ditolak, kekerasan dikeluarga dan orang tua yang bertindak sewenang-wenang akan membentuk anak yang mengalami masalah kepribadian. Perubahan kepribadian dapat muncul setelah adanya stress yang kuat atau mungkin juga karena adanya perubahan di otak seperti benturan di kepala, dementia atau terjadi pendarahan dan tumor di otak.


PENANGANAN

Psikoterapi dapat dilakukan dalam berbagai bentuk. Psikoterapis dan konselor biasanya memiliki keinginan dan minat untuk menangani orang yang mengalami permasalahan kepribadian. Namun, mengalami kesulitan untuk menangani gangguan kepribadian yang berat.

Seorang psikoterapis biasanya pertama kali melakukan assessment untuk memeriksa apakah klien mampu diajak bekerjasama untuk mengikuti suatu metode terapi tertentu seperti psikoanalisis, cognitive-behavioral atau cognitif analitic. Mereka yang sulit untuk bekerjasama membutuhkan waktu penanganan yang lama dengan pendekatan terapi yang lebih kompleks serta membutuhkan pengawasan yang sungguh-sungguh.

Untuk mencapai kestabilan kepribadian kembali biasanya membutuhkan waktu.

Konsep gangguan kepribadian dirancang untuk para klinisian dan tidak mudah untuk dirancang dalam model medis. Banyak ahli yang menetapkan seseorang yang tidak memiliki penyakit mental tidak perlu mendapat penanganan medis. Terkadang terdapat gangguan kepribadian yang memang sulit untuk ditangani, tetapi terdapat pula diantaranya mereka yang memiliki gangguan ringan yang memang tidak memerlukan penanganan yang lebih serius.

Selasa, 09 Februari 2010

RELATIONSHIP PROBLEMS

Permasalahan relasi (relationship problems) yang dimaksud disini adalah menyangkut relasi interpersonal antara 2 orang dewasa. Permasalahan tersebut meliputi perkawinan, cohabitation, heteroseksual, gay atau lesbian dan hubungan non tradisional lainnya. Masalah relasi disini menyangkut hal-hal yang terkait dengan permasalahan medis atau psikiatris, disfungsi seksual, masalah keuangan , kesulitan rumah tangga, tindakan kriminal atau ketidakadilan. Mengapa hal ini perlu dibahas ? karena banyak mereka yang perlu dibantu disebabkan oleh tekanan yang mereka hadapi.

JENIS MASALAH RELASI

Permasalahan relasi menyangkut dimensi yang cukup luas, meliputi :

1. Kesulitan komunikasi
2. Konflik kebutuhan, alienasi
3. Perselingkuhan
4. Masalah seksual
5. Konflik sebagai orang tua
6. Perubahan peran gender
7. Kekerasan
8. Penyalahgunaan hak
9. Cemburu

Beberapa dari mereka yang mengalami permasalahan mencari bantuan untuk dapat berhubungan secara lebih baik lagi dengan pasangannya. Hal ini kadang-kadang terjadi karena ketidakmampuan untuk mengkomunikasikan atau memecahkan beberapa aspek spesifik yang terjadi dalam proses relasi mereka dan dipersepsikan secara berbeda antara dirinya dengan pasangannya dan mempengaruhi sikap, nilai maupun tingkah laku mereka. Mereka beranggapan pasangannya tidak toleran. Untuk mengatasi ini mereka tidak jarang dalam rangka menjaga integritas personal memilih untuk mengakhiri relasi tersebut, perceraian misalnya. Relasi yang tidak stabil umumnya ditunjukkan oleh pasangan yang kurang memiliki moralitas religius.

Penyebab dari permasalahan relasi bisa muncul karena adanya ketidaksesuaian filosofis, dilema moral, permasalahan emosional, penyakit fisik atau konflik.

Kasus di Inggris menunjukkan semakin meningkatnya angka perceraian dari wak tu ke waktu. Pada tahun 1996 dari 279.000 perkawinan, 169.000 berakhir dengan perceraian yang terjadi di tahun tersebut juga. Pasangan yang membutuhkan konseling perkawinan mencapai 58%, wanita single yang melakukan konseling 29% sedangkan pria 13%.

SEBAB-SEBAB

Akar masalah dapat disebabkan oleh sikap yang dependent, permasalahan seksual, kegagalan dalam tahap perkembangan hidup, kegagalan dalam menjalankan fungsi sebagai pasangan atau orang tua. Kondisi keluarga, budaya dan sosioekonomi turut mempengaruhi bagaimana kemampuan mereka mengatasi masalah yang ada. Perlu dicermati pula bahwa suatu hal tidak tidak dianggap masalah, namun merupakan masalah bagi pasangannya. Ketidakmampuan mengkomunikasian hal ini secara tepat merupakan sumber permasalahan pula.

