Jumat, 09 Oktober 2009

ROTASI PEGAWAI DAN PEMBELAJARAN

Pada saat memberikan kuliah pada mahasiswa Pasca Sarjana MM Unpar kemarin malam penulis mendapat pertanyaan menarik dari seorang mahasiswa yaitu mengapa perusahaan harus melakukan rotasi pegawai, bukankah rotasi menyebabkan peningkatan biaya, perlu penyesuaian lagi dan pegawai harus belajar lagi?

Rotasi sangat diperlukan dan bukan semata-mata sekedar memindahkan orang. Ada filosofi mendasar disana dimana setiap orang harus terus belajar dan menyesuaikan diri, demikian pula organisasi harus terus belajar dan menyesuaikan diri. Tanpa mobilitas, tanpa perpindahan, tanpa hijrah, pembelajaran tidak akan terjadi, akan muncul kejemuan dan stagnansi.

Bukankah keberhasilan atau prestasi dihasilkan oleh sebuah perubahan. Perubahan membutuhkan mobilitas, pergerakan. Mobilitas dan pergerakan akan menimbulkan enerji positif dan sebagai awal dari perubahan.

Demikian pula rotasi pegawai atau karyawan akan menimbulkan suatu perubahan baik bagi pegawai itu sendiri maupun bagi organisasi. Perpindahan atau rotasi pegawai ini akan menumbuhkan suasana baru, akan mendorong kreativitas dan inovasi dan orang maupun organisasi akan terus beradaptasi. Inilah esensi pembelajaran yang sangat penting.

Secara tehnis pengelolaan SDM sendiri rotasi memang sangat terkait dengan pengelolaan karir khususnya berkaitan dengan Career Development. Dengan rotasi akan terbuka kesempatan pengembangan karir bagi pegawai yang bersangkutan. Disisi lain kepindahannya akan membuka kesempatan pegawai lain untuk menggantikannya. Terjadi proses kaderisasi dan suksesi. Akan terlihat dan terpilih siapa orang terbaik untuk menduduki suatu posisi.

Rotasi juga akan memperkaya pengalaman kerja pegawai, akan menambah kesempatannya untuk mengembangkan kompetensi lebih lanjut. Rotasi juga akan membuka kesempatan membangun jaringan kerja baru dan memperluas jaringan. Sebagaimana umum diketahui kemampuan orang untuk berkembang dan sukses selain dipengaruhi oleh faktor kompetensi, pengalaman, juga dipengaruhi kemampuan dalam membina jejaring.

Jadi, rotasi merupakan unsur mutlak untuk pengembangan diri dan kesuksesan dalam bekerja. Rotasi juga merupakan bagian penting untuk menciptakan iklim pembelajaran baik bagi individu maupun organisasi.

Rotasi yang dikelola dengan baik jelas akan sangat bermanfaat bagi pegawai maupun organisasi dan manfaatnya lebih besar dibandingkan dengan biaya atau usaha lain yang diperlukan dalam proses rotasi tersebut.

Jumat, 02 Oktober 2009

KORBAN GEMPA YANG MENGALAMI POST TRAUMATIC STRESS DISORDER


Beberapa waktu yang lalu setelah terjadi gempa yang melanda Jawa Barat, penulis diwawancara oleh Radio Republik Indonesia (RRI) tentang kondisi psikologis korban paska gempa atau bencana. Dalam kesempatan tersebut penulis menyebutkan bahwa penanganan bencana yang banyak terjadi akhir-akhir ini di Indonesia sebaiknya perlu mempertimbangkan penyertaan terapi psikologis terhadap para korban. Tindakan sosial, medis, cultural dan psikologis perlu dilakukan secara terpadu untuk merehabilitasi kondisi fisik dan mental korban..

Dua hari yang lalu tepatnya pada tanggal 30 September 2009 terjadi gempa dahsyat di daerah Padang yang juga dirasakan di Jambi, Riau bahkan sampai dengan Singapore dan Malaysia. Korban meninggal saat ini telah mencapai ratusan orang dan diprediksi akan terus bertambah. Selain itu korban luka parah juga cukup banyak disamping korban yang kehilangan sanak saudara dan kehilangan harta milik mereka. Kondisi ini menimbulkan trauma psikologis yang mendalam yang apabila tidak ditangani secara seksama akan dapat menganggu performa personal dan sosial yang bersangkutan.