PENANGANAN

Khusus berkaitan dengan kehidupan rumah tangga, konseling perkawinan merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan. Namun, hal ini sangat tergantung dari tingkat permasalahan yang dihadapi. Konseling ini dapat berupa pre-marital konseling, konseling masalah seksual, masalah ketidaksuburan, perceraian. Namun, permasalahan seringkali tidak tunggal, artinya adanya kombinasi atau gabungan dari berbagai permasalahan.

Sebelum dilakukan konseling perlu ditegaskan terlebih dahulu apakah hanya seorang atau kedua-duana\ya membutuhkan bantuan penanganan. Kontak awal antara klien dengan konselor sangat menentukan bagaimana proses konseling berikutnya akan berlangsung. Bisa saja kontak awal ini melalui telepon namun berikutnya dibutuhkan pertemuan langsung untuk mengsolusi permasalahannya.

Konseling dapat berfokus hanya pada seorang saja atau kedua-duanya. Proses dan lamanya konseling sangat ditentukan oleh orientasi teoritis konselor dan strategi yang digunakan oleh konselor. Namun, yang paling penting disini adalah untuk mengetahui bagaimana persepsi, tujuan dan acuan yang digunakan oleh klien sebagai bahan pertimbangan untuk melakukan konseling.

Intensitas dan lamanya konseling berkaitan dengan tingkat masalah yang ada dan kondisi dari klien maupun pasangannya. Dalam pelaksanaannya dimungkinkan terjadi perubahan internal yang radikal dan mendorongan terjadinya konsolidasi pola-pola baru dalam berhubungan. Hal ini difokuskan untuk memecahkan persoalan yang ada dan mengatasi ancaman terhadap kelangsungan relasi. Konseling dapat berlangsung antara 1 s/d 30 sesi dengan rata-rata 5 sesi.

Efektivitas konseling sangat tergantung pada kerjasama dan kesediaan klien untuk mengatasi persoalannya. Jadi, efektivitas konseling tidak semata-mata dilihat dari metoda yang digunakan atau kepiawaian konselornya.

Perbedaan permasalahan relasi membutuhkan suatu kerangka prognosis yang menyeluruh. Penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar mereka yang mengikuti konseling memiliki emosi yang lebih baik, dapat memahami dirinya lebih baik dan mampu menghargai dirinya yang pada akhirnya mampu membina relasi secara lebih baik. Pada dasarnya disini konselor membantu membuat keseimbangan antara kebutuhan individu dengan kebutuhan relasinya. Individu diarahkan untuk mampu berafiliasi, menghargai diri sendiri maupun pasangannya.

Konseling mendorong agar individu dn pasangannya dapat hidup secara lebih baik. Konselor bertugas untuk menolong setiap pasangan agar mampu berbagi secara maksimal dan memenuhi kebutuhan setiap individu dan pasangannya.

Prinsip penanganan meliputi hal-hal sebagai berikut :

1. Negosiasi kontrak untuk melakukan konseling, batasanya, maksud, metoda kerja dan lamanya.
2. Renegosiasi dari kontrak konseling untuk mengakomodasi perubahan kebutuhan individu maupun pasangannya.
3. Menjaga kerahasiaan dan privacy.
4. Menjaga kesinambungan relasi pasangan.
5. Bekerjasama dengan pasangan untuk meningkatkan kualitas relasi.
6. Bersikap seimbang, tidak berat sebelah terhadap individu dan pasangannya.
7. Menghindari sikap-sikap kontraproduktif dalam proses konseling.
8. Memberikan perhatian yang seimbang terhadap semua pihak.
9. Memperhatikan nilai-nilai yang diyakini oleh klien.
10. Mengantisipasi dan mencegah kemungkinan terjadinya tindak kekerasan dari pasangan atau hal-hal lain yang dapat merugikan klien.

PERSONAL GROWTH

Untuk sebagian orang tujuan dari konseling dan psikoterapi adalah untuk perkembangan pribadi. Hal itu berarti mereka sebenarnya bukan dalam kondisi yang kritis. Beberapa orang merasa dirinya cukup baik namun ingin lebih meningkatkan kualitas diri. Beberapa pendekatan dalam terapi dapat digunakan dengan melihat kecenderungan kerpibadian dari klien. Misalnya seseorang yang memiliki intuisi dan kemampuan merasakan yang baik kan lebih efektif ditangani dengan menggunakan pendekatan cognitove-behavioral. Sedangkan orang rasional dengan logika berpikir yang baik lebih efektif ditangani dengan mengedepankan aspek emosional dan spiritual. Namun, dalam penerapan kedua pendekatan ini haruslah cermat. Jika tidak hati-hati maka hasilnya tidak seperti yang diharapkan. Untuk ini seorang terapis haruslah fleksibel.

Woolfe (in Horton et al., 1996 : 612) mengkaji suatu fungsi pengembangan konseling yang cukup penting. Dalam hal ini ia melihat dalam setting komunitas konseling untuk pengembangan akan difokuskan pada “suatu sikap hidup yang wajar/normal bagi seseorang yang akan memasuki masa remaja, yang akan memulai bekerja, bagaimana hidup bersama, peran gender, memasuki paruh baya, kesiapan menerima pensiun. Hal ini bermanfaat arah yang ingin dicapai cukup terfokus.

Perkembangan pribadi ini sangat terkait bagaimana kita mampu mengeksplorasi diri sendiri dalam rangka untuk lebih memahami diri kita. Apabila ada masalah yang ditemukan maka difokuskan untuk mengatasi hambatan yang ada, menggeser penghalang dan memperoleh pemahaman yang lebih utuh untuk menyelesaikan masalah yang ada.

Hal ini diyakini sebagai akar dari apa yang disebut dengan self actualization seperti yang pernah dikatakan oleh Spinelli (1994:258) bahwa :

“semua individu dapat mengembangkan dirinya secara lebih jernih dan terintegrasi, berbagi nilai-nilai, memilih tanggung jawab yang diyakininya dan memiliki kekhasan dalam pengalamannya melalui eksplorasi terhadap potensi kemanusiaan yang dimiliki.”

Brammer (1993) memaknakan tujuan aktualisasi ini secara lebih luas, melalui suatu konsep pengembangan yang lebih umum dan menawarkan jalan pemecahan segera terhadap permasalahan yang diarahkan kepada upaya untuk membantu klien untuk lebih memahami kekhasan dirinya dan merancang batasan yang lebih baik antara diri dengan orang lain. Dalam hal ini diberikan tujuh contoh dari tujuan pencapai aktualisasi secara ideal, yaitu :

1. Mengembangan suatu pemahaman yang lebih jelas tentang identitas personal dan mematangkan kepekaan dalam memahami proses emosional.
2. Memantapkan kekuatan-kekuatan yang khas, batasan yang ada dan tujuan yang ingin dicapai.
3. Kemampuan untuk menetapkan tujuan dan memulai proses pembelajaran baru serta mampu mengatasi kecemasan dan ketakutan yang ada.
4. Adanya kapasitas untuk menyeimbangkan kepentingan pribadi dengan kepentingan orang lain dan mengembangkan kesediaan untuk mengambil tanggung jawab pribadi.
5. Menetapkan arah pengembangan dan menunjukkan fleksibilitas serta keterbukaan pada orang lain.
6. Membangun kemandirian.
7. Mengembangkan kemampuan untuk bertindak efektif dengan cara-cara yang tepat dalam ruang lingkup kehidupan saat ini.

Makna dari pengembangan pribadi sangat tergantung dari konteks yang ada. Hal ini juga sangat tergantung dari pendekatan yang digunakan. Misalnya rational emotive behavior terapi menekankan filosofi perubahan adalah suatu tujuan sedangkan multimodal therapy menekankan pada adanya perubahan yang lebih ekstensif. Hemming (1991 :50) mengacu pada konsep Adlerian menyatakan bahwa “dorongan untuk mengekspresikan diri dalam lingkungan merupakan suatu potensi yang diwariskan.”
(Disadur dari Oleh Paul Wilkins)

Kamis, 04 Februari 2010

ASSESSMENT CENTER SEBAGAI SUATU PENDEKATAN UNTUK MENDUKUNG EFEKTIVITAS ORGANISASI

Efektivitas organisasi merupakan suatu kondisi yang sangat penting dalam rangka mencapai tujuan organisasi itu sendiri. Efektivitas organisasi sendiri tergantung dari berbagai faktor. Efektivitas organisasi dapat dikonseptualisasikan dalam sejumlah cara (Daft, 1983; Goodman & Pennings, 1977). Dalam konsep ini efektivitas organisasi disusun dalam suatu hirarki, mulai dari tingkat survival, tingkat sustained viability dan tingkat higher values. Pada tingkat survival terjadi saat organisasi menggunakan sumber daya melebihi dari yang seharusnya. Pada tingkat sustained viability organisasi mampu beradaptasi dengan lingkungan, mampu mencapai tujuannya, terintegrasi dan memelihara budaya organisasi. Pada tingkat yang lebih tinggi yaitu higher values, organisasi telah memiliki kontribusi dan bermanfaat bagi lingkungan dan komunitasnya dan para pemimpin organisasi telah mampu mempromosikan nilai-nilai unggulan yang tidak hanya diadopsi oleh organisasi tersebut tetapi juga oleh komunitas dan lingkungannya.