Kondisi trauma pasca bencana atau musibah ini dalam terminologi psikologi disebut dengan Post Traumatic Stress Disorder (PTSD). PTSD ini sering ditemukan muncul pada diri korban yang kemudian memberikan pengaruh negatif terhadap kondisi fisik, mental maupun sosial mereka.

Menurut seorang ahli psikologi Peter Hodgkinson PTSD dapat berupa akibat dari adanya suatu bencana atau musibah, kecelakaan lalu lintas, kekerasan yang terjadi mendadak yang kejadiannya berlangsung cepat dan menimbulkan efek traumatik yang mendalam.

Hampir 75% mereka yang mengalami kejadian yang traumatis seperti bencana alam yang terjadi secara mendadak terkena PTSD. Secara psikologis terapis biasanya berupaya mengkaji pengalaman traumatis yang dialami oleh penderita sebagai dasar untuk menentukan terapi yang tepat.

Berikut ini akan diulas secara ringkas tentang PTSD tersebut yang diawali dengan kajian dampak trauma dan kemudian diakhiri dengan bentuk penanganan psikologisnya.

Dampak Trauma

1. Umumnya 75% korban mengalami trauma. Hampir 25% penderita tidak mengalami suatu reaksi yang khusus.
2. Gejala psikologis yang muncul lebih dari 6 minggu dialami sekitar 25% penderita.
3. Secara signifikan simptom yang menetap membutuhkan penanganan profesional yang umumnya dialami oleh 50% penderita.
4. Setengah dari penderita yang mengalami gejala PTSD dapat berkurang pada tahun pertama.
5. Setengah dari penderita akan mengalami gangguan yang kronis, dapat berlangsung lebih dari 10 tahun jika tidak mendapat penanganan yang semestinya.
6. Sepertiga dari penderita yang mengalami simptom kronis mengalami anxiety dan depresi.

Konsep PTSD pertama kali muncul pada tahun 1980 didalam buku Diagnostic & Statistical Manual of Mental Disorder edisi ketiga dari American Psychiatric Association, namun sekarang muncul DSM versi keempat. Pada dasarnya diagnosis berupaya mengenali berbagai hal yang telah berkembang dalam ribuan tahun berkaitan PTSD.

PTSD memiliki 3 kelompok gejala utama, yaitu:

1. Re-experience phenomena.
2. Avoidance or numbing reaction.
3. Symptoms of increased arousal.

Kriteria

1. Seseorang biasanya mengalami atau dihadapkan pada ancaman yang serius termasuk bencana, kematian, kecelakan luar biasa, ancaman fisik terhadap diri maupun orang lain (APA, 1994).
2. Individu mengalami kondisi ketakutan, tidak berdaya dan selalui dihantui oleh peristiwa tsb. Pada kasus anak sering terjadi perilaku yang disorganized atau agitasi

Jika kedua kriteria tersebut muncul maka dapat dilakukan pengelompokan gejala kedalam tiga gejala utama tadi.

Re-experience Phenomena

1. Munculnya kembali perasaan tertekan atau terancam baik dalam imajinasi, pikiran ataupun persepsi.
2. Munculnya mimpi-mimpi yang menakutkan.
3. Adanya reaksi psikologis yang merupakan simbol/ terkait dengan peristiwa trauma.
4. Adanya reaksi fisik yang merupakan simbol/ terkait dengan peristiwa trauma.

Avoidance or Numbing Phenomena

1. Menghindari pikiran, perasaan atau pembicaraan yang berkaitan dengan peristiwa traumatic.
2. Menghindari kegiatan, tempat atau orang-orang yang terkait dengan trauma.
3. Ketidakmampuan untuk mengingat aspek penting dari trauma.
4. Berkurangnya minat atau partisipasi dalam kegiatan yang terkait.
5. Kekakuan perasaan atau ketidakmampuan mengekspresikan perasaan seperti kasih sayang.
6. Kehilangan harapan seperti tidak memiliki minat terhadap karir, perkawinan, keluarga atau kehidupan jangka panjang.