Ada empat fungsi penting yang berpengaruh terhadap efektivitas organisasi, yaitu leadership, the structure of of executive work, organizational design, mechanism for talent development & organizational socialization (Stephen M. Colarelli; Terry A.Beehr, 1991). Fokus perhatian pembahasan diarahkan pada leadership, mengingat leadership dalam The Path-Goal Theory merupakan salah satu dari tiga faktor yang menentukan performance organisasi dan satisfaction dari anggota organisasi (dua faktor lainnya environmental contingency dan subordinate contingency). Efektivitas organisasi sendiri seperti yang diulas diatas dapat terlihat pada sejauh mana organisasi tersebut mampu mencapai tujuannya (performance) dan bagaimana mampu menjaga iklim kerja yang sehat (satisfaction). Dalam konteks ini pentingnya peran leader dan leadership dalam mendukung efektivitas organisasi.

Leader, kaitannya adalah bagaimana organisasi mampu memilih pemimpin yang tepat untuk mengisi strukturnya. Sedangkan kepemimpinan, adalah bagaimana pemimpin mampu menggunggunakan gaya kepemimpinannya dalam rangka mempengaruhi anggotanya untuk mencapai tujuan organisasi. Leader dalam struktur formal organisasi dapat disebut sebagai manajer. Kemampuan untuk memilih pemimpin atau manajer yang tepat tergantung pada cara atau pendekatan yang tepat pula. Salah satu metoda yang akhir-akhir ini marak digunakan dilingkungan organisasi dalam memilih seorang manajer adalah assessment center. George C. Thornton (1992) menyebutkan bahwa the assessment center method is a procedure used by human resource management for evaluating personnel in terms of human attributes or ablities relevant to organizational effectiveness. Penjelasan ini memperlihatkan bagaimana assessment center dikaitkan dengan efektivitas organisasi. Dalam Human Resources Management (Raymond A. Noe; John R. Hollenbeck; Barry Gerhart; Patrick M. Wright, 2003) assessment center diartikan sebagai a process in which multiple raters evaluate employees’ performance on a number of exercises. Metoda assessment center menekankan pada pentingnya penggunaan behavior simulation (exercise). Simulasi yang digunakan lebih dari satu (umumnya minimal tiga) dan setiap kandidat (peserta program assessment center, sering juga disebut dengan assessee) dievaluasi lebih dari 1 evaluator (2 atau 3 evaluator, dalam asessment center evaluator lazim disebut dengan assessor).

Proses assessment center dimulai dengan mengidentifikasi job target, kemudian dibuat kriteria sukses untuk job target tersebut. Berdasarkan kriteria sukses tadi didapatkan sejumlah perilaku kunci kesuksesan untuk jabatan tersebut. Dari sejumlah perilaku kunci tersebut dikelompokkan pada area yang sama dan lazim disebut dengan dimensi. Contoh dimensi adalah leadership, planning & organizing, decision making, communication, customer orientation, dan sebagainya. Dari hasil penetapan perilaku kunci dan dimensi tersebut kemudian dirancang simulasi/exercise yang sesuai. Simulasi ini dapat berupa kegiatan interaktif dalam kelompok, interaktif individual, atau simulasi yang bersifat non-interactive seperti In-Tray, Problem Analysis dan sebagainya.

Hasil dari assessment center berupa rekaman terhadap perilaku yang ditunjukkan oleh kandidat/assessee saat dihadapkan pada simulasi/exercises tertentu. Dari hasil ini diperoleh gambaran bagaimana perilaku assessee saat mengahadapi tugas jika ia berada pada job target yang dimaksud, apakah perilakunya cukup baik atau melebihi standar yang ada, sesuai dengan standar atau memenuhi kriteria, atau dibawah standar dan tidak memenuhi kriteria yang diharapkan. Hasil assessment center akan dapat dimanfaatkan untuk mempersiapkan kandidat dalam mengisi jabatan (staffing, promotion), untuk keperluan seleksi, transfer dan untuk keperluan pengembangan (dapat berperan sebagai training need analysis).

Dari pemaparan diatas dapat dipahami bahwa efektivitas organisasi dapat dicapai dengan cara memilih pemimpin yang tepat sebagai pengelola organisasi. Memilih pemimpin yang tepat harus menggunakan metoda yang tepat dan handal pula. Assessment center adalah metoda yang telah teruji kehandalannya untuk memilih para eksekutif maupun manager yang berperan sebagai pemimpin dalam organisasi.