Symptoms of Increased Arousal

1. Kesulitan tidur.
2. Kemarahan yang tidak terkendali.
3. Kesulitan konsentrasi.
4. Hypervigilance (sangat siaga)
5. Respon yang berlebihan (exaggerated)

Durasi & Efek

Gejala dapat berlangsung lebih dari satu bulan dan mengganggu kehidupan sosial, pekerjaan atau bidang kehidupan penting lainnya (APA, 1994).

PTSD dapat muncul bersama gangguan lain seperti kecemasan atau depresi. Disegi lain beberapa klorban tidak memenuhi kriteria PTSD namun sebelumnya memiliki gejala-gejala yang mirip namun terkadang secara alami mereka berangsur pulih


Faktor yg mempengaruhi PTSD :

1. Dimensions of the person
2. Dimensions of the trauma
3. Dimensions of the recovery environment

Dimensions of the person

Hal ini terkait dengan permasalahan kesehatan mental individu sebelumnya, biasa mereka merupakan korban yang utama, kondisi kehidupan sebelumnya, sikap dan keyakinan berkaitan dengan strategi penanganan. Umumnya wanita dan mereka yang berusia setengah baya keatas lebih rentan untuk menderita PTSD.

Dimensions of the trauma

Dimensi ini meliputi lamanya peristiwa tersebut terjadi, apakah ancaman bersifat tunggal atau banyak, dialami sendiri atau melibatkan banyak orang, apakah trauma sering berulang, atau bencana yang terjadi secara berulang.

Dimensions of the recovery environment

Hal ini berkaitan dengan dukungan sosial, stress yang terus menerus, ada tidaknya ritual khusus untuk recovery dan bagaimana sikap masyarakat, kerabat ataupun media terhadap peristiwa yang mereka alami.

PTSD & Trauma

PTSD digambarkan sebagai suatu kelompok simptom namun gagal untuk menjelaskan bagaimana proses trauma dapat terjadi. Ini penting dipahami dalam melakukan terapi. Pengalaman dari sebuah peristiwa traumatik dapat terjadi karena sesuatu yang sangat primitif, global bahkan karena adanya keyakinan positif sebelumnya seperti :

1. Merasa diri tahan banting.
2. Merasa dunia aman, teratur dan dapat diramalkan.
3. Merasa diri sebagai pribadi yang baik.

Namun, pada saat terjadi bencana mereka mengalami suatu goncangan yang luar biasa. Kebanyakan sikap yang muncul adalah negatif. Orang merasa secara sosial tidak diterima, merasa merepotkan orang lain, memperlihatkan kelemahan atau merasa dirinya gila dan kehilangan kendali.

Jika korban melihat dunia dan lingkungannya sebagai sesuatu yang mengkuatirkan dan tidak dapat diramalkan, tindakan yang disertai perasaan negatif tidak akan berguna dan kemudian seseorang mungkin tidak percaya bahwa kasusnya dapat ditangani.

Suatu jaringan memori traumatik kemungkinan terbentuk dan disertai oleh imajinasi yang negatif. Bayangan imajinatif tentang suatu subyek yang kemudian mereka nilai secara negatif, hal ini dapat menimbulkan ingatan tentang peristiwa yang tidak mengenakan. Pada kondisi ini terjadi suatu proses rekognisi, dapat bersifat otomatis atau dilakukan secara sadar.

Pendekatan teori psikologis tentang krisis biasanya akan meramalkan dan memperkirakan tindakan penanganan. Dalam beberapa hal penanganan dihadapkan pada imajinasi yang mengganggu proses psikologi yang efektif. Hal ini dapat berupa ingatan traumatik yang akan menstimuli proses resolusi. Meskipun demikian ada suatu titik transisi pada suatu kondisi kepribadian awal, termasuk cara-cara penanganan yang tradisional. Untuk beberapa hal lainnya tindakan penanganan berkaitan dengan upaya untuk menghindari imajinasi traumatik atau pemicu masalahnya. Saat individu berhasil mengatasi masalahnya dengan cara menghindari imajinasi tersebut. Pendekatan ini sebenarnya memerlukan banyak upaya emosional yang dikerahkan untuk mengatasi hal tersebut.

Intervensi Krisis Paska Trauma

Studi mengenai intervensi krisis mengarahkan kita untuk menyimpulkan bahwa jika prinsip tersebut dilakukan orang-orang akan dapat kembali berfungsi normal secara cepat dan mengurangi kecenderungan berkembangnya masalah dalam waktu lama.

Debriefing psikologis adalah suatu alat yang kelihatannya lebih populer. Hal itu bukan berarti akan menghilangkan sama sekali PSTD, tetapi lebih kearah suatu perangkat untuk melakukan recovery. Ini bukan suatu terapi yang bersifat mandiri tetapi suatu model penyelidikan sendiri (heuristic) dimana individu akan mampu untuk membangun suatu rancangan pengalamannya, suatu kejadian yang diperkirakan dan mampu dikendalikan dan pada akhirnya membuat mereka lebih percaya diri. Ini merupakan prosedur kognitif yang lebih memfokuskan pada pikiran daripada memfokuskan pada stimulasi perasaan dan emosi.

Debriefing umumnya dilakukan dalam kelompok (bisa juga secara individual meskipun tidak sebaik jika dilakukan didalam kelompok), peserta sekitar 15 orang. Waktu ideal pelaksanaan antara 48-72 jam setelah peristiwa traumatik terjadi dan kemudian setelah 3 minggu dilihat apakah masih ada individu yang memerlkukan bantuan secara lebih khusus.


Tujuan debriefing adalah :

1. Merupakan ventilasi impresi, reaksi dan perasaan.
2. Mendorong pengorganisasian kognitif melalui pemahaman yang jernih terhadap peritiwa dan reaksi yang muncul.
3. Mengurangi kesan kekhasan dan abnormalitas reaksi, meningkatkan kesan sesuatu yang normal melalui sharing.
4. Memobilisasi sumber daya didalam dan diluar kelompok , meningkatkan dukungan kelompok, solidaritas dan kohesivitas.
5. Mempersiapkan suatu tindakan yang lebih terkendali dalam merepon peristiwa traumatik yang terjadi.
6. Mengidentifikasi kemungkinan tindakan bantuan profesional lebih lanjut.

Dalam prakteknya debriefing memiliki empat fase identifikasi yaitu :

1. Introduction
2. Narrative
3. Reactions
4. Education

Introduction merupakan kegiatan untuk mengkomunikasikan agenda yang akan dilakukan dan menetapkan aturan main yang berlaku.

Narrative adalah menceritakan pengalaman individu kepada anggota kelompok, mengumpulkan fakta-fakta yang terjadi, ini merupakan tahap pertama dari pengorganisasian kognitif.

Reactions merupakan suatu struktur kronologis yg simpel yg memungkinkan gejala ditransformasikan kedalam bentuk pola umum reaksi baik pikiran maupun emosi. Tahap-tahap reaksi tsb adalah sbb :

1. Reaksi selama insiden terjadi.
2. Reaksi segera setelah peristiwa terjadi.
3. Reaksi awal dari keluarga atau figur yg signifikan.
4. Secara pada hari berikutnya
5. Reaksi pada hari berikutnya dan pada hari-hari tertentu.

Education

Gambaran reaksi simptom PTSD dapat diperkuat penjelasannya melalui literatur. Ini akan membantu penderita untuk melihat permasalahannya secara lebih jelas dan objektif. Hal ini disertai pula dengan membuat perencanaan kedepan untuk membentuk respon dan penghayatan yang lebih baik. Tindak lanjut biasanya dilakukan dengan struktur yang lebih minim, dilengkapi dengan upaya untuk mencatat recovery dan mengatasi kesulitan yang mungkin muncul.

Sangat sedikit penelitian mengenai efektivitas debriefing. Beberapa studi menunjukkan tidak ada dampak tertentu, sedangkan beberapa yang lainnya menunjukkan efek yang positif. Untuk itu agar debriefing efektif maka perlu diperhatikan hal-hal sbb :

1. Debriefing harus dilaksanakan sebagai bagian dari program intervensi krisis yang menyeluruh dan harus disertai dengan tindak lanjut.
2. Debriefing harus dilakukan secara cermat dan membutuhkan partisipasi penuh dari anggota kelompok.
3. Harus dipandu oleh ahli yang berpengalaman yang memfokuskan pada aspek kognisi dan edukasi.
4. Jangan dilakukan terlalu awal tetapi paling cepat 48 jam setelah peristiwa terjadi.
5. Dilakukan setidaknya selama 90 menit.
6. Dilihat sebagai suatu bagian dari proses assessment untuk mengidentifikasi individu yang memiliki resiko tinggi dan perlu penanganan individual yg lebih spesifik.

Pada situasi dimana peristiwa traumatik terjadi dan ditangani misalnya dengan pertolongan darurat tindakan peredaan stress perlu dilakukan sebagai suatu upaya preventif. Hal ini meliputi penjelasan mengenai efek dan simptom dari trauma dan belajar strategi seperti relaksasi maupun bersikap secara positif.


Terapi terhadap Trauma & PTSD

1. Non-specific effects :
· Klien memutuskan untuk mengikuti terapi dengan komitmen.
· Kualitas dari relasi terapis ditentukan oleh sikap yang sesuai dan memahami pengalaman klien, adanya rasa percaya, kompeten dan memiliki kepedulian.

2. Menggunakan keterampilan assessment untuk memutuskan tindakan terapi yang tepat.

3. Technique-specific effects :

· Menggunakan eksposure yg panjang (pembukaan/introduksi)
· Menggunakan tehnik restrukturisasi kognitif.
· Menggunakan tehnik training inoculation stress termasuk edukasi.
· Menggunakan tehnik tambahan seperti medication atau Eye Movement Desensitization & Reprocessing (EMDR). Prosedur terakhir adalah tehnik kognitif untuk melawan memori thd peristiwa traumatik melalui rapid eye movement.

Prolonged Exposure

Kegiatan ini berupa pengungkapan peristiwa kembali dengan melibatkan korban atau klien dalam beberapa sesi. Mengekspos peristiwanya kembali dengan cara menghindari reaksi yang tidak terkendali. Hal ini dapat dilakukan dalam waktu 8-10 sesi. Eksposur perilaku pada situasi yang menakutkan dapat juga digunakan. Kontra indikasi meliputi penyalahgunaan alkohol/drug dan depresi. Saat terapi eksposur merupakan pilihan pertama klien yang mengalami re-experiencing (atau menghindarinya) dan ini merupakan isu besar yang dapat mengarahkan perubahan kognitif, namun hal ini bisa jadi bukanlah terapi yang memadai.


Terapi Kognitif

Selama terapi eksposur berlangsung, terapis harus hadir secara intens untuk menyimak pernyataan dan ekspresi dari korban atau klien terutama terhadap cara berpikir mereka yang menyimpang. Terapis fokus pada pengembangan narasi, pikiran yang bekerja kembali dan penggambaran peristiwa dan reaksi.

Pada tahap awal treatment kognitif difokuskan pada edukasi, memberikan klien suatu pemahaman akan rentang reaksi dan gejala (suatu kerangka yang menempatkan reaksi mereka); dan memunculkan suatu model untuk memahami reaksi paska trauma (dimana metode treatment dapat dibenarkan). Kondisi ini juga dapat memunculkan alternatif narasi.

Pikiran dan keyakinan otomatis yang bersifat negatif harus digali secara aktif. Pikiran dan keyakinanl ini perlu domonitor lebih lanjut oleh terapis.

Selanjutnya perlu dilakukan tehnik training inculation stress dan menggunakan tehnik pertanyaan ala Socrates, alternatif self-statement dan perilaku yang dapat dihasilkan. Hal ini dapat dilatih sebelum terapi sesungguhnya dilaksanakan.

Terapi kognitif dapat berlangsung dalam kelompok untuk lebih menghemat biaya dan waktu. Delapan jam terapi (4 sesi atau lebih) lebih efektif, tetapi terapi yang lebih lama dapat saja dilakukan jika memang dibutuhkan.

Tehnik yang lebih spesifik seperti EMDR dapat pula digunakan. Drugs dalam kondisi darurat dapat digunakan untuk menjaga individu tetap tenang, seperti blockers yang bermanfaat untuk fase awal. Dapat pula digunakan anti-depresan untuk membantu mengatasi munculnya reaksi negatif.

Coda-Counselling & Post-Traumatic Stress

Jika pendekatan debriefing dilakukan disesi awal, konseling apapun dalam post-traumatic stress seharusnya meliputi kegiatan sebagai berikut :

1. Mereview detail peristiwa, mengkonstruksi eksposur yang tepat untuk ditunjukkan.
2. Edukasi
3. Menggunakan tehnik kognitif untuk merestrukturisasi kekeliruan keyakinan dan proses berpikir.

Untuk menjalankan seluruh kegiatan diatas harus dilakukan oleh seorang ahli yang memiliki latar belakang psikologi atau minimal mereka yang telah dibekali oleh orang-orang yang berkompeten.

Penanganan korban paska bencana sebaiknya tidak hanya terbatas pada pertolongan medis yang memang secara fisik sangat terlihat. Disamping upaya medis diperlukan pula penangan secara sosial, kultural, spiritual dan tentunya pendekatan psikologis yang utamanya memfokuskan penanganan terhadap Post Traumatic Stress Disorder (PTSD).

Kamis, 01 Oktober 2009

SPIRITUALITAS SBY


Susilo Bambang Yudhoyono atau yang populer dengan nama panggilan SBY dinyatakan sebagai Presiden terpilih Republik Indonesia untuk periode 2009-2014. Ini adalah periode kedua beliau sebagai Presiden. Tentu beliau memiliki berbagai kelebihan sehingga sebagian besar rakyat tetap memilihnya untuk menjadi presiden.

Beliau adalah seorang jenderal yang dikenal demokratis, intelek sekaligus seorang yang cukup religius. Religiusitas beliau tentunya dipengaruhi oleh orientasi spiritualitas yang membentuk dirinya menjadi seorang pribadi yang agamis.

Mengkaji spiritualitas SBY tentu bukan pekerjaan yang mudah. Tetapi setidaknya dari perilaku, tutur kata, tindakan dan berbagai tulisan maupun pidato beliau dapat kita analisa bagaimana gambaran spiritualitas SBY. Analisa ini memang tidak mengandalkan pada data primer namun lebih pada data sekunder seperti dari beberapa buku yang mengulas tentang SBY, berbagai pemberitaan media masa maupun hasil observasi dari media cetak dan elektronik.

Spiritualitas disini tidak terbatas pada aspek keagamaan namun tentu meliputinya. Spiritualitas dimaksudkan pada aspek yang lebih luas, pada hal-hal yang lebih esensial, immaterial dan substansif. Spiritualitas lebih mengacu pada nilai-nilai luhur yang dipedomani yang memandu perilakunya, sekaligus spiritualitas sebagai orientasi hidup yang menjadi tujuan dari semua perbuatannya. Spiritualitas menyangkut komitmen jangka panjang yang dipengaruhi oleh nilai-nilai luhur, melampaui batas keduniaan dan materi, orientasi terhadap kemanusiaan sekaligus kesadaran akan adanya Sang Maha Pencipta yang mengatur seluruh tata kehidupan. Spiritualitas meliputi aspek horizontal dalam hubungan dengan sesama makhluk dan aspek vertikal dalam hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Mengatur.

Untuk menggambarkan bagaimana spiritualitas SBY, seorang teman dekatnya – Yahya Ombara – mengatakan sebagai berikut :

“SBY hanya akan berkomitmen pada segala kepentingannya dimasa kini demi kejayaannya di masa datang – bagi cita-cita mulia semua orang. Segala anasir dan prasyarat untuk itu akan dia lakukan sekalipun harus mengubah malam menjadi siang dan siang menjadi malam. Dia seperti gerhana …… Siapa saja yang berhubungan dengannya dalam derajad apapun harus bersiap-siap untuk seketika cerah ceria dan secepat kilat pula untuk gelap gulita ….. Dan dia tetap tampil “innoncense,” tanpa dosa ….. “

Pandangan tersebut diatas dengan tegas menggambarkan spiritualitas SBY yang memiliki komitmen jangka panjang. Aspek kemanusiaan terlihat pada pertimbangannya terhadap cita-cita mulia semua orang. Ia berkomitmen melakukan apapun yang terbaik meskipun harus mengubah siang menjadi malam dan sebaliknya. Ia pun memiliki pengaruh yang besar terhadap siapapun yang berhubungan dengannya namun iapun tetap memelihara integritas dirinya.

Pendapat lain dikemukakan oleh Dr. Dino Patti Djalal, seorang yang sehari-harinya bekerja sangat dekat dengan SBY. Ia mengatakan bahwa SBY adalah seorang pemimpin yang mampu memancarkan enerji positif, yang memancarkan aura sehat dan terang, positivisme, optimisme, idealisme, menghargai pendapat orang lain, altruisme, good governance, gotong royong, politik santun, sikap moderat, sikap inklusif, pluralisme, multikuklturalisme, humanisme, filantropi, egalitarianisme, sikap sportif, toleransi, harmoni. Semua yang disampaikan Dr. Dino ini adalah dimensi spiritualitas yang ditunjukkan oleh SBY.

Jika ada yang mengkritik SBY dengan mengatakannya seolah-olah tidak cepat, tidak tegas, maka penulis yakini pula hal tersebut dipengaruhi oleh dimensi spiritualitas yang menuntunnya untuk bersikap hati-hati, tidak tergesa-gesa, tidak grasa-grusu. Ia lebih mengedepankan kualitas daripada kuantitas dan ini adalah aspek penting dari spiritualitas.

Jika keagamaan sebagai sebuah sistem nilai yang memandu perilaku menjadi bagian yang penting dari spiritualitas, kitapun dapat melihat bagaimana pandangan SBY terhadap agama khususnya agama yang ia anut yaitu Islam. Pada saat SBY menyampaikan pidato di Universitas Islam Imam Muhammad bin Sa’ud di Riyadh Arab Saudi pada tanggal 26 April 2006 ia mengatakan bahwa Agama (Islam) adalah pencerahan, pembebasan dan pemberdayaan. Umat harus menerima teknologi dan modernitas dan harus tergerak oleh budaya unggul. Agama membawa perdamaian, perkembangan dan kemajuan. Jika menginginkan kemajuan kita harus berpikir kedepan melebihi era sekarang. Umat harus menjadi pemecah masalah bukan penghambat masalah. Umat harus memiliki iman yang kuat dan bangga pada warisannya, digerakkan oleh pengetahuan menikmati kemajuan dan kesejahteraan.

Dalam kesempatan lain SBY mengatakan bahwa agama (Islam) membawa pesan damai dan menjadi rahmatan-lil-alamin. Setiap orang wajib berperan dan mempromosikan perdamaian pada semua tingkatan mulai dari keluarga, masyarakat, negara dan dunia.

Dimensi spiritualitas SBY jelas terlihat pada berbagai perilaku dan orientasi dirinya sebagaima yang diulas diatas terutama terlihat pada kepribadiaannya yang dalam istilah Dr. Dino Patti Djalal memberikan enerji positif.

Pada saat menerima penghargaan Hall of Fame di Fort Leavenworth Amerika Serikat pada tanggal 12 September 2005 dimana foto SBY terpampang disitu, SBY mengatakan :

“Apa yang saya harapkan ketika mereka melihat foto saya adalah bahwa mereka akan melihat jauh dibalik medali-medali dan jabatan saya sebagai Presiden, dan melihat wajah seorang laki-laki dari desa kecil di Jawa Timur yang tidak hanya berani untuk bermimpi, namun juga untuk percaya. Dan saya harap mereka mengingat bahwa kemenangan yang sesungguhnya bukanlah menjadi seorang Presiden, namun dalam banyaknya pelayanan yang kita berikan kepada negara. Dengan demikian, mereka yang melalui lorong-lorong ini akan ingat bahwa masing-masing dari kita mampu mencapai kemenangan kita sendiri.”

Kata-kata dahsyat SBY yang mengatakan bahwa kemenangan sesungguhnya bukanlah menjadi Presiden tetapi pada banyaknya pelayanan yang kita berikan, bukankah ini cerminan bahwa sebaik-baiknya manusia adalah yang mampu memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi lingkungan dan orang lain. Ini menggambarkan orientasi spiritualitas yang mendalam bahwa orientasi kemanusiaan adalah unsur penting untuk membangun perilaku yang luhur.

Spiritualitas SBY yang dilandasi nilai-nilai luhur seperti positivisme, optimisme, idealisme, menghargai pendapat orang lain, altruisme, good governance, gotong royong, politik santun, sikap moderat, sikap inklusif, pluralisme, multikuklturalisme, humanisme, filantropi, egalitarianisme, sikap sportif, toleransi, harmoni mampu memberikan enerji positif bagi dirinya dan dirasakan oleh orang lain yang berinteraksi dengan dirinya.

Kitapun ingat pernah beberapa kali SBY menerima fitnah dari orang-orang tertentu terutama berkaitan dengan pencalonan dirinya menjadi Presiden baik pada tahun 2004 maupun 2009, termasuk sebelumnya fitnah yang pernah dilancarkan oleh seorang mantan anggota DPR yang kecewa dengan dirinya. SBY menghadapinya dengan sikap tenang dan tetap menghormati orang lain dan hukum. SBY memancarkan enerji positif dan menampilkan diri sebagai pribadi pemaaf. Sabar, tabah, ikhlas dan pemaaf ini merupakan wujud spiritualitas SBY dalam menghadapi permasalahan.

Sikap itu ditunjukan pula saat meghadapi berbagai bencana di negeri ini. SBY dengan tabah menghadapinya. Ia mampu menghibur dan membangkitkan semangat, memotivasi korban untuk bangkit kembali. Ia memberikan gambaran masa depan yang cerah jika kita mau bersatu, berkerjasama, kerja cerdas dan kerja keras.

Kita juga teringat diawal-awal saat diperoleh kepastian bahwa SBY menjadi pemenang pemilihan Presiden tahun 2009 terlontar isu bahwa SBY menyiapkan keluarganya untuk menjadi Presiden pada tahun 2014, SBY dengan tegas membantahnya. Bahwa ia tidak pernah menyiapkan hal-hal seperti itu. Ia bukan seorang yang ”gila” kekuasaan, bukan ”power-maniac.”

SBY adalah seorang pribadi yang meyakini bahwa bersamaan dengan kesulitan itu ada kemudahan. Disetiap problem itu ada jalan keluarnya, setiap masalah pasti ada pemecahannya. Yang diperlukan adalah usaha yang sungguh-sungguh untuk mengatasi berbagai permasalahan yang.

Spiritualitas SBY yang tergambarkan pada enerji positif tersebut memandu SBY dalam menjalankan tugas-tugas kepemimpinannya, menjalankan tugas kenegaraan, mengambil keputusan dan dalam berinteraksi dengan berbagai pihak. Kualitas pribadi seperti ini yang membuat SBY berhasil menjalankan misi kepemimpinannya dan memperoleh simpati serta dukungan banyak pihak. Tidaklah mengherankan jikan mantan Perdana Menteri Australia John Howard menyebutkan bahwa SBY adalah "the best President in the history of Indonesia."

Melengkapi kualitas spiritualitas SBY, Andi A. Mallarangeng salah seorang terdekatnya mengatakan SBY adalah pemimpin yang memiliki nilai estetika, seorang jenderal yang memproduksi dan mengapresiasi karya-karya budaya. Bagi SBY kehidupan tidak bisa hanya bertumpu pada logika dan etika, tetapi juga harus diwarnai estetika. Logika, etika dan estetika mempertajam kualitas spiritualitas SBY. Logika adalah dasar bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Etika menjadi dasar pengembangan kehidupan bermasyarakat dan beragama. Namun, kehalusan budi dan rasa yang menjadi dasar dari estetika hanya bisa didapat melalui pengembangan kesenian, kesusastraan dan kebudayaan.

Pemimpin-pemimpin besar dunia sesungguhnya juga dipandu oleh spiritualitas yang kuat sebagaimana ditunjukkan oleh Gandhi, Mandela, Bunda Theresa, Hatta, Mahatir Muhammad dan Muhammad Yunus. Tampaknya SBY pun telah merintis jalan ke arah itu